Santri Tradisional merujuk kepada sebuah aliran Islam yang mengusung nilai-nilai tradisional yang bersumber dari kitab-kitab para ulama Islam dari generasi ke generasi. Sedangkan Santri Modernis sebuah aliran Islam yang mencoba mengadopsi nilai-nilai modern dari Barat seperti nasionalisme, demokrasi, hak-hak sipil, rasionalitas, kesetaraan, dan perjuangan sosial. Aliran Santri Modernis ini juga melakukan peninjauan secara kritis terhadap konsep-konsep lama (kecuali Al Qur'an dan Hadits) dan kitab-kitab dari para ulama Islam terdahulu, serta mereka melakukan penafsiran yang baru dalam praktik keberagamaan.
Nah jika kelompok Santri oleh para cendekiawan dicandra menjadi dua varian yang demikian tegas itu, apakah demikian juga yang terjadi di kelompok yang disebut Abangan, atau yang lebih tepatnya disebut kelompok Kejawen (karena Abangan hanyalah istilah peyoratif yang diberikan oleh kalangan Santri)?
Rupanya kok tidak sama sekali. Seakan memang seperti ada yang luput dari amatan para peneliti, sejarawan, penulis, atau bahkan budayawan dan ilmuwan sosial. Kelompok Kejawen kerapkali dipandang hanya terdiri dari satu identitas tunggal belaka. Sejauh pengetahuan saya, belum pernah saya membaca atau mendengar ada istilah Kejawen Tradisional dan Kejawen Modernis atau istilah Abangan Tradisional dan Abangan Modernis. Bahkan antropolog kondang Clifford Geertz pun hanya mencandra "orang Jawa yang berjati diri Jawa" dengan istilah Abangan dan Priyayi yang sama sekali tidak menggambarkan varian watak Tradisional atau Modernis di antara kelompok orang-orang Jawa yang berjati diri Jawa tadi. Karena istilah Abangan dalam pencandraan Clifford Geertz terdiri dari orang-orang Jawa pedesaan yang konservatif, tradisional, lugu, dan tidak berpendidikan tapi sekaligus juga terdiri dari orang-orang Jawa yang merupakan kader-kader partai Kiri yang bersifat progresif, modernis, dan revolusioner. Sementara kalangan Priyayi terdiri dari orang-orang feodal konservatif tradisional dari keraton atau para pegawai negeri, dan terdiri juga dari para priyayi modernis yang terpelajar serta memiliki pemikiran maju dan revolusioner.
Maka menurut saya pencandraan dari Clifford Geertz itu masih campur aduk dan tidak memperjelas mengenai varian Kejawen Tradisional dan Kejawen Modernis yang saya maksud. Begitupun jika kita tenggok pencandraan dari sejarawan Indonesianis kondang M.C. Ricklefs, dari sana pun kita juga tidak menemui pencandraan secara utuh mengenai eksistensi dua kelompok dalam masyarakat "Jawa yang berjati diri Jawa" tadi. Dalam bukunya "Mengislamkan Jawa: sejarah Islamisasi di Jawa dan penentangnya dari 1930 sampai sekarang", M.C. Ricklefs lebih menganalisa masyarakat Jawa dalam bentuk pertalian dengan partai afiliasinya yaitu: Santri Tradisional (Partai NU), Santri Modernis (Masyumi), Abangan (PKI), dan Priyayi (PNI). Jadi bagi saya, M.C Ricklefs itu hanya mengulangi pencandraan masyarakat Jawa dari Clifford Geertz saja dan belum sampai pada pencandraan jika orang Jawa/Abangan/Kejawen itu juga terbagi menjadi dua varian yang sama persis seperti di kalangan santri.
Tentu saja pencandraan saya ini tidak mengada-ada, tapi berdasarkan pengamatan saya yang cukup panjang selama ini, bahwa di kalangan penghayat ajaran Kejawen itu pun juga terbagi menjadi dua varian seperti varian Muhammadiyah (ormas terbesar yang mewakili Islam Modernis) dan varian NU (ormas terbesar yang mewakili Islam Tradisional) di dalam lingkup kalangan Santri/Islam.
Bagi kalangan Islam Tradisional tentu akan merasa jenggah melihat kelompok Islam Modernis yang mengganut prinsip egaliterisme Barat yang lalu tidak sudi menghormati seseorang hanya karena nasab/darah keturunan, mereka hanya bersedia menghormati seseorang atas dasar moralitas, ilmu, prestasi, atau jasa-jasa kebaikannya. Maka jangan heran bentuk-bentuk feodalisme religius seperti "pengkultusan pada manusia" yang ditunjukkan pada para Habib dan para anak turun kyai (Gus/Lora) hanya akan berlaku di kalangan Islam Tradisional seperti Islam Syiah, Nahdlatul Ulama (NU), PERTI, Nadhlatul Wathan (NW) dan tidak akan berlaku di kalangan Islam Modernis (yang telah terinjeksi nilai-nilai liberal Revolusi Prancis yang bersanad dari ulama reformis Mesir, Rasyid Ridha) seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad. Saya selamanya tetap ingat akan satu wejangan keren tentang sikap "anti mental feodal" yang diberikan oleh guru saya di sekolah Muhammadiyah dulu:"Laisal fata man yaqulu hadza aba walakinnal fata man yaqulu ha ana dza". Seorang pemuda itu bukanlah yang mengatakan ini bapakku atau kakekku, tapi inilah diriku sendiri.
Di kalangan Islam Tradisional, perguruan-perguruan Tarekat bertumbuh dengan subur dan para pendiri/mursyid Tarekat sangat begitu dikultuskan, sampai-sampai pakaiannya, bekas air minumnya, bahkan rontokkan rambutnya dianggap sangat suci dan membawa berkah spiritual, sementara bagi Islam Modernis semua itu hanyalah omong kosong, feodalisme akut, dan bahkan kultuisme berlebihan yang akan mematikan nalar sehat penganutnya.
Bahkan jangan heran ormas Islam Modernis terbesar seperti Muhammadiyah itu juga mengusung semangat anti patriarkisme dan anti poligami, padahal di negara-negara Islam di jazirah Arab sana, patriarkisme, poligami, dan bahkan pedofilia adalah hal yang wajar dan mereka bahkan bisa mencari legitimasi pembenarannya dari Al Qur'an dan Hadits. Tetapi bagi kalangan Islam Modernis, sudah jijik dengan semua itu, semua itu dipandang nilai-nilai yang telah busuk dan tidak relevan dengan modernitas zaman yang menghendaki kesadaran proporsional tentang gender.
Dalam bidang pendidikan, Islam Modernis juga lumayan adaptif dengan zaman dan pemikiran Barat. Di masa Hindia Belanda orang-orang Muhammadiyah itulah di antara kalangan Islam yang memelopori pengadopsian sistem pendidikan Barat, tatkala orang-orang Islam Tradisional seperti NU masih kolot dan gampang menolak serta auto mengkafirkan segala hal yang berbau Barat, termasuk bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat. Maka kiranya bisa dimengerti di antara para pahlawan nasional dari kalangan Islam itu lebih banyak dari kalangan Islam Modernis daripada kalangan Islam Tradisional, karena merekalah kelompok Islam yang lebih dulu melek dalam hal pendidikan Barat yang terbukti menyuplai kecermelangan pikiran. Bukan pendidikan metode hafalan yang tidak mengasah intelektualitas sama sekali seperti pendidikan pesantren kala itu.
Nah banyak hal-hal yang sangat kontras dan bahkan berseteru sengit antara nilai-nilai yang dipegang oleh Islam Tradisional dengan nilai-nilai yang dipegang oleh Islam Modernis, meskipun mereka dalam peta aliran spiritual dan politik Jawa tetap masuk dalam satu golongan yang disebut Santri.
Begitupula jika kita menenggok kultur besar dari kelompok Kejawen, setidaknya di sana juga ada pertentangan nilai-nilai yang kemudian mengerucut menjadi dua arus besar yang saya identifikasi sebagai Kejawen Tradisional dan Kejawen Modernis.
Kejawen Tradisional merujuk kepada sebuah aliran Kejawen Ortodoks yang mengusung sepenuhnya nilai-nilai tradisional yang bersumber dari wejangan-wejangan, lontar-lontar, serat-serat, dan pakem-pakem nilai dari para leluhur Jawa dari generasi ke generasi, dan mencoba secara puritan untuk menghidupkan kembali semua pakem-pakem tradisi dari masa lalu itu. Sedangkan Kejawen Modernis adalah sebuah aliran Kejawen yang meski tetap menguri-nguri wejangan-wejangan, lontar-lontar, serat-serat, dan pakem-pakem nilai dari para leluhur Jawa, tetapi di satu sisi juga mensintesiskannya dengan nilai-nilai modern dari Barat seperti nasionalisme, demokrasi, pluralisme, liberalisme, sosialisme, hak-hak sipil, rasionalitas, kesetaraan gender, anti feodalisme, anti patriarkisme, anti poligami, dan anti rasisme. Maka aliran Kejawen Modernis ini juga melakukan peninjauan secara kritis terhadap konsep-konsep lama dalam budaya Jawa, serta melakukan penafsiran yang baru dalam praktik-praktik spiritual dan berkebudayaannya.
Seperti dua varian Santri yang kerap berseteru menyoal urusan "feodalisme" dan "kesetaraan gender". Begitupun juga dengan dua varian dalam kalangan Kejawen. Kelompok Kejawen Tradisionalis seringkali merasa jenggah dengan pihak Kejawen Modernis yang menganggap remeh soal "trah" (darah kebangsawanan) dan gelar-gelar keningratan dari keraton. Pihak Kejawen Tradisional menganggap 2 hal itu adalah simbol keagungan budaya Jawa di masa silam, sementara pihak Kejawen Modernis menganggap semua itu hanyalah bentuk feodalisme yang seharusnya ditinggalkan di era zaman yang sudah semakin egaliter, bahkan juga menganggap legitimasi gelar-gelar keraton dan darah ningrat itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan spiritualitasnya orang Jawa. Karena toh banyak guru-guru spiritual yang dulunya mendapat "pencerahan purna" malah setelah menjauh dari keraton dan segenap embel-embel feodalismenya, contoh saja Mahavira Vardhamana, Siddhartha Gautama, Ki Ageng Suryomentaram, atau bahkan Jiddu Krishnamurti yang meninggalkan kerajaan (dalam tanda kutip) yang berupa organisasi spiritual internasional bernama Teosofi.
Kelompok Kejawen Modernis juga sangat menentang keras praktik poligami yang sebagaimana masyhur dilakoni oleh raja-raja Jawa atau kisah-kisah dalam lakon pewayangan. Dalam hal ini kalangan Kejawen Modernis bersepakat dengan pandangan progresif dari kaum Kiri yang anti poligami karena merupakan bentuk hegemoni patriarkisme. Serta nurani kelompok Kejawen Modernis mampu untuk mendengarkan "tangisan batin" perempuan Jawa cemerlang bernama Kartini dari akhir abad 19 yang sekalipun sangat keras menyuarakan anti poligami, namun pada akhirnya juga tetap dikalahkan oleh hegemoni patriarkisme dan menjadi istri kesekian dari seorang bupati yang berpoligami.
Bagi Kejawen Tradisional, poligami mungkin merupakan privilege mutlak seorang laki-laki atau bahkan simbol kegagahan sebagaimana Sang Lelananging Jagat (Arjuna) yang beristri banyak dalam lakon pewayangan. Tapi bagi Kejawen Modernis, poligami hanyalah sebentuk egoisme patriarki, yang alih-alih merupakan tindakan jantan, yang ada poligami hanyalah sebentuk kegagalan seorang laki-laki dalam memberi "pengayoman perasaan" kepada seorang perempuan. Belum lagi banyak anak yang terlahir dari keluarga poligami itu sangat rentan sekali mengalami kekacauan mental dan psikologis sebagaimana anak-anak dari keluarga broken home.
Jadi setajam itulah perbedaan nilai-nilai yang  dipegang oleh kelompok Kejawen Tradisional dengan nilai-nilai yang dipegang oleh kelompok Kejawen Modernis. Dalam sejarah pergerakan nasional perseteruan prinsip dari dua kelompok ini misalnya dapat kita lihat dari perseteruan sengit di dalam tubuh organisasi Boedi Oetomo antara kubu Cipto Mangunkusumo (yang merupakan representasi Kejawen Modernis) yang mengusung spirit anti feodalisme, modernisasi Jawa, dan nasionalisme Indonesia dengan kubu Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat (yang merupakan representasi Kejawen Tradisional) yang kukuh mempertahankan tatanan feodal Jawa, nasionalisme bangsa Jawa, dan menolak pemikiran-pemikiran filsafat dari Barat.
Cipto dan Radjiman meski sama-sama seorang dokter, namun sangat bertolak belakang sekali dalam pemikiran dan sikap-sikapnya. Cipto, sekalipun lahir dari keluarga bangsawan, tetapi kemudian menyempal dan memberontak dari pakem feodal ke-priyayi-annya. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara, kawan seperjuangannya yang merupakan pangeran dari keraton Pakualaman yang lantas bunuh diri atas privilege kasta sosial, begitu juga dengan Cipto Mangunkusumo, yang lantas menyebut dirinya sebagai jelata: "aku adalah anak dari rakyat, anak si kromo," begitu ia kerap berucap.
Sebaliknya dengan Radjiman, walau kemudian ia dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dari Kasunanan Surakarta karena jasa-jasanya dalam bidang pelayanan kedokteran, namun sesungguhnya ia malah berasal dari keluarga biasa dan bukan priyayi.
Radjiman Wedyodiningrat sebagai abdi dalem keraton tentu seringkali merasa dibuat jenggah dengan pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakan dari Cipto Mangunkusumo yang sangat lantang ingin menghapuskan feodalisme di tanah Jawa. Bahkan Cipto juga dengan terang-terangan memulai kampanye anti raja. Yang mana kampanye anti raja itu dikobarkan melalui tulisan-tulisan di surat kabar Penggoegah dan forum Volksraad (dewan rakyat). Sasaran kritik Cipto adalah para penguasa feodal di 4 keraton Jawa yang pemeliharaan tradisinya sangat terasa membebani rakyat, terutama dengan sistem pajak dan kerja wajib untuk keraton. Maka karena itu Cipto mengusulkan agar Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara dipensiunkan saja dengan diberi gaji bulanan 2000 gulden.
Nah, terlepas dari semua perbedaan-perbedaan prinsip yang sedemikian tajam ini, bagaimanapun antara kelompok Kejawen Tradisional dan kelompok Kejawen Modernis itu adalah sama-sama "orang Jawa yang berjati diri Jawa". Sehingga sangatlah indah sekali jika kita saat ini bisa bersatu dan rukun dalam satu nafas perjuangan. Maka tidak usahlah merasa paling Jawa sendiri dengan menegasikan kelompok yang berbeda pemikiran atau sudut pandang sebagai Jawa Palsu atau Jawa Abal-Abal. Malulah kalau dilihat kubu Santri yang sekarang antara kelompok NU (Islam Tradisional) dan Muhammadiyah (Islam Modernis) sudah sedemikian harmonis dan bergandengan tangan. Karena toh mereka akhirnya menyadari jika mereka segolongan dan sekeyakinan. Sekalipun perbedaan nilai-nilai yang mereka pegang itu sangat tajam, tapi toh mereka tetap sekeyakinan dan seajaran serta sama-sama memegang prinsip-prinsip dasar seperti: bahwa yang disebut sebagai tanah suci itu adalah tanah Arab Saudi dan bukan tanah Jawa/Nusantara dan bahwa manusia yang paling pantas dijunjung tinggi dan diteladani itu adalah Muhammad dan bukan para leluhur Jawa/Nusantara.
Saya berharap demkian juga yang terjadi di antara saudara-saudara Kejawen Tradisional dengan saudara-saudara dari Kejawen Modernis, kita memang memiliki perbedaan-perbedaan prinsip yang tidak mungkin untuk  dipersamakan, tetapi toh yang jelas kita tetap sama-sama "orang Jawa yang berjati diri Jawa" dan punya prinsip-prinsip dasar yang sama. Jadi mari kita tetap bersahabat dan bersaudara sekalipun memiliki perbedaan-perbedaan prinsip yang tajam dalam beberapa hal. Awas-awasilah siapa yang sejatinya "kawan" dan siapa yang sejatinya "lawan" itu.
Salam dari saya pemuda Kejawen Modernis.
Wong Jawa aja ilang Jawane, ning wong Jawa uga ora oleh nutup awak lan sombong ora gelem sinau babagan liya sangka bangsa manca.
Hayu Hayu, Mugya Sedaya Tansah Rineksan Karahayon, Nir Ing Sambikala, Tinebihaken Kang Ngerubeda.
----------
Ngawi, 25.07.2022
Alvian Fachrurrozi