Lanjutnya lagi, sebagai seorang Pandhita, maka harus milikilah beberapa sikap dan prinsip yang berupa; selalu haus akan pengetahuan dan kebajikan, berpantang untuk capek dalam menyelami lautan intelektualitas dan spiritualitas, berpantang untuk kendor semangat dalam "ngangsu kaweruh" dan mencicipi lapis demi lapis keilmuan, suka dan senantiasa mengakrabi laku-laku asketis seperti mengurangi tidur, puasa, dan olah samadhi.
Tetapi di satu sisi sebagai seorang Satria, juga harus milikilah beberapa hal ini; sikap mental yang tegas dan berani, serius dalam menggembleng aspek lahir seperti ilmu silat dan olah kanuragan, bersumpah untuk memiliki "sikap batin" Tatag (Berani) Teteg (Kokoh Pendirian) dan Tutug (Selesai) dalam membela sebuah prinsip kebenaran --- sekalipun jika dihadapkan pada sebuah pertarungan yang berujung maut.
Jujur saya terhenyak. Lebih-lebih pada wejangan sikap batin "Tatag Teteg Tutug" ini. Dan tentu saja soal Tatag Teteg Tutug ini saya kira sangat menarik untuk dikupas. Sebagai perbandingan saja, di kalangan samurai dan para pendekar di negeri Jepang sana juga ada yang dinamai spirit Bushido, spirit berani mati demi sebuah prinsip kebenaran, bahkan kala mereka para pendekar Jepang itu merasa telah gagal dalam memegang prinsip tadi, mereka tidak segan-segan untuk melakukan Harakiri --- bunuh diri dengan mengiris perutnya sendiri.
Kita di Jawa yang oleh para leluhur diwarisi ajaran untuk Tatag Teteg Tutug ini kok menurut saya sebenarnya juga kurang lebih sama dengan spirit Bushido yang diajarkan oleh para leluhur orang Jepang. Konsekuensi dari orang Jawa yang memegang ajaran Tatag Teteg Tutug ini saya kira seharusnya juga sama dengan konsekuensi orang Jepang yang memegang prinsip Bushido.Â