Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Relawan Vs Birokrat

10 November 2010   00:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:44 181 2
Membaca komentar bu dokter (srhida.multiply.com) tentang lebih percayanya beliau ke website swasta merapi.combine.or.id untuk info Merapi daripada website pemerintah, aku jadi ingat kenyataan di lapangan bahwa masyarakat pun lebih percaya ke relawan daripada aparat. Ini bisa dimaklumi melihat kenyataan di daerah terpencil seperti kec. Dukun dimana relawan non gajian sudah bisa mensurvai ke pelosok daerah sejak awal bencana. Sementara dari pemda baru sampai ke TPS seminggu setelah bencana.

TPS Gontor di km 10 dari puncak, lewat 2 minggu masa bencana, katanya baru sekali didrop bantuan oleh petugas negara yang notabene punya segalanya. Padahal relawan Jaring Merapi sudah bolak-balik masuk kesana menerobos medan yang lumayan berat dengan sarana seadanya. Aku sendiri heran kenapa pemerintah begitu sibuk berteriak-teriak untuk evakuasi kota Muntilan yang jaraknya 19 km dari puncak, sementara di km 8 masih ada banyak nyawa manusia dengan pelindungan apa adanya.

Sempat merasa aneh juga ketika Polsek Dukun tahu-tahu ditutup dan dievakuasi ke bawah sementara masyarakat masih dilanda kebingungan. Justru pasukan relawan lah yang keliling kampung menenangkan masyarakat. Termasuk ketika awan panas meluncur ke arah barat. Masyarakat panik saling berebutan turun gunung, saling memacu kendaraan di jalanan licin, tidak ada satupun aparat keamanan mengatur lalu lintas yang kacau. Lagi-lagi pasukan relawan yang berperan menenangkan masyarakat agar tidak terjadi bencana tambahan dalam bentuk kecelakaan lalu lintas.

Mungkin saja para pejabat bisa berkilah, jumlah personil negara tak sebanyak relawan. Omong kosong pejabat busuk..! Kalo memang kekurangan orang, kenapa tidak merangkul relawan dan potensi lokal yang ada. Aku pikir dana negara yang tak terbatas digabungkan dengan pasukan sukarela yang ada adalah sinergi terbaik dalam masalah ini. Tapi kenyataan di lapangan, relawan jarang mau berurusan dengan posko bencana pemerintah.

Sudah jelas banyak balita kekurangan makanan dan pakaian di pelosok, ketika kita coba masuk ke posko pemerintah menawarkan tenaga untuk menyuplai bantuan malah diminta data pengungsi plus surat pengantar dari kepala desa. Kecurigaan pemerintah takut bantuan diselewengkan relawan melebihi kepentingan menyelamatkan warganegara yang selalu setia membayar pajak. Apakah para pejabat lebih suka menimbun bantuan untuk dibagi-bagi sebagai uang saku setelah bencana berakhir dibanding menyelamatkan lebih banyak jiwa rakyatnya..? Wedussss...!!!

Di jalanan Muntilan begitu banyak tentara mengeruk debu yang membalut aspal agar tidak licin. Tapi silakan dilihat, banyakan mana yang pegang pacul dengan yang berdiri mengatur lalu lintas atau sekedar merokok sambil ngobrol. Kenapa para pemakan gaji buta itu tidak ditugaskan turun ke TPS terpencil saja. Toh kayaknya mereka lebih terlatih menghadapi medan berat dibanding aku dan teman-teman.

Terus terang aku mangkel dengan para pejabat pusat yang sliwar sliwer ke pengungsian, tapi cuma yang aksesnya mudah saja. Mau nengok pengungsi saja harus pakai forwarder yang menyuruh pengguna jalan untuk minggir seolah rakyat tidak punya kepentingan lebih besar dari mereka. Ngapain pura pura soksial kalo hanya untuk pamer arogansi di jalanan. Pak beye ga perlu lah keluyuran ke Merapi. Itung sendiri saja kalo memang mengaku cerdas, berapa biaya yang dihabiskan untuk wisata bencana pejabat. Lebih bermanfaat mana bila dibandingkan dengan dana itu dikucurkan kepada pengungsi agar bisa memperoleh akomodasi yang lebih layak.

Pikirkanlah bapak ibu yang berwenang. Perlukah kami tetap diwajibkan mengajukan proposal dengan keribetan birokrasi hanya untuk minta selimut dan makanan bayi? Tidak bisakah anak-anak kami yang kedinginan bisa segera dibantu tanpa harus minta tanda tangan kesana kemari?

Makin skeptis saja dengan pengelola negeri ini...

Salam
Rawins

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun