Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

[Resensi Buku] Cita Rasa Berbeda Pendidikan Indonesia

7 Agustus 2014   22:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:08 191 2

Judul: Oase Pendidikan di Indonesia-Kisah Inspiratif Para Pendidik

Penulis: Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan

Cetakan: I. Jakarta, 2014

Halaman: iv+260 halaman

Penerbit: Tanoto Foundation dan Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup)

The moment you stop learning, your brain becomes cancerous.

Continue to improve, continue to learn-never stop learning.”

Quotation dari Bapak Sukanto Tanoto, pendiri Tanoto Foundation di atas membuka mata hati betapa pentingnya pendidikan. Pendidikan itu continue to improve, continue to learn-never stop learning. Pendidikan harus terus berjalan, berkesinambungan, terus menerus tanpa putus, dan terjadi sepanjang hayat, sebab pendidikan merupakan alat pemutus mata rantai kebodohan, ketertinggalan, kemiskinan. Lalu, ketika perhatian telah terarah pada pendidikan, model pendidikan macam apa yang cocok diterapkan di negeri ini?

Ibnu Sina (980-1037 M), seperti ditulis oleh Dr. Zaim Uchrowi, menyatakan bahwa manusia terdiri atas jiwa dan raga, manusia bukan urusan rasio, tetapi juga rasa (halaman 4). Paradigma Sina mampu menjawab kebutuhan dunia pendidikan pada masanya hingga kemudian Rene Descartes (1596-1650) melawan konsep holistik Sina (halaman 4). Descartes menyuguhkan paham Cartesian-nya di mana pendidikan hanya difokuskan pada raga dan rasio serta mengesampingkan rasa dan jiwa. Alhasil, pendidikan menjadi serba terukur dan peran guru hanya terbatas pada persoalan mengajar.

Keterukuran di dalam dunia pendidikan membuat ranah kognitif lebih dibidik dibanding ranah psikomotorik dan afektif bahkan cenderung abai terhadap pembangunan karakter yang menjadi esensi pendidikan. Prof. Anita Lie, Ed.D., pada bagian prolog menuliskan, tanah yang sebenarnya baik menjadi kering karena fenomena pengabaian, pembiaran, dan perusakan dalam waktu yang lama (halaman 14). Hingga kemudian lahir pendidikan alternatif sebagai wujud kembalinya pendidikan holistik yang menyejajarkan jiwa-raga, rasa-raga, serta memberi kesempatan tiga aspek: kognitif, psikomotorik, dan afektif untuk berjalan secara seimbang.

Pendidikan alternatif memunculkan bentuk-bentuk kreatifitas media ajar, seperti alam bebas (kebun, sungai kecil, sawah, lapangan rumput), tanaman lidah buaya, gentong tanah liat, puzzle, film, lagu, internet (youtube), tebak-tebakan, drama, dan melibatkan peserta didik (Chintya dan Adit). Adanya media ajar yang bervariasi bisa mencegah kebosanan peserta didik. Di samping itu juga, tercipta interkonektifitas guru-murid-materi. Menurut Prof. Anita Lie, Ed.D., interkonektifitas menjadi esensi dari segala upaya untuk menciptakan, mengulang, dan membudayakan praktik-praktik terbaik pendidikan, baik dalam domain sekolah formal maupun sekolah alternatif (halaman 10).

Buku “Oase Pendidikan di Indonesia-Kisah Inspiratif Para Pendidik” sungguh menarik untuk dibaca. Di dalam buku setebal 260 halaman ini, terungkap sisi lain pendidikan, kegiatan mendidik, juga karya nyata yang berhasil dipetik. Hadirnya buku ini seakan menjadi penuntas kerinduan terhadap bacaan yang memuat model pendidikan yang mengembangkan potensi anak-anak. “Oase Pendidikan di Indonesia-Kisah Inspiratif Para Pendidik” menjadi media berbagi inspirasi, pengalaman, sekaligus ilmu kepada rekan sejawat pendidik di Indonesia, baik yang bergerak di jalur sekolah formal maupun yang berjalan di jalur pendidikan alternatif agar tercipta pendidikan yang berimbang, inklusif, dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Anak-anak seperti Gios, Rizki, Ghafiki, Melati, maupun Ihzan akan mendapat tempat belajar yang sesuai dan dibimbing oleh guru yang memahami mereka seutuhnya. Seperti judulnya, buku ini menjadi sebentuk mini oase di tengah tandusnya ladang pendidikan yang berpihak kepada anak-anak.

Bagian pertama buku diberi judul “Pembelajaran yang Memerdekakan” memuat kumpulan pengalaman akademis para pendidik (halaman 15-118). Pembaca akan menemukan enam kisah menarik dari sembilan kontributor, seperti “Belajar dari Gentong dan Celengan” (halaman 16), “Gios Tetap Peringkat Satu” (halaman 57), dan “Menciptakan Konflik di Kelas” (halaman 79). Bagian kedua berjudul “Anak dan Komunitas Belajarnya” berisi kisah tiga orang pendidik menanamkan pendidikan karakter pada masing-masing organisasi pendidikan (halaman 119-178). Adapun bagian ketiga “Membangun Profesionalisme Guru” berisi enam kisah perjuangan para kontributor meraih titik kualitasnya sebagai seorang guru profesional (halaman 179-250).

Dinamika pendidikan (alternatif) di Indonesia tidak lepas dari sumbangsih Tanoto Foundation, sebuah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan kualitas kehidupan (halaman 252). Berkat sifat welas asih dan kepedulian Bapak Sukanto Tanoto dan Ibu Tinah Bingei Tanoto, upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus berjalan tiada henti. Tidak hanya kualitas pendidikan saja yang mendapat perhatian penuh, kualitas para pendidiknya pun turut disentuh. Melalui Program Pelita Pendidikan, semangat dan dukungan diberikan kepada dunia pendidikan Indonesia. Pelita Pendidikan menjadi forum diskusi-pemecah masalah-pemberi solusi berkaitan problematika pendidikan di Indonesia. Seakan tidak ingin berpuas diri, Tanoto Foundation juga melahirkan Program Pelita Pustaka yang bertujuan untuk meningkatkan minat baca melalui pembangunan perpustakaan di berbagai sekolah mitra.

Bagaimana kiprah para pendidik dalam mewujudkan pendidikan alternatif dan holistik? Usaha apa saja yang dilakukan demi meningkatkan minat baca anak didik dan guru-guru di Labuhan Batu, Teluk Panji, Tungkal Ulu, dan Ukui? Ingin tahu perjuangan para agen perubahan di daerah terpencil? Jawabannya terangkum di dalam buku ini. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun