Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tiga Tetes Air Mata

29 Februari 2012   12:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:44 179 0
Hari ini genap satu minggu dia absen mengunjungiku. Gelisah, bimbang, dan takut. Apa dia marah? Ataukah dia sakit? Cemas menjadi teman yang siaga. Kamar berukuran sembilan meter persegi ini pun terasa seperti penjara. Hampa. Bunyi detik jam akrilik pemberiannya yang terus-menerus menjadi sahabat selama sepekan. Ia berusaha menyeimbangi bunyi detak jantungku, dan memasuki pikiranku yang mulai semakin kacau. Seperti bom waktu. Sejenak aku merebahkan badanku yang lunglai di atas kasur yang terbuat dari kapuk, yang kini sudah mulai mengeras, dan mulai merapuhkan tulang punggungku.

Mataku terpejam.

Aku merindukannya. Senyumnya, sepasang mata kecilnya, rambut spike-nya, dan juga jemarinya yang kasar namun hangat. Tetapi gengsiku terlalu tinggi untuk sekedar memuji atau berusaha menghubunginya. Apa dia merasakan apa kurasakan?

Dua jam berlalu. Suara Adele melantunkan lagu Make You Feel My Love terdengar nyata dari ponselku. Mataku mulai terbuka. Nyawaku yang terpencar sudah terkumpul kembali.

“Iya, sayang.”, jawabku lembut, berusaha mengiba, meminta dia membalas kerinduanku. “Oke. Satu jam lagi aku tiba di sana, sayang.”

Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha memilih baju yang cocok untuk pertemuanku dengannya. Sempurna. Itulah yang kuharapkan. Tak sabar aku menunggu waktu untuk bertemu dengannya, kuputuskan untuk datang tiga puluh menit lebih awal. Café The Sun, tempat pertama kali kami bertemu, menjadi saksiku menumpahkan rasa rindu dengannya.

Sejam berlalu. Cemas. Kuhabiskan dua gelas cappuccino hangat. Dia mungkin enggan datang. Tapi, kenapa? Aku yang telah berbuat salah, ataukah dia yang berbuat kesalahan. Aku menghela napas. Samar-samar, aku melihat seseorang menuju mejaku.

Dia datang. Rambut spike-nya berubah, ia terlihat lebih tampan hari ini. Mungkin saja itu karena baju kemeja kotak-kotak yang dikenakannya. Atau, rasa rinduku yang membuat halusinasi ketampanannya.

“Maaf, aku terlambat. Kamu terlihat cantik hari ini”, ucapnya. Alis matanya naik, dia berusaha memperlebar mata kecilnya. Aku tahu, dia sedang mengamati segala sesuatu dalam diriku sebagai obat rindu. Tak salah aku memakai dress yang baru kubeli tiga hari yang lalu. Sengaja kupilih biru, sama dengan warna kesukaannya.

Ia tersenyum. Senyumnya aneh, bahkan terlalu asing.

“Tidak apa”, jawabku lembut. Aku berusaha menutupi rasa kecewaku, entah karena keterlambatannya atau karena sikapnya menjauhiku selama sepekan ini. Apa pun itu, aku hanya ingin hari ini berakhir sempurna.

“Bagaimana kabarmu? Sudah satu minggu kita tidak bertemu”, ucapku sambil menyodorkan menu makanan kepadanya.

“Baik”, jawabnya singkat. Ia memesan jus sirsak kesukaannya.

Dingin. Sepasang mata kecilnya pun hanya ditujukan ke arah menu makanan yang ada di hadapannya. Aku tak bergeming. Pandanganku hanya tertuju padanya. Air mulai membasahi atap Café The Sun.

Lima belas menit berlalu. Canggung. Tak ada kata yang terlontar dari mulut kami berdua. Mendadak kami menjadi tuna wicara. Ternyata seminggu sudah cukup membuat segala sesuatu berubah. Mulai dari rambutnya hingga senyumnya.

Gelas cappuccinoku dan jus sirsaknya kosong. Pandanganku menerobos kaca gelasnya, aku melihat jemarinya. Pucat. Pertanda jemarinya tak sehangat biasanya. Pastilah dia kedinginan, karena suasana ataukah rasa canggung yang mulai merayapi sekujur badannya — entahlah.

“Sudah cukup”, katanya. Dia mencairkan susana beku. Namun, aku tetap tidak dapat melihat sepasang mata kecilnya itu. Dia masih menundukkan kepalanya. Sekilas aku melihat jakunnya bergerak, dia sedang menelan ludahnya.

“Lebih baik kita akhiri di sini”, lanjutnya. Dia masih menundukkan kepalanya. Suaranya parau. “Untuk kebaikan kita bersama. Kamu wanita yang baik, pastilah akan mendapatkan pria yang lebih baik.”

Diam. Aku tak mau memaknai kata-katanya. Aku mulai merasakan seluruh badanku mulai bergetar. Dadaku sesak. Mungkin asmaku kambuh. Aku meremas jariku, berusaha menghilangkan gemetar di tanganku. Bibirku terkatup, mungkin saja aku salah memakai lip gloss tadi, mungkin tertukar dengan lem kertas di atas meja. Aku menelan air liur yang memenuhi rongga mulutku. Sebisa mungkin tak terlihat gugup.

“Sayang,” ucapku. Akan tetapi, kata-kataku terputus, karena dia segera menyela ucapanku.

“Maaf,” ucapnya. “Bukan maksudku untuk mempermainkan kamu. Hanya saja, aku tidak tahan dengan semua sifatmu. Kamu terlalu baik untukku.”

Kali ini aku tahu maksudnya. Sakit. Aku pernah merasakan sakit ini sebelumnya. Tapi kali ini lebih sakit. Dia tak berani menatapku. Terus menundukkan kepalanya. Pikiranku semakin kacau. Sifatku yang salah ataukah dia salah mencari alasan.

Kini aku dapat melihat sepasang mata kecilnya. Matanya berkaca-kaca. Aku segera meraih tas hitam kecilku. Sehelai tisu di tanganku. Kusodorkan tisu putih itu padanya. Kepalanya bergeleng.

Satu, dua, tiga.

Tepat tiga tetes air mata mengalir. Tiga tetes air mata, apakah itu tanda perasaannya. Mungkin saja setiap tetes memiliki makna. Pertama, untuk rasa penyesalannya. Kedua, untuk rasa kesedihannya. Dan yang terakhir, untuk rasa kebebasannya. Ya, kini dia telah bebas. Hari ini berakhir sempurna baginya.

*********

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun