Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Makan Malam yang Menarik

24 Januari 2014   15:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:30 282 0
Barusan saya makan malam dengan seorang teman seangkatan, walaupun dia lebih tua setahun. Saat itu pukul 6 sore dan angin Januari di Bali menampar-nampar wajah kami. Dengan keadaan lelah, kami memesan makanan dan menunggu dengan seuntai obrolan singkat. Awalnya kami hanya berbincang-bincang tentang hal -hal yang tak saling berkaitan; soal betapa memuakkannya rapat barusan, soal adik-adiknya, soal program acara terbaru. Akhirnya kami sampai pada obrolan soal passion.

Passion. Untuk ukuran seorang dia--teman saya (S), passion mungkin sudah ada di luar kepala. Nyatanya tidak. Aneh? Heran? Ah, saya sering kok melihat teman-teman saya berjalan tanpa arah padahal kemampuan otak cukup memadai. Buatnya, passion adalah jalan buntu. Dia tak bisa melihat dirinya akan pergi kemana. Mahasiswi semester 8 seperti kami dengan skripsi yang sedang digarap pastinya membuat siapapun sudah bisa ancang-ancang dengan kerangka hidupnya kelak. Namun, ketersesatan teman saya dengan passion-nya hanyalah akibat dari sebuah sebab.

Beberapa waktu lalu, dia menghadiri sebuah perayaan ulang tahun temannya, yang juga mengundang tamu-tamu bule, entah dari latar belakang apa. Salah seorang dari bule itu bertanya soal ada tidaknya perbedaan Hindu di Bali dengan Hindu di India. Teman saya, yang sedang ditanyai, hanya menjawab sekenanya,'I think so'

Namun, hal itu tidak sesuai dengan jawaban teman S yang ketika itu duduk di sebelahnya. Dengan fasih dan lancar, teman S menerangkan sejarah perkembangan hHndu di India yang menyebar di Indonesia hingga masuk Pulau Bali berikut dengan perbedaan budaya yang dianut Hindu di berbeda tempat tersebut. Alangkah terkejutnya teman saya S. Dengan wajah sedih, dia bilang pada saya dia tidak bisa berucap apapun saat itu. Bahasa Inggris-nya lenyap, lidahnya kelu. Apa yang dikatakan temannya juga merupakan hal baru baginya. She is a step behind those people.

Bukan karena kalah dia menjadi sesedih dan se-frustasi itu. Namun karena dia menyadari bahwa bahasa Inggris yang dia pelajari di kampus selama lebih dari 3 tahun tak berkembang. Hasil di atas kertas selama ini hanya cerminan dari apa yang dia pelajari selama SMA dan diulang-ulang saja seperti itu. Baginya, tidak ada inspirasi yang dapat diperoleh di kampus. Kosong.

Apa yang dipercayai untuk tidak berhenti belajar dilanggarnya. Tanpa sadar, perjalanan untuk menemukan passion itu terhenti. Begitu saja. Saya tak banyak bicara saat itu dan hanya merespon dengan senyuman atau beberapa kalimat untuk mendukung apa yang dikatakannya. Dia bertekad untuk mengumpulkan buku-buku kuliah dan membacanya, walaupun sudah diwisuda nanti. Dia pun menyarankan hal serupa pada saya, yang juga saya iyakan.

Setelah piring kami kosong, perbincangan itu berlanjut. Bahwa dia harus belajar, saya juga. Bahwa orang-orang pandai di kampus mesti mengintip keluar kandang dan berani bersaing agar tak tertinggal di belakang nantinya. Saat pulang, saya merinding, bukan karena angin. Pikir saja... jika saya benar-benar berhenti belajar, berapa langkah di belakang saya berada? Jika saya berdiam diri dan menganggap diri sudah 'besar'... sudah cukup, jadi apa saya?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun