Kasus pelecahan anak di salah satu sekolah internasional, kasus pembunuhan guru oleh guru lain di hadapan anak-anak didiknya, kasus  bullying antarsiswa, hingga kasus penganiayaan terhadap anak didik oleh gurunya karena hal-hal sepele. Tahun 2014 yang seharusnya dielu-elukan sebagai tahun bangkitnya kembali pendidikan guna mempersiapkan anak didik menuju AFTA 2015, justru diwarnai serentetan  peristiwa yang mencoreng citra pendidikan Indonesia di mata dunia maupun masyarakatnya sendiri. Parahnya lagi,  kasus-kasus di atas tersebut justru  didalangi oleh komponen-komponen pendidikan seperti anak didik maupun oknum pendidik dan orang-orang kepercayaan pihak sekolah yang seharusnya menjadi figur teladan, pelindung dan pengayom bagi anak-anak didik mereka. Tentu saja hal ini menjadi masalah yang serius yang harus dipecahkan oleh pemerintah, khususnya kementerian pendidikan dan kebudayaan. Mengingat sekolah merupakan sarana penyampaian pendidikan yang utama bagi anak-anak didik. Apabila tidak ditangani secara serius, sudah barang tentu masyarakat akan kehilangan kepercayaannya dan memilih mendidiknya sendiri daripada dititipkan ke sekolah-sekolah yang sebenarnya memiliki pendidik yang lebih berkompeten. Hal ini tentu saja menciptakan masalah baru bagi pendidikan di ndonesia.