Buat teman yang di Swiss, maaf bila beloknya terlalu jauh dari obrolan dan malah membahas novel..
Ada sebuah keadaan lain di Dukuh Paruk. Seorang suami misalnya, tidak perlu berkelahi bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga. Suami tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis, mendatangi istri tetangga itu dengan menidurinya. Habis segala urusan! (RDP-CBE, hal. 85).
Cerita tentang kepraktisan ini merupakan sindiran telak untuk masyarakat modern. Cukup banyak masyarakat kita yang tak mau meributkan ketika menemukan pasangannya selingkuh. Daripada ribut atau bercerai dengan berbagai resiko buruknya, mereka memilih untuk melakukan hal yang sama dengan pemikiran agar skornya 1 - 1. Ketika suami-suami sibuk mencari daun muda, istri-istri pun tak mau kalah mengadakan arisan brondong. Sebuah fenomena yang sering kita cela, tapi dengan enjoy kita jalani ketika kita berada di posisi itu.
Di Dukuh Paruk sama sekali tidak ada masalah kerumahtanggaan. Tak ada seorang suami pun yang merasa rugi oleh kecantikan Srintil. Boleh jadi karena semua orang di sana masih terikat dalam tatanan nilai yang tersendiri. Sudah biasa di sana seorang istri yang sedang hamil tua atau baru melahirkan menyuruh suaminya meminta jasa kepada Srintil. Nasihat dukun bayi kepada para suami juga bernada sama. “Awas, jangan dulu menjamah istrimu sebelum seratus hari. Mintalah kepada Srintil bila tidak bisa menahan diri.” (RDP-LKDH, hal. 227).
Mungkin kita akan berpikir, warga Dukuh Paruk sakit, cabul, bodoh karena memang kehidupannya yang jauh dari peradaban. Tapi kenyataan semacam itu juga terjadi di kalangan ningrat Jawa. Para priyayi yang main judi, minum arak, main perempuan, dan minum candu pun kalau mampu tak jadi masalah. Mungkin hanya mencurilah yang dianggap merusak reputasi kepriyayian Jawa. (Belantik, hal.19).
Walau jelek menurut pandangan modern kita, tetap saja itu masih lebih baik dibandingkan kenyataan saat ini. Para pejabat kita yang sok alim didepan kamera, banyak yang suka main perempuan, narkoba dan sejenisnya seperti kehidupan priyayi. Bedanya priyayi tidak mau nyolong, sedangkan pejabat kita banyak yang hobi walau namanya berubah keren, korupsi.
Gelora seksual Srintil dan keberaniannya mengajak Rasus untuk melakukan hubungan seksual merupakan manifestasi dari kebutuhan cinta dan kesatuan, berbeda dengan pandangan Freud yang mengatakan bahwa cinta adalah ekspresi (atau sublimasi) dari naluri seksual. Karena cinta, Srintil ingin memberikan keperawanannya tanpa imbal-balik materi kepada Rasus. Freud menganggap bahwa naluri seksual merupakan akibat dari ketergantungan yang terjadi dalam tubuh manusia, di mana ketegangan itu selalu mencari jalan keluar. Sejalan dengan materialisme psikologinya, Freud menyamakan pemenuhan dan kepuasan seksualitas seseorang sama dengan kesembuhan penyakit gatal.
Padahal bila kita konsekuen dengan pandangan Freud ini, perselingkuhan sampai tahap hubungan seksual tidak perlu terjadi dan cukup diselesaikan dengan masturbasi. Padahal dalam kisah Srintil, dan juga di banyak kalangan masyarakat saat ini, hubungan seks antar jenis kelamin lebih didorong oleh kebutuhan untuk memperoleh kesatuan dengan lawan jenis. Yaitu untuk kepuasan secara psikis dan tidak semata-mata mengejar kenikmatan fisik.
Mungkin ini jawaban atas sebuah pertanyaan, kenapa ketika hidup sudah mapan, punya istri luar biasa cantik dan palayanan seksual yang dahsyat, seorang laki-laki bisa selingkuh dengan perempuan lain yang secara fisik lebih jelek. Karena seks dalam rumah tangga memang bukan cuma hubungan fisik semata. Faktor psikis dan pelibatan emosi sangat besar poengaruhnya dalam mencapai kepuasan. Kecuali bila memang hanya mengejar kenikmatan, fenomena daun muda atau brondong memang menjadi jawaban, walau dengan masturbasi sebenarnya sudah cukup dan tidak beresiko secara kesehatan.
Dan bila kembali kepada temanku yang menjadi ide tulisan ini, aku cuma bisa mengatakan, bahwa bila memang cinta yang terpendam benar-benar membutuhkan penyaluran, jadikanlah falsafah Dukuh Paruk sebagai gambaran. Terlalu ingin dikatakan menjadi manusia modern hanya akan membuat kita melupakan kearifan lokal budaya bangsa. Lihat dari sisi kejujuran pemaknaannya, bukan seksualitasnya semata.
Bila ada yang mengatakan itu cuma contoh fiksi, silakan buka buku sejarah tentang kehidupan di kraton yang ketat dan banyak aturan dibanding keluguan manusia tanpa peradaban di Dukuh Paruk. Kenapa seroang priyayi bisa beristri atau bergundik banyak dan jarang menimbulkan konflik. Silakan digali sendiri dari sana.
Bukan aku ingin menganggap lumrah penyelewengan seksual semacam itu. Aku hanya ingin mengatakan bila itu adalah sebuah realita kehidupan yang tak pernah punah sejak jaman purba sampai kiamat nanti. Hanya bedanya, dulu kita melakukannya dengan penuh kejujuran (atau keluguan ya..?), sedangkan sekarang penuh kepalsuan. Latar belakang pendidikan tinggi dan pemahaman agama tak menjamin orang itu bisa manis luar dalam.
Kalo kita bisa berbuat buruk dalam kejujuran tanpa konflik, kenapa kita memaksakan diri untuk berbuat baik dalam kepalsuan yang hanya akan menuai masalah di akhirnya. Hidup ini hanya sekali, jadi nikmatilah sebaik-baiknya. Carilah cara agar bisa damai lahir batin sampai akhir hayat. Bukan hanya nikmat sesaat yang meninggalkan luka sepanjang hidup.
Buat temanku, kejarlah cintamu dengan baik walau mungkin tidak dibenarkan. Toh kebenaran hanyalah sebuah kata yang ambigu dan berbeda makna untuk setiap orang. Tidak ada kebenaran yang absolut. Yang ada hanyalah kebetulan dan kebetulan...
Ini sekedar wacana dan opini pribadi. Kesimpulannya, silakan dibuat dalam pemikiran masing-masing.
Terima kasih, teman...
Salam
Rwn