Lebih jauh, absennya pesaing dalam pilkada bisa dilihat sebagai tanda defisit dalam representasi politik. Jika hanya ada satu calon, berarti tidak semua segmen masyarakat terwakili dengan memadai. Kondisi ini dapat memicu rasa keterasingan di kalangan kelompok-kelompok tertentu yang merasa aspirasi mereka diabaikan. Ketika keterwakilan berkurang, alienasi politik pun meningkat, dan ini bisa berdampak pada partisipasi politik yang semakin rendah di masa depan.
Selain itu, skenario kotak kosong berisiko memicu polarisasi sosial. Ketidakadilan atau ketidakseimbangan dalam kontestasi politik dapat memperdalam jurang perbedaan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Mereka yang merasa tidak terwakili mungkin mencari cara lain untuk mengekspresikan ketidakpuasan, yang dapat mengarah pada ketegangan sosial yang lebih besar.
Persepsi publik terhadap integritas pemilihan juga menjadi taruhannya. Jika masyarakat meragukan kejujuran proses pemilihan, legitimasi dari hasil pemilihan tersebut dapat dipertanyakan. Ini bukan sekadar masalah lokal, tetapi juga dapat memengaruhi kepercayaan terhadap proses demokrasi di tingkat nasional. Jakarta, sebagai ibu kota, sering kali menjadi acuan bagi daerah lain; apa yang terjadi di sini bisa berdampak luas.
Skenario ini juga berpotensi menciptakan preseden buruk bagi praktik demokrasi di Indonesia. Jika dibiarkan, ada risiko bahwa skenario kotak kosong menjadi sesuatu yang diterima secara luas, yang dapat memperlemah fondasi demokrasi di negeri ini. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengubah wajah demokrasi Indonesia menjadi lebih eksklusif dan kurang akomodatif terhadap pluralitas suara.
Dengan demikian, skenario kotak kosong bukan hanya tantangan bagi proses politik Jakarta, tetapi juga cermin bagi keadaan demokrasi di Indonesia secara keseluruhan.