Namanya Abdurrahman bin Abdillah bin Abi 'Ammar. Seorang ahli fiqih dan ahli ibadah dari tanah Haram, Makkah Mukarromah. Kedalaman ilmunya dan kesungguhan ibadahnya menjadikannya dijuluki "al-Qass", artinya ahli ibadah. Ada pula yang mengatakan bahwa Abdurrahman al-Qass ini mirip dengan 'Atho' bin Abi Rabbah, salah seorang ulama' besar di era tabi'in.
Bagaimana seorang al-Qass jatuh cinta? Bagaimana seorang ulama' ini berinteraksi dengan kekasih pujaan hatinya?
Cinta al-Qass berawal dari kisahnya di suatu hari ketika dirinya hendak menuju ke suatu tempat. Saat dirinya melewati rumah Suhail bin Abdurrahman, tiba-tiba langkahnya terhenti. Tak ada yang menghentikan langkah kakinya melainkan suara nyanyian seorang budak perempuan milik Suhail. Namanya Salamah. Ya, tanpa sengaja suara merdu Salamah mampir di telinganya.
Sungguh, cinta itu punya banyak cara untuk merasuk ke dalam jiwa seorang manusia. Tanpa perlu ba… bi… bu…, cinta sudah lebih dulu menyelinap sebelum seseorang memasang kuda-kudanya. Seorang umgkapan Majnun Bani Amir:
Cintanya datang kepadaku sebelum aku tahu makna cinta
Lalu cinta itu membentur hatiku yang kosong dan bersemayam disana
Persis, seperti itulah barangkali yang dirasakan oleh seorang ulama' ini. Merdunya suara biduan itu benar-benar membuat hatinya bergetar karena cinta. Suhail mengetahui hal ini. Ia segera menghampiri al-Qass dan berkata kepadanya, "Bagaimana menurutmu jika aku mengajaknya keluar untuk menemuimu atau kamu yang masuk untuk mendengarkan nyanyiannya? Aku jamin, kamu tak akan melihatnya dan ia juga tak melihatmu?"
Al-Qass menolak tawaran itu. Tapi dirinya masih berdiri di tempat semula mendengarkan suara Salamah mengalun-alun. Menghayatinya hingga membuat hati bergejolak. Hingga akhirnya Suhail pun membawa Salamah ke hadapan al-Qass, dan memintanya untuk bernyanyi di depannya. Sungguh, kali ini al-Qass benar-benar jatuh hati.
Kalau benda jatuh masih bisa kita pungut. Lalu bagaimana kalau hati yang jatuh? Siapakah yang bisa memungutnya? Tidak lain, barangkali ungkapan berikut ini adalah jawabannya. "Dawaa'ul qalbi liqoo'ul mahbuubi", maksudnya "Obatnya hati adalah bertemu kekasih".
Ada sebuah ungkapan lain, "Mencintai orang yang tidak mencintai kita adalah sesuatu yang menyakitkan. Tapi lebih menyakitkan lagi adalah jika kita mencintai seseorang dan kita tidak berani mengungkapkan perasaan cinta itu kepadanya. Sehingga ketika dia sudah menjadi milik orang lain, maka hanya air mata yang bisa bicara."
Salamah ternyata juga menaruh hati kepada al-Qass. Gayung bersambut. Tak disia-siakan kesempatan itu. Tentu Salamah tak mau cintanya pupus sebelum ia mengungkapkannya kepada orang yang dicintainya. Hingga suatu saat ia memberanikan diri untuk mengutarakan gejolak rasa cintanya kepada al-Qass.
"Demi Allah, aku sangat mencintaimu!" ungkap Salamah kepada al-Qass.
"Demi Allah, aku juga sangat mencintaimu!" jawab al-Qass dengan mantap.
"Dan aku ingin sekali meletakkan bibirku di bibirmu." lanjut Salamah.
"Demi Allah, aku juga menginginkan itu!"
"Dan aku ingin menempelkan perutku di perutmu." lanjut Salamah dengan berani.
"Demi Allah, aku juga menginginkannya!" tegas al-Qass.
"Lalu apa yang menghalangimu untuk melakukannya sekarang? Bukankah tempat ini sepi?" desak Salamah.
"Sungguh, aku mendengar Allah Swt berkata, "Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa." Dan aku tak ingin ikatan kasih dan keakraban diantara kita berubah menjadi permusuhan kelak."
Iapun berdiri kemudian pergi menuju ke tempat dimana dirinya biasa melakukan ibadah disana. Hingga pada akhirnya para penduduk Makkah pun mengetahui perihal itu. Kisah cinta antara al-Qass dan Salamah. Namun mereka tetap meyakini bahwa al-Qass selamat dari aib itu.
Memang keimanan dan ketakwaan al-Qass mampu mengendalikan dirinya sebelum ia melakukan sebuah kekhilafan yang lebih besar. Namun kata hati tetaplah kata hati. Tak bisa dibohongi. Cinta itu tetap ada. Gejolak rasa itu masih terus bersemi. Di sana. Di hati al-Qass dan Salamah.
Disarikan dari berbagai sumber.