Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Pertaruhan Hidup Itu Hanya 12 Menit

30 Agustus 2013   13:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:36 215 0
Marching band. Apa yang akan kau katakan setelah mendengar kata itu. Kelompok musik berseragam cerah yang memainkan musik instrumen bernada patriotik. Hiburan yang selalu ada di kala upacara. Sekelompok pemain musik yang pandai dalam seni baris berbaris. Bagian dari seni militer. Musik instrumen yang dimainkan di ruang publik. Sekelompok orang yang bermain musik instrumen, tapi tidak menarik untuk dibuat karaoke.

Begitulah barangkali persepsi yang ada di kepala kita tentang marching band selama ini. Benar. Tak ada yang keliru sama sekali. Lalu, pertanyaan selanjutnya. Apakah marching band merupakan suatu pertunjukan yang menarik yang pernah ada. Apakah musik yang dimainkan marching band dapat asyik dinikmati. Bukankah musiknya lebih sering memekakkan telinga di saat kita harus mengikuti upacara yang begitu terik.

Melalui novel 12 menit, persepsi umum tentang marching band selama ini hendak dibongkar. Marching band bukanlah pelengkap upacara semata. Marching band bukanlah pembuka jalan pawai kemerdekaan semata. Melainkan sebuah bagian dari profesi yang tak bisa diremehkan.

Selain itu, beragam nilai kebaikan dapat ditemui saat individu terlibat dalam proses sebuah marching band. Hal itu diungkap dalam novel ini dengan begitu lirih.

Melalui empat tokoh sentral: Elaine, Rene, Tara, dan Lahang. Makna pengorbanan, kebersamaan dan kepemimpinan disampaikan secara halus dan memikat. Pengorbanan Elaine untuk marching band Pupuk Kaltim, Bontang,  ini sungguh luar biasa. Ia harus mengorbankan kesempatan mengikuti olimpiade Fisika yang sudah di depan mata. Ia batal menjadi peserta olimpiade fisika demi marching band.

Belum lagi penentangan yang datang dari ayahnya, Josuke, yang menganggap remeh marching band. Dan lebih menginginkan Elaine menjadi ilmuwan. Konsekuensinya Elaine harus kerja keras untuk membuktikan ia mampu berprestasi secara akademik sekaligus dapat membanggakan orangtuanya dengan marching band.

Bila saja tidak ada dukungan dari Ibunya, Rene, dan kawan-kawan satu tim marching bandnya. Tekanan keras dari ayahnya tentu akan melumpuhkan tekadnya menjadi field commander Marching Band Bontang Pupuk Kaltim tersebut dan tak pernah menjadi juara.

Rene, pelatih marching band ini, merupakan ruh sekaligus motor bagi langkah maju marching band Pupuk Kaltim ini. Dengan motivasi-motivasi yang membakar dan pola kepemimpinannya yang keras, tekad baja setiap anggota dibentuknya dengan cerdas. Rene berhasil meyakinkan mereka bahwa menjadi juara marching band adalah impian mereka dan masyarakat Bontang. Dan mereka pasti bisa mewujudkan impian itu.

Rene kerap menyemangati mereka dengan menyatakan bahwa sebuah kemenangan diawali dengan memenangkan perjuangan melawan diri sendiri. Bila saja diri sendiri sudah dimenangkan, maka keterbatasan itu tak ada artinya. Hal ini benar terbukti. Awalnya tim marching band ini tak memiliki skill yang mumpuni dan kepercayaan diri mereka juga sangat rendah. Namun Rene terus membakar semangat mereka. Ia mampu meyakinkan Tara yang tunarungu untuk memegang posisi snare drum. Begitu juga dengan masalah psikologis yang dihadapi Lahang karena ayahnya yang sakit keras dan tak kunjung sembuh. Rene dapat meyakinkah Lahang bahwa ayahnya dapat tetap ia rawat meskipun ia harus berlatih marching band.

Sungguh. Rene telah mengajarkan kepada kita bahwa kepemimpinan bukan persoalan keterampilan teknis dan teoritis. Melainkan sebuah kecerdasan emosi  dalam mengolah sikap optimis, menghargai orang lain, ketegasan, dan kesabaran.

Sedangkan Lahang secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa bakti kepada orangtua adalah merawat dan menemaninya hingga akhir hayatnya.  Lahang memang tidak lebih terampil dan lebih berbakat dari Elaine dan Tara. Namun Lahang juga telah membuktikan bahwa faktor penentu keberhasilan adalah kerja keras, bukan semata bakat.

Sebagai novel motivasi, kisah di dalam novel ini memang penuh dengan liuk perjuangan masing-masing tokohnya dalam menggapai impiannya. Dan impian mereka hanya satu, yakni menjadi juara GPMB (Grand Prix Marching Band), perhelatan tahunan akbar marching band seluruh Indonesia di Jakarta.  Marching Band merupakan ruang bagi mereka untuk menyatukan impian itu. Sedangkan Bontang sebagai tempat kota mereka tinggal. Sebenarnya tak begitu mempengaruhi alur cerita. Setting Bontang tak lebih hanya nama kota yang sekadar ditempel dalam narasi. Selain mengenai dukun yang dinamai Pemeliatn, tak ada latar sosial maupun identitas budaya yang menguatkan bahwa kisah ini memang harus terjadi di Bontang. Bila saja cerita ini tidak terinspirasi dari kisah nyata tim marching band dari Bontang, tentu saja kisah ini bisa dipindah-pindah ke mana pun.

Namun harus diakui, novel yang berkisah tentang marching band memang sedikit kita temui di Indonesia. Dan novel 12 menit ini cukup berhasil menarasikannya. Membuat pembaca mudah memahami kegiatan marching band berikut event yang berkaitan dengan marching band. Dengan membaca novel ini, kita jadi tahu bahwa 12 menit bagi marching band adalah pertaruhan yang menentukan setelah perjuangan panjang mereka. Ya, pertaruhan hidup itu hanya 12 menit. []

Judul Novel                        : 12 Menit

Penulis                               : Oka Aurora

Penerbit                            : Noura Books

Halaman                            : xiv + 348 hlm

Terbit                                : Mei 2013

Resensi novel ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Resensi Novel 12 Menit: Dreaming is Believing!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun