Manusia-manusia berbekal mata.
Memutuskan menjadi tunanetra.
Buta akan segala peristiwa.
Di negeri kami.
Wajah-wajah berbekal pengecap rasa.
Memutuskan menjadi tunawicara.
Menjadi pengecut tanpa berani bersuara.
Di negeri kami.
Insan-insan berbekal telinga tuli.
Memutuskan menjadi tunarungu.
Membumihanguskan suara menjadi abu.
Di negeri kami.
Akal-akal berbekal kemampuan membaca.
Memutuskan menjadi tunaaksara.
Memperlakukan data dan fakta sebagai hasutan belaka.
Wahai janabijana
Di sinilah negeri para tunawiwaha
Yang menganggap sumpah janji hanya permainan belaka.
Yang memandang norma dan etika sebagai aturan tak kasat mata.
Yang menutup atmosfer distopia dengan narasi utopia.
Yang mengakali regulasi dengan memutarbalikkan logika.
Yang menganggap dirinya sebagai gerombolan adikuasa.
Yang culas dan picik bagai sengkuni dalam epos mahabrata.
Memarjinalkan strata kaum-kaum murba.
Wahai sang janabijana.
Dari rahim inilah aku lahir.
Disambut dengan pahit dan getir.
Juga kilat dan gemuruh petir.
Yang tersambar dari para birokrat amatir.
Wahai para tunawiwaha.
Demi tuhan, kalianlah golongan paling hina.
Yang telah menginjak-injak kedaulatan rakyat tanpa harga.
Mencabik-cabik norma dan etika.
Bekerja sama untuk memperkosa konstitusi negara.
Hingga sampai di titik yang jauh lebih menjijikan dari pelaku tunasusila.
Lihatlah negeri ini, negeri ibu kami.
Semakin goyah dan rapuh untuk berdiri.
Retaknya fondasi demokrasi.
Karena ditabraknya aturan dan regulasi.
Demi menginisiasi berdirinya monarki.
Melalui permainan politik dinasti.
Wahai para Tunawiwaha.
Dengarlah suara kami.
Suara dari dalam gua.
Suara dari kalangan tunakuasa.
Yang tidak menginginkan adanya pemakzulan penguasa.
Wahai para Tunawiwaha.
Cobalah untuk membuka hati dan nurani.
Berikan kami satu hal yang pasti.
Buatlah kegilaan ini berhenti.
Sebelum segalanya terlambat.
Pastikan negeri ini kokoh berdiri.
Agar bisa terus dinikmati oleh anak cucu kita nanti.