Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Resensi Buku: Adat Dalam Politik Indonesia

10 April 2015   13:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:17 707 0
Adat Dalam Politik Indonesia

[Editor Jamie S. Davidson, David Henley, & Sandra Moniaga]

Resensi Oleh

La Ode Muhammad Rauda Agus Udaya Manarfa

Buku ini membahas tentang adat yang dikaitkan dengan persoalan politik di Indonesia. Memberikan gambaran bagaimana aktivitas pasang surut adat yang berupaya eksis di zaman globalisasi saat ini. Sebelum para founding father kita bersepakat dalam bentuk final yang dapat kita saksikan saat ini, adat telah lama dijunjung sebagai way of life, yang dalam perjalanan waktu dan dinamika sejarah manusia, terbukti menjadi spirit dalam mempertahankan eksistensi kehidupan masyarakat di berbagai wilayah nusantara selama ratusan tahun, sejak masa kerajaan Hindu, Kesultanan Islam, Imperialisme Bangsa Eropa, penjajahan Jepang, melebur dan hampir hilang pada masa orde lama dan orde baru, lalu muncul kembali di awal abad ke-20, tetapi yang lebih penting bahwa adat menjaga warisan ide, perilaku, benda-benda yang dapat menjadi identitas kedirian, darimana diri berasal dan bagaimana harus bertindak sesuai dengan kepemilikan identitas tersebut.

Banyak yang menganggap bahwa adat adalah sesuatu yang usang pada masyarakat Indonesia yang Modern. Tetapi kenyataannya, semodern-modernnya masyarakat Indonesia itu sangat terlihat di kota (sebenarnya desa juga mengalaminya tetapi tidak segencar di kota), sementara di desa walaupun indikator modernisasi dalam bentuk fisik telah terlihat tetapi rohaninya masih tetap menjunjung tinggi adat, terlepas dari kencang kendurnya ia dilaksanakan. Dan lagi masyarakat kota yang hidup dalam hiruk pikuk kesibukan metropolitan tidak sedikit yang merindukan suasana yang tenang damai penuh kesahajaan sesuai dengan habitat awal dari nenek moyang, sebuah tempat yang di dalamnya diterapkan aturan-aturan yang sangat bersahabat, bukan penuh kompetisi dan yang kalah tergilas oleh yang lainnya, adatlah yang mampu mengakomodasi itu semua.

Dalam kurun waktu dua dekade terakhir sejak awal masa keruntuhan orde baru, adat merupakan diskursus yang kembali didengungkan setelah sekian lama tiarap bersama dengan semangat nation state of Indonesia. Oleh pemerintah orde baru mendukung adat dalam upaya pelestarian kesenian dan perlindungan identitas dan kearifan lokal yang mulai tergerus oleh zaman. Juga oleh sekelompok orang yang bernada swadaya masyarakat, yang tanpa mendapat respek awal yang baik dari pemerintah juga berkomitmen mendedikasikan diri untuk menjaga adat baik diakui maupun tidak diakui oleh pemerintah. Adat telah sebagai yang telah lama mendarah daging dan ini bercokol kuat di Indonesia.

Sebagai generasi x yang hidup pada masa kini, adat merupakan sesuatu yang sangat langka dan unik karena kewajaran hampir tidak mengela adat yang kuno. Keanehan mengenai adatlah yang menarik perhatian sekelompok penulis yang menyumbangkan karyanya dalam buku yang diedit oleh Davidson et.al. Khususnya dari kacamata politik guna melihat sejauhmana keterlibatannya dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia pada hari ini.

Sesuai dengan judul buku, gagasan yang hendak suguhkan kepada pembaca yaitu bagaimana gambaran keterlibatan adat dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Realitas yang ditangkap dan dituangkan menjadi konsep kemudian dipecah dalam 15 Bab yang mengkaji topik spesifik. Literatur ini sangat tebal tetapi setiap kalimat memiliki makna yang dalam karena berdasarkan dari kajian empiris, sehingga pereview tidak dapat mengenyampingkannya dalam ulasan beberapa kalimat kecuali dalam beberapa paragraf. Ide-ide penting yang terdapat dalam bab-bab pada buku ini, pereview ambil intisarinya lalu penulis tuliskan kembali dalam alinea versi yang lebih singkat dari yang tedapat dalam literatur aslinya. Pereview juga memuat pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi main question yang juga merupakan kerangka pikir hingga disusunnya buku ini, yang pada akhirnya setelah pereview menyajikan penjelasan singkat bab per bab, pereview akan kemukakan jawaban atas pertanyaan yang telah penulis cantumkan di tengah-tengah alinea, benang merah antar bab, serta analisis pribadi pereview.

Disinggung bagaimana adat sedemikian menjelma menjadi sesuatu yang menguatkan masyarakat untuk bertindak sesuai dengan pola-pola lama yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Adat menjadi alasan dalam melegalisasi upaya masyarakat melawan pemerintah atau korporasi guna merebut lahan yang selama ini hendak dimanfaatkannya. Pada bab-bab berikutnya, sebenarnya hendak mencoba menjawab pertanyaan besar yaknipertama apa asal usul kebangkitan adat di Indonesia?. Faktor-faktor historis apa saja yang telah mempengaruhinya dan mengapa ia justru berkembang pada masa kini serta dalam konteks dan bentuknya yang sekarang. Kedua bagaimana kebangkitan adat merupakan sebuah kontribusi yang konstruktif bagi pluralisme politik baru Indonesia, dan seberapa jauh ia menjadi sebuah kekuatan yang justru memecahbelah dan reaksioner? Apa saja yang disampaikan kepada kita mengenai kondisi politik dan masyarakat Indonesia sekarang ini, dan apa saja implikasinya bagi pembangunan demokrasi, HAM, keberadaan (civility), dan stabilitas politik di masa depan? Singkatnya, apakah ini merupakan sesuatu yang baik?. Pertanyaan-pertanyaan di atas akan dibahas dalam bagian lain tetapi masih dalam tulisan yang sama.

Ditekankan bahwa fokus adat bukanlah tradisi tetapi tradisionalisme yang berupaya membedakan antara kebangkitan adat dengan adat dalam arti dan aplikasi yang sesungguhnya. Kebangkitan adat maknanya lebih mengarah ke upaya menghidupkan atau menguatkan kembali adat dari yang tadinya mati atau lemah. Dalam bab ini dikerucutkan pemahaman akan adat dalam dua spektrum yakni pertama bahwa adat merupakan tatannan aturan hak dan kewajiban yang terangkai kompleks dalam tiga hal seperti sejarah, tanah, dan hukum. Kedua, bahwa adat mempersentasekan seperangkat gagasan atau asumsi yang samar, namun penuh kekuatan mengenai bagaimana seharusnya masyarakat ideal itu.

Disepakati bahwa gerakan masyarakat adat seringkali dipandang sebagai kelanjutan dari tradisi anti imperialisme. Gerakan-gerakan serupa sebenarnya mulai bermunculan di seluruh dunia dalam isu dan paham yang berbeda tetapi masih dalam satu fokus yang sama yakni anti terhadap segala sesuatu yang menyengsarakan kehidupan masyarakat banyak, hingga mendorong terbentuknya penggolongan sebagai masyarakat dunia keempat.

Disinggung adanya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Institut of Dayakology Research and Development (IDRD), Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai lembaga yang konsen memperhatikan masyarakat adat di wilayah binaannya. Pada masa orde baru masyarakat adat yang belum menyatakan memeluk satu dari Lima agama resmi pemerintah sebenarnya berada di bawah ancaman sebagai komunis. Hal ini terjadi karena penerapan Sila Pertama dari Pancasila-lah yang salah kaprah. Juga diceritakan bagaimana pemerintah dengan dalih kepentingan nasional mengambil alih tanah masyarakat secara paksa, dan hal tersebut merugikan karena masyarkat kehilangan tanah tempatnya menyandarkan hidup (kasus di Sumatera Barat). Pada contoh kasus di Bali, masyarakat setempat menerapkan resistensi yang tinggi dengan kehadiran orang luar yang hendak masuk memiliki tanah di sana, karena Bali berupaya menjaga kemurnian adatnya, menjaga stabilnya persaingan usaha dengan kontestan yang hanya berasal dari Bali saja.

Henley dan Davidson mengemukakan bahwa adat dalam konteks modern bermakna tradisi-tradisi warisan yang bersifat lokal, sebagai sebuah wacana pan-Indonesia yang menghubungkan sejarah, tanah, dan hukum, yang sebagian lagi mengarah ke ideologi politik yang terikat dalam otentisitas, komunitas, ketertiban, dan keadilan.

Pertanyaan yang selanjutnya akan dibahas dalam buku ini pada bab-bab selanjutnya adalah seperti apa asal muasal dari kegairahan atau antusiasme pada waktu belakangan ini di Indonesia untuk kembali ke Adat? Apa yang memberi adat sebagai sebuah alasan politis, kemampuan untuk menarik dan memobilisasi dukungan? Dan mengapa mobilisasi itu bisa terjadi sekarang ini. Berkembang cepat dalam suatu pemekaran aliran tradisionalisme dan paham indigenisme yang mendadak muncuk setelah era Soeharto? Serta, apakah kecenderungan yang bersifat memisah-misahkan dan tidak toleran dari gerakan justru akan mengatasi kemampuannya untuk membela kaum terpinggir, memulihkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan, dan meletakan landasan bagi stabilitas dalam masa-masa perubahan sekarang ini?

Pada negara-negara berkembang, masyarakat adat dinilai sebagai kelanjutan perjuangandari gerakan anti imperialisme pada tingkat sub nasional. Sedangkan pada negara-negara maju masyarakat adat menamai dirinya sebagai masyarakat dunia keempat atau tribalpeoples (dunia pertama didominasi oleh negara-negara maju di eropa yang menganut ideologi kapitalisme, dunia kedua didominasi oleh negara-negara di eropa dan sebagian di timur yang menganut ideologi sosialisme, dan dunia ketiga adalah negara-negara berkembang yang tersebar di berbagai penjuru bumi). Pada kenyataannya, masyarakat adat ini adalah merupakan penduduk yang pertama kali memiliki daerah yang didiaminya, yang dalam perjalanannya ia terpinggirkan, tersisihkan, dan tidak mendapat tempat sebagaimana kehidupannya dulu yang bersahaja.

Penulis dalam buku ini nampaknya hanya menilai gerakan masyarakat di luar Indonesia khususnya pada negara-negara yang menganut kapitalisme sebagai pemberi pengaruh dari luar bagi terbentuknya gerakan-gerakan serupa di Indonesia, bisa jadi serupa tetapi tidak sama asal inspirasinya. Masyarakat adat di Indonesia tidak lebih up date terhadap informasi jika dibandingkan dengan masyarakat kota, dan lagi tidak memiliki hubungan yang kuat untuk taat mengikuti atau sebagai salah satu kartu domino gulir berantai atas gerakan-gerakan yang dilakukan. Dengan seringnya penulis menempatkan nama AMAN sebagai simbol dari masyarakat adat di Indonesia, pereview menilai adat yang dimaksud dalam pembahasan bab ini lebih dimaknai ke arah gerakan memperjuangkan hak-hak yang yang selama ini direbut oleh penguasa.

Adat pada masa orde baru lebih diinterpretasikan sebagai sarana pelestarian kesenian nusantara, yang diharapkan memiliki nilai komoditas yang dapat menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi dari bidang pariwisata. Hal ini diintensifkan dengan dibangunnya wahana rumah adat tradisional di Taman Mini Indonesia Indah. Adat juga dipakai sebagaitools dalam memberangus ideologi komunisme, khususnya di Sumatera Barat hingga menginisiasi lahirnya LKAAM. Adat dalam interpretasi dari Sila Pertama Pancasila, tidak dapat hidup dalam diri yang secara turun temurun telah mentradisi meyakini kekuatan gaib namun tidak beragama pada 5 agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintahan Soeharto, sehingga keberadaannya diberangus, di sisi lain dipandang memiliki kerentanan yang tinggi dari pengaruh ide-ide komunisme.

Masyarakat adat juga terjajah secara teritori, karena kurangnya pembuktian verbal akan sahnya lahan yang dimilikinya sehingga dapat dengan mudah diklaim oleh pemerintah sebagai tanah negara dan digunakan sebagai pemukiman dan lahan pertanian transmigran dari Jawa dan Bali, yang hal ini gencar terjadi para era orde baru. Dalam pendahuluan buku ini terdapat ketentuan hukum yang menarik, hasil warisan dari Sukarno mengenai UUPA tahun 1960-an, bahwa semua tanah dapat dialihkan status kepemilikannya apabila berbenturan dengan kepentingan nasional. Dasar pembuatan klausul ini sebenarnya diniatkan untuk kebaikan dalam rangka proses reformasi agraria, namun itu hanya berlaku dengan syarat diri pribadi yang jujur dan terpercayalah yang menjadi penguasa, tetapi berbalik menjadi bencana manakala dari sosok yang zalim yang menjalankan UUPA tersebut, sangat dikhawatirkan akan menyalahgunakan aturan dimaksud hingga menyengsarakan rakyat kecil.

Masyarakat adat tidak selalu menyambut pembangunan dengan muka yang ceria bahkan dianggap sebagai perebut lahan pencarian nafkah. Dalam contoh kasus di Bali, pendatang dari luar sangat dibenci karena akan mengurangi kesempatan masyarakat asli Bali untuk berusaha di daerah sendiri. Walaupun demikian dalam beberapa kejadian, masyarakat tidak begitu berdaya ketika penguasa elit nasional yang menjadi pendatang menancapkan investasinya sekalipun sangat menyinggung perasaan masyarakat Bali. Hal hampir serupa juga terjadi di Sumatra Barat (Minangkabau). Dalam perjalanannya, pengambilalihan lahan secara paksa oleh pemerintah mendapat tantangan dari masyarakat yang tentunya diorganisir oleh LSM seperti WALHI dan LBH, secara spesifik terjadi di daratan Sulawesi.

Dalam kacamata para penulis asing ini, adat pada masa reformasi adalah sangat berpeluang untuk dibangkitkan karena menjadi jalan dalam membereskan ketidakadilan yang terjadi pada masa lampau juga sebagai pengaman atas posisi-posisi yang menguntungkan dalam perebutan kekuasaan di daerah. Pada masa akhir dari puncak reformasi, AMAN terbentuk melalui kongres yang mengklaim dihadiri oleh utusan masyarakat adat dari Aceh hingga Papua, dan dengan pernyataan yang provokatif organisasi ini diperkenalkan secara fenomenal.

Penulis pula mengemukakan bagaimana masyarakat adat di Bali merasa memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk memaksa pihak developer mengembalikan tanah adat yang dikeruk, yang masuk dalam kawasan adat terjaga. Juga fenomena kelompok Islam yang secara aktif selalu memberikan label tidak sejalan dengan ajaran agama terhadap kelompok Islam lainnya di Flores, yang menganut Wetu Telu sebagai sinkretisme tradisional Islam dengan kekerasan yang didukung oleh aparat militer. Dalam scoup yang terbatas di Sumatera Barat, adat dipandang sebagai sesuatu yang sekuler daripada pelengkap bagi kehidupan Islam di sana.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat adat Papua mendapatkan keberhasilan dengan menekan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan perlakuan yang istimewa hingga menghasilkan Otonomi Khusus (OTSUS) bagi Papua. Walaupun sebenarnya otonomi ini tidak lepas pengaruhnya dari ancaman disintegrasi bangsa, tetapi karena pentingnya nilai Papua maka ancaman tersebut diganjar melalui OTSUS dengan harapan agar tidak pernah terjadi.

Dalam pandangan Davidson, kebangkitan adat pada tahun 1998 bukan dipicu karena kegagalan negara dalam menghormati hak-hak adat tetapi oleh kegagalan dalam menjaga ketertiban dan ketentraman yang oleh pandangan umum orang Indonesia merupakan tugas utama dari negara dan juga adat sebagai organisasi modern dan organisasi tradisional. Digambarkan pula kebangkitan adat oleh para Raja/Sultan/keturuannya melalui Forum Komunikasi Keraton-Keraton Indonesia (FKKKI) tahun 1995 di Solo, 1998 di Cirebon, dan 2002 di Kutai Kertanegara yang bersanding mesra dengan pemerintah dan kontras dengan AMAN yang berdiri tahun 1999 dengan menebar ancaman kepada pemerintah. Pada kasus-kasus tertentu seperti yang terjadi di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, peran Raja yang juga berarti Kepala Desa, dimandulkan oleh pemerintah, dan ia mengalami revivalisme pada tahun 1999 sejalan dengan angin kebebasan reformasi.

Adat dalam konteks modern berarti tradisi warisan yang bersifat lokal, sebagai wacana pan-Indonesia yang menghubungkan sejarah, tanah, dan hukum, juta sebagai ideologi politik. Khusus untuk hukum, sejak masa kolonial di Nusantara telah diterapkan sistem pluralitas hukum yang berarti adanya tiga pandangan akan hukum yang meliputi pertama penduduk asli Nusantara tidak terikat dengan hukum Eropa, kedua masing-masing kelompok yang mengkategorikan dirinya sebagai penduduk asli, atau kelompok etnis mengurusi dirinya dengan hukum milik mereka sendiri, dan yang ketiga hukum Islam diterapkan hanya kepada daerah yang sebagian besar penduduknya beragama Islam dan mau menerapkannya. Sebenarnya pluralitas ini mendapat tentangan agar dihapuskan dengan penerapan satu hukum saja pada masa itu tetapi juga mendapat dukungan agar terus dilestarikan. Salah satu dukungan berasal dari seorang Profesor Ilmu Hukum Adat (adatrecht) di Universitas Leiden, Cornelis Van Vollenhoven (bapak Leiden School). Van Vollenhoven mengungkapkan keinginannya dalam melindungi hak komunitas dari ancaman perusahaan swasta pada masa-masa yang akan datang (masa kini). Kekhawatiran tersebut telah terbukti, diskursus hak adat kini tengah beradu dengan kepentingan-kepentingan korporasi dengan masyarakat pengusung adat sebagai pihak yang selalu kalah dan tergusur. Jika pada studi hukum umum menggunakan istilah hak adat maka khusus masyarakat Minangkabau menyebutnya dengan Hak Ulayat (hak komunal atas tanah). Untuk pertamakalinya aksi demontrasi mengenai ketertindasan masyarakat adat diadakan oleh WS Rendra melalui pentasnya Suku Naga di tahun 1975 yang mengetengahkan bagaimana Suku Naga terancam oleh perusahaan yang telah bekerjasama dengan pemerintah yang korup. Selama era orde baru, masyarakat adat yang konsisten menerapkan adatnya, jauh dari pengaruh westernisasi, serta mandiri dalam hidup diberikan label sebagai masyarakat terasing.

Pada masa kolonial adat berada dalam perlindungan penjajah, walaupun pada masa ini Nusantara menderita tetapi untuk adat ia terjamin. Sekitar tahun 1959, adat mulai mendapat pelemahan, hingga tahun 1990-an di era kejatuhan Soeharto, adat kembali didengungkan untuk dikembalikan kepada tempatnya semula yang memiliki kewenangan dalam pengaturan kehidupan masyarakatnya. Meniliki perlindungan yang diberikan oleh Kolonial kepada Nusantara berangkat pada pemahaman penguasaan tanah masyarakat nusantara yang berada dalam wilayah hukum adat, tetapi penguasaannya diperkirakan mendapat masalah rumit. Pihak kolonial berprinsip jika tidak dapat menguasainya maka paling tidak mencegah agar tidak dikuasai oleh pihak luar lainnya selain oleh masyarakat pemilik asli tanah tersebut, hingga diterapkanlah perlindungan pelaksanaan hukum adat di nusantara. Dalam perkembangannya, kolonial Belanda dengan dalih melindungi adat akhirnya memiliki dan memainkan peran dalam membentuk pemerintahan adat yang orang-orangnya ditentukan oleh pihak kolonial, tentunya yang berasal dari orang-orang yang seide dengan kolonial.

Mahmood Mamdani dalam Davidson mengungkapkan desentralisasi kewenangan oleh kolonial kepada kepala-kepala suku di Afrika menjadi sumber utama konflik dan kondisi perpolitikan yang tidak kondusif nan berkesudahan di Afrika dewasa ini. Hal ini pulalah yang menjadi gambaran perbandingan dengan yang terjadi di Indonesia. Kelompok Etnik di Indonesia sebaliknya, malah mengembangkan potensi solidaritas etnis, yang didorong oleh kesadaran sangat beragamnya suku-suku bangsa yang ada di Indonesia.

Ada oleh Tania Li dianggap sebagai basis legitimasi politik dan organisasi yang cenderung mengistimewakan kaum elit, terutama para senior pria, yang diperkuat untuk berbicara atas nama yang menurut perkiraan mereka sendiri secara keseluruhan. Li melihat adanya ketimpangan kepada perempuan pada gerakan kebangkitan adat di Indonesia, seperti yang terjadi di Lombok, Maluku, juga di Kalimantan Tengah. Tumit Akhiles atau titik lemah dalam penerapan adat di Indonesia salah satunya adalah ketidakmampuan dalam memberikan jawaban atas pertanyaan mengenai bentuk-bentuk ketidaksetaraan yang disahkan oleh adat kebiasaan, dan itu dianggap sebagai adat, padahal pada hakekatnya merupakan pelanggaran terhadap diri individu manusia yang berhak atas perlakuan yang setara dalam kedudukannya, terutama bagi kaum perempuan. Dalam kasus yang lainnya seperti para pemuka adat nagari di Sumatera Barat mengambil keuntungan ekonomi untuk dirinya sendiri saat terjadinya depresiasi mata uang Rupiah pada tahun 1997, merupakan sisi lain yang memiriskan dengan memanfaatkan kewenangan individu dalam adat.

Penentuan masyarakat adat dewasa ini berpangkal pada darah sebagai hubungan biologis yang kuat serta daerah asal kelahiran dengan teritori sebagai pengikatnya. Pada masyarakat adat di Nusantara selain dua jalan tadi, bagi orang asing yang tidak masuk dalam dua syarat tadi dapat pula menjadi anggota masyarakat adat setelah melalui ritual adat tertentu yang disepakati. Salah satu pandangan yang nampaknya sangat kontra produktif dengan perkembangan dunia masa kini adalah pandangan sinis yang diarahkan kepada orang-orang yang bukan berasal dalam kelompok adat yang sama. Dalam prakteknya yang ia teraplikasi melalui tindakan kekerasan atas nama adat seperti yang dilakukan oleh orang-orang Dayak yang mengusir orang Madura di Sambas pada tahun 1997, 1999, lalu tahun 2001. Khusus untuk contoh kejadian di atas, jika dikaji sebenarnya akan ditemukan banyak kejanggalan akan pemahaman adat, yang mana mengesahkan pembunuhan, perampasan hak hidup orang lain atas nama adat, juga didukung oleh organisasi transnasional dengan gerakan diam yang paling tinggi tensinya hanya dengan aksi kecaman tanpa pengaruh apapun.

Nasionalisme memuat dua varian sebagaimana yang disampaikan oleh Anthony Smith dalam Davidson, pertama civic territorial yang mengacu kepada aspek kewilayahan dankedua ethnich genealogical yang mengacu kepada ikatan asal etnisitas. Dalam perkembangannya berkembang hingga memunculkan mix varian yang ketiga yakni ethnicterritorial yang merupakan gabungan atas ikatan kewilayahan dan ikatan etnisitas.

Lembaga-lembaga adat tradisional dalam pandangan Davidson memiliki peranan dalam menghentikan konflik sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Tengah kira-kira pada tahun 2001. Walaupun seringkali perdamaian itu berumur singkat namun keputusan yang dihasilkan cenderung lebih dapat dipatuhi dibandingkan oleh pihak lainnya yang lebih diformalkan seperti pemerintah. Singkatnya usia perdamaian salah satunya diakibatkan oleh adanya klaim-klaim teritorial dari masyarakat adat yang berada pada kelompok-kelompok yang berbeda tanpa pencapaian titik perdamaian yang memuaskan antar masing-masing pihak.

Masyarakat adat di Bali pernah mengancam akan mengenakan sanksi adat kepada gubernur Bali yang berkeras mendukung pembangunan hotel yang merusak tatanan adat Bali. Kejadian ini membuktikan betapa adat masih menjadi ancaman bagi siapapun yang melanggarnya sekalipun ia memiliki kedudukan yang tinggi pada organisasi birokratis. Masyarakat adat menempatkan modal sosial sebagai sesuatu yang berharga, yang karenanya ia dapat dipakai untuk bekerjasama dalam bidang ekonomi, politik, dan lainnya yang membutuhkan kebersamaan. Dengan dasar modal sosial tersebut, lembaga adat dapat menjadi corong dalam pelaksanaan kegiatan kesenian, pengaturan pengairan (subak di Bali), kredit bergulir (penyelesaian masalah ekonomi), dan lainnya. Masih di Bali dalam pandangan Davidson, penerapan sanksi adat juga sampai pada area yang tidak kondusif manakala selalu terjadi konflik antara kaum pendatang dengan pacalang (polisi adat) di Bali yang melarang adanya migran dengan ketentuan hukum berupa denda dan sanksi disiplin lainnya.

Davidson menilai Islam memegang peran utama dalam kebangkitan adat di Indonesia, paling tidak dalam dua motivasi, pertama kebangkitan terjadi pada daerah yang berkontestasi pengaruhnya antara Islam dengan Kristen atau Islam dengan Hindu, lalu yang keduakebangkitan terjadi pada daerah yang konversi Islam tengah berlangsung kepada unsur-unsur pra Islam. Walaupun demikian, unsur anti Islam tetap lestari hingga kini dengan adanya kejadian Lembaga Adat Pamona Kristen versus Masyakat Bugis yang Muslim di Poso beberapa tahun lalu, juga pertentangan antara penduduk Hindu dengan Islam di Bali dalam hal pembangunan Pura maupun pembangunan Masjid. Masyarakat desa lebih memandang adat dari sudut bagaimana cara segala sesuatu harus diatur daripada apa yang dilakukan oleh orang-orang dalam kehidupan sehari-harinya. Adat dalam sisi negatif memiliki kecenderungan menjadi mimpi indah akan kondisi kehidupan yang teratur di bawah pemerintahan tradisional, yang jika konteksnya dibawa ke masa kini ketika diterapkan ia menimbulkan konflik karena masanya telah berbeda jauh, ia lebih sebagai preskripsi masa depan dan interpretasi atas masa lampau. Masyarakat adat di Indonesia lebih menonjolkan kekurangan sebagai bahan yang terus digali dan dipertahankan daripada kelebihannya sendiri, hal ini terlihat dengan proses pembumian, mempertahankan koperasi yang terbukti selalu gagal tetapi masih terus dipakai sebagai simbol persatuan masyarakat kecil untuk berdaya membangun kekuatan ekonomi yang mandiri.

Hukum adat memiliki daya pikat estetisme dengan unsur ekapisme dan mistisisme, sebagaimana yang diapresiasikan oleh Van Vollenhoven pada tahun 1932 ketika berkunjung ke Sekolah Hukum Batavia Rechtshogeschool dalam sesi kuliahnya yang berjudul Puisi dalam Hukum Hindia. Bagi Van Vollenhoven adat adalah aturan-aturan tradisional tentang perilaku yang menginspirasi yang dijalankan oleh sebuah tata kosmis yang tidak kasat mata serta mengandung nilai romantisasi adat. Van Vollenhoven membuka mata orang Indonesia untuk melihat adat dengan mata kalangan pribumi sendiri dengan berupaya melepaskan kulit putih yang hendak dipakainya.

Pada tahun 1990-an muncul anggapan bahwa persoalan lingkungan yang mulai diketahui saat itu dapat terselesaikan jika dilakukan desentralisasi pengelolaan sumber daya alam bersama dengan komunitas-komunitas adat, yang hal ini semakin didukung dengan semakin populernya anggapan pemahaman gagasan tentang kearifan lokal yang berasal dari masyarakat adat tentang lingkungan hidup. Semua ini didasari oleh adanya kenyataan bahwa masyarakat adat adalah pihak yang secara realistis paling mengetahui tentang alam yang mereka tempati namun hendak digerus oleh perusahaan untuk kepentingan komoditisasi, dan melibatkan mereka akan menghilangkan permasalahan-permasalahan lingkungan yang timbul karena mereka yang paling tahu seluk beluknya.

Masyarakat adat sebagai pihak yang diperkirakan akan menjaga lingkungannya dari kerusakan pada akhirnya ikut serta dalam proses menuju ketidaksesuaian kearifan lokal yang telah lama dilestarikannya, seperti yang terjadi di Taman Nasional Lore Lindu, ketika masyarakat adat diberikan keleluasaan untuk berkebun di areal Taman Nasional malah menanaminya dengan tanaman Kakao yang memiliki nilai jual tinggi, yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai bagian dari korporasi besar yang hendak membuka akses lahan dalam rangka proses komoditisasi lahan-lahan yang masuk dalam kawasan terlindungi. Juga oleh masyarakat adat di Kalimantan, yang karena menilai diri tidak memiliki daya yang dapat menghasilkan perubahan untuk menghentikan kerusakan lingkungan sehingga dengan pasrah terpaksa ikut serta dalm proses pengrusakan lingkungannya sendiri yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang. Tulisan dalam buku ini sebenarnya secara tidak langsung juga hendak menyatakan bahwa kemunculan adat dalam satu dasawarsa terakhir lebih mirip sebagai berdirinya negara dalam negara yang dilindungi, karena hukum yang diterapkan lebih menyelesaikan persoalan tanpa harus melibatkan institusi negara. Dalam perkembangannya, adat menjadi jalan penyelesaian sengketa, jalur pengelolaan sumber daya yang selain melibatkan penerapan norma dan nilai juga hierarki kekuasaan yang ada pada daerah setempat.

Hukum di Nusantara pada masa kolonial diterapkan dalam sistem dualistik yaitu hukum Eropa bagi orang-orang Eropa dan hukum pribumi bagi orang-orang pribumi. Selain itu pula hukum yang berlainan diterapkan bagi yang menerimanya secara sukarela seperti yang berlaku pada perkawinan campur. Pada awal abad ke-20 di Belanda muncul perdebatan untuk menyatukan hukum Eropa dan hukum pribumi menjadi satu hukum saja, hingga kemudian dimenangkan oleh hukum pribumi atau hukum adat dengan pendengungnya Cornelis Van Vollenhoven. Sebenarnya istilah hukum adat pertama kali diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjehers yang berarti Orang Aceh terbitan tahun 1893, yang didalamnya memuat hal ihwal orang Aceh termasuk hukum adatnya, hal ini merupakan penggambaran pertama kali mengenai hukum adat dalam literatur Belanda. Van Vollenhoven sendiri sebenarnya belajar hukum adat dari bumi nusantara dalam dua kali kedatangannya di Nusantara setelah diangkat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Hukum Adat di Universitas Leiden. Kajiannya mengenai hukum adat turut ditularkannya kepada murid-murid hingga tergambar pada karya disertasinya masing-masing.

Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya selalu dipengaruhi oleh orang-orangnya sendiri untuk menerapkan hukum yang seragam di Nusantara, tetapi dasar pertimbangan untuk tetap konsisten menerapkan dualitas hukum adalah hukum Eropa lebih didasarkan atas agama Nasrani sedangkan hukum pribumi utamanya didasarkan pada hukum Islam. Juga pertimbangan apabila hukum adat dihapuskan maka akan menimbulkan pemberontakan besar-besaran dari kalangan pribumi karena sesuatu yang sangat dihargai tidak dihargai oleh pihak kolonial. Pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda berupaya menguasai bahasa Jawa sebagai jalan untuk memahami hukum adat pribumi di Jawa dalam rangka memuluskan urusan-urusan kolonial di tanah Jawa, hingga akhirnya mendorong para akademisi dari Belanda untuk mengadakan penelitian dan pencatatan mengenai adat di Nusantara.

Hukum adat dalam pandangan praktisi hukum Belanda mendapat apresiasi yang berbeda. Karena ia didasarkan pada hukum yang tidak tertulis tetapi atas apa yang dikatakan oleh para pemimpin adat. Oleh Van Vollenhoven hukum adat di Nusantara dibagi dalam 19 lingkaran hukum, menjadi sebuah kegeraman bagi para praktisi hukum yang dididik dalam hukum napolenik yang sentralistik. Sebenarnya di Belanda sendiri pernah mengalami penggatian hukum dari Hukumnya sendiri ke hukum Perancis yang dibawa oleh Napoleon lalu kemudian beralih lagi ke Hukum Belanda tetapi masih mendapat warna dari hukum Perancis. Dalam perjalanannya, penyatuan hukum adat ke dalam hukum Belanda lebih diapresiasi pada hukum perdata dan hukum dagang, karena pada areal yang lain lebih sensitif yang didasari oleh perbedaan latar belakang masing-masing pihak. Hukum Belanda sebenarnya lebih diapresiasikan pada hal-hal yang bersifat umum saja, sedangkan yang khusus diarahkan kepada hukum asal pribumi. Penerapan hukum Belanda yang kental dengan kekristenannya sebenarnya mengalami dilematis di Nusantara, hal ini nampak jelas ketika ada pribumi yang memeluk agama kristen tetapi harus bekerja di hari raya kristen namun libur di hari raya muslim karena kebiasaan dan pola kehidupan muslim telah begitu mewarnai keseharian, hal ini merupakan masa yang paling gelap dalam sejarah kristen yang pernah diketahui Belanda.

Pada tahun 1919 lahir undang-undang yang memuat ketentuan bahwa hukum perdata dan publik harus diatur dengan peraturan pemerintah yang menyiratkan bahwa hukum adat harus dikodifikasi yang juga berarti bahwa hukum adat diakui keberadaannya. Van Vollenhoven walaupun berasal dari Belanda tetapi ia merupakan sedikit orang yang bersimpati dan berjuang untuk masyarakat Nusantara untuk mendapatkan haknya atas tanahnya sendiri dengan melawan kebijakan Hindia Belanda yang berupaya mengundangkan hukum dengan isi yang nantinya mengesahkan pengambil alihan tanah-tanah pribumi, dan membuat rancangan undang-undang Orang Indonesia dan Tanahnya walau pada akhirnya ditarik oleh Hindia Belanda melalui Menteri Daerah Jajahan. Upaya lain yang dilakukan oleh Van Vollenhoven adalah dengan menyusun Undang-Undang Hukum Adat Indonesia yang diharapkannya menjadi panduan bagi hakim dalam memutus perkara lintas wilayah hukum adat dengan melihat generalitas hukum yang bersilangan satu sama lainnya. Kodifikasi hukum ini sebenarnya masih mengalami banyak kekurangan, yang dikarenakan begitu banyaknya hal-hal yang harus dimasukan tetapi gagal untuk digeneralisasikan oleh Van Vollenhoven karena ketidakmampuan para penegak hukum adat sendiri dalam menyajikan pilihan-pilihan solusi adat. Pilihan hukum bagi Indonesia ketika merdeka adalah hukum barat dan meniadakan hukum adat (dalam urusan rumah tangga dipakai hukum Islam bagi para penganutnya). Kenyataan bahwa orang Belanda begitu perhatian terhadap hukum Adat lebih dari orang Indonesia sendiri begitu nyata, dan hal ini tidak terbendung perbandingannya pada masa sekarang ini di mana hukum adat terus terpuruk dan menjalani kondisinya yang tinggal dalam kenangan walau secara spesifik masih diakui sebagai salah satu sumber berhukum di Indonesia.

Kritik

Para penulis dalam buku ini nampaknya hendak menyampaikan pesan bahwa adat adalah sesuatu yang telah usang, yang dengan berupaya menerapkannya maka hanya akan menampakan kebodohan karena selalu memberikan realitas kekacauan masyarakat, yang itu semua disebabkan oleh telah terbiasanya masyarakat dengan pola kehidupan saat ini.

Penulis asing dalam buku ini terjebak dalam pemahaman yang keliru mengenai penamaan Indonesia. Indonesia pada masa kolonialisme belum lahir, bahkan ketika Indonesia diproklamasikan wilayah seperti yang kita ketahui pada hari ini, benar-benar belum utuh karena masing-masing wilayah masih merupakan negara kerajaan dan kesultanan yang dikuasai oleh para Raja dan Sultan, yang kedaulatannya baru diberikan kepada presiden Sukarno lebih dari lima tahun setelah proklamasi. Penyebutan yang lebih tepat untuk Indonesia pada masa lalu adalah Nusantara.

Pandangan bahwa hukum adat yang banyak di Nusantara adalah sesuatu yang menyedihkan nampaknya hendak mengarahkan pemahaman tentang kesemrawutan hukum adat, padahal sesuatu yang berbeda atas hal tersebut adalah pada masa lampau Nusantara terdiri dari banyak negara dengan bentuk Kerajaan dan Kesultanan, yang sama berdaulatnya dengan negara moderen pada hari ini yang juga memiliki perbedaan dalam hal hukum di negara masing-masing. Bagi pereview, penulis buku ini gagal paham akan kenyataan ini.

Penulis dalam buku ini seperti hendak mengajarkan adat itu seperti apa kepada para pembaca Indonesia, padahal adat yang mereka katakan tidak mereka jalani sebagaimana yang dirasakan oleh para pembaca yang hidup dalam nuansa adat di daerah masing-masing. Mungkin para penulis sekedar mengingatkan agar para pembaca tidak lupa tentang adat yang pernah berjaya pada masa lampau, tetapi adat tidak dapat dijelaskan hanya melalui kalimat-kalimat penjelasan dalam 300-an halaman, ia harus dijalani dengan konsekuensi-konsekuensinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun