Malam ini sangat dingin. Aku jatuh cinta pada Laila, tak butuh lagi kau: kekasih yang mengutuk hatiku. Aku menelan tubuhku sendiri, kutelan bulat bulat. Menyusut, surut, hanyut dalam api yang membakar otakku. Kutelan bulat bulat seperti lubang hitam menelan sang waktu. Tak usah kau sembur aku dengan kata kata rayu maja, aku telah terjerembab dalam bungkam. Terkapar dalam sunyi, sedu sedan rasa, meronta serupa onta kehabisan cadangan air di malam buta. Pohon pohon kopi telah mati. Racun telah membunuhnya, seperti cara kau membunuhku. Pelan sekali, serupa kanker merayap dalam setiap sel tubuh, bermetastase hingga setiap nukleus sel hatiku.
Aroma kopi menguap, panaskan wajahku. Aku butuh kafein, berton ton. Bawa kemari, semburkan ke dalam sarafku. Aku tak butuh tidur. Tidur membunuh khayalku. Kau, telah meremas remas waktu yang pernah kupersembahkan dengan penuh suka. Waktu seperti kertas surat bagimu, salah kau kemas, kau remas, lalu kau lempar ke dalam tong sampah. Bah, tarian macam apa yang kau sajikan kepadaku. Oh, Laila, aku rindu padamu, di manakah kau? Aku sangat membutuhkanmu, kaulah tempat aku menyandarkan kepalaku, di bahumu. Kau sungguh kekasih yang pahami aku dari ujung kaki hingga ujung rambutku. Laila, kembalilah.
Takengon, 1 Februari 2010