Tapi kenyataan tak seindah bayangan. Jangankan menemukan lagu cinta tentang engkau dan aku. Yang ada hanyalah pisuhan beradab khas Jogja. Jalanan semrawut, macet dan pedagang yang tidak tertata. Trotoar lebar yang seharusnya nyaman untuk jalan-jalan, malah dipenuhi sepeda motor parkir. Daya pikat nama Malioboro membuat manusia-manusia tersedot kesitu dan kemacetan, sampah, polusi, pengamen, copet itu dianggap sebagai bagian wisata petualangan.
Dulu pernah dicanangkan hari bebas kendaraan bermotor setiap sabtu minggu, tapi entah kenapa tidak ada tindak lanjutnya. Atau mungkin pelaku usaha disitu omsetnya turun, karena pengunjung males jalan kaki dari tempat parkir. Padahal menurutku tidaklah demikian. Daya tarik Maliboro bukan di susahnya cari tempat parkir, tapi di nama legendarisnya. Dalam kondisi kurang nyaman saja aku mau jalan kaki sepanjang trotoar, apalagi kalo tertata rapi.
Pengelola aset wisata Jogja mungkin bisa belajar kepada Pemerintah Arab Saudi dalam mengelola Sumur Zam Zam. Pada tahun 1970an ketika jemaah haji baru sekitar 400.000 orang pertahun, mereka mulai melakukan penelitian oleh ahli hidrologi dari Pakistan bernama Tariq Hussain and Moin Uddin Ahmed. Wisatawan haji setiap tahun pasti meningkat (sekarang sudah 2 juta lebih..) Pembangunan perumahan, fasilitas jalan, terowongan akan terus bertambah. Padahal daerah resapan air penyuplai sumur zam zam di cekungan Mekkah hanya seluas 60 km persegi dan kian padat.
Untuk mengelola sumur yang dijaga Tuhan saja, mereka tidak menyuruh Tuhan untuk memeliharanya secara alamiah. Kenapa untuk Malioboro tidak bisa. Aku rasa data pengunjung tiap tahun grafiknya terpampang di kantor dinas pariwisata. Kenapa tidak bisa membuat data itu memiliki arti dan bukan sekedar tempelan dinding.
Atau karena masyarakat kita memang susah diajak tertib..? Seperti aku yang masih saja ringan tangan membuang puntung rokok ke trotoar jalan tempat aku pernah mencari cinta bak Doel Sumbang...
Salam
rawins