Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature Artikel Utama

Energi Alternatif, dan Upaya Kita Sejauh Ini

28 April 2015   15:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:36 663 0

Penjelasan pakar perkotaan Marco Kusumawijaya tentang Energi Perkotaan di salah satu acara komunitas Jogja tahun 2013 silam mengantarkan saya ke Desa Dlinggo, Imogiri Jawa Tengah untuk melihat langsung penerapan hemat energi di kediamannya. Kala itu Marco, yang juga pendiri lembaga studi Ruang Jakarta dan Center Urban Studies (RuJak), menjelaskan ada pemahaman yang perlu diluruskan tentang konsep energi terbarukan dan hemat energi.

“Dalam (penerapan) energi terbarukan seseorang perlu memperhitungkan dengan logis penghematan energi melalui penggunaan sumber energi alternatif,” ujar Marco sebagaimana saya catat. Kasus yang dicontohkan adalah entropi, satuan nilai kebutuhan energi untuk memproduksi sesuatu. Contoh, jika menanak nasi maka entropi yang dihasilkan lebih besar dibanding saat masih menjadi beras. Semakin banyak menggunakan energi dalam satu proses produksi maka nilai entropinya semakin tinggi.

Logika energi yang dipaparkan oleh Marco sebenarnya menjelaskan hal yang cukup substansial. Saat mengembangkan energi terbarukan, selama tidak memanfaatkan energi lain untuk menghasilkan energi baru maka sudah tepat dikatakan sebagai langkah hemat energi. Namun jika untuk menghasilkan energi baru tersebut kita justru menghabiskan lebih banyak energi, maka itu sama sekali belum termasuk langkah penghematan, walaupun terjadi substitusi.

“Energi terbarukan bukanlah energi yang benar-benar baru seperti namanya.” Energi terbarukan seperti tenaga angin, dan panas bumi adalah sumber energi yang terkandung di bumi ini. Marco menekankan penggunaan istilah subtitusi atau energi pengganti. Menurutnya, kita membutuhkan sumber energi pengganti, dengan memanfaatkan tenaga surya, dan angin untuk ketahanan energi.

Sejalan dengan pendapat Marco di atas, di Kota Solo, Jawa Tengah juga terdapat contoh penerapan “Rumah Hemat Energi. Bangunan ini, dikenal sebagai Rumah Rempah, memanfaatkan limbah kayu dan besi untuk didaur ulang, kemudian dibangun kembali mengikuti rancang-bangun yang murah dan ramah.

Penerapan rumah hemat energi yang dilakukan Marco juga demikian, dengan memanfaatkan material bambu dan mengatur tata letak bangunan agar mendapat sinar matahari yang cukup. Di sekitar rumah dikelilingi pepohonan besar, sehingga tidak diperlukan pendingin udara elektronik. Tata letaknya mengutamakan lansekap terbuka dan bukannya fisik hampa semata.

Ini adalah langkah-langkah penghematan energi yang dicontohkan Marco dan Mintarga untuk bangunan pribadi. Bagaimana untuk skala makro?

Cerita dari Desa Ngentak

Desa Ngentak yang berada di Kabupaten Bantul selama lima tahun ini (2010-2015) dikenal sebagai daerah pengembangan energi hibrida kincir angin dan panel surya. Pemerintah dan masyarakat bekerjasama dengan Menristek (Menteri Riset dan Teknologi), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lapan untuk pengembangan energi alternatif yang dimanfaatkan untuk perekonomian masyarakat Desa Ngentak.

Kunjungan akhir 2013 silam  mempertemukan saya dengan teknisi sekaligus penjaga Pos, Riswanto. Riswanto (34) menjelaskan bahwa Listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga angin di Desa Ngentak mampu memenuhi pasokan kebutuhan listrik untuk 100 warung yang berada di pantai Pandansimo. Setiap warung mendapatkan jatah 1 ampere/hari. Daya sebesar itu memenuhi pasokan listrik penerangan para pedagang, tetapi belum sanggup untuk alat kelengkapan tambahan semisal kulkas. Masalah kekurangan pasokan daya ini menyebabkan pedagang menambah pasokan listrik dari PLN.

Instalasi listrik hibrida Ngentak dibantu para teknisi dari warga sukarelawan yang dibimbing langsung dengan tiga pelatih dari LAPAN. Riswanto menuturkan, seluruh teknisi tersebut dibagi dalam tiga bagian, bidang kelistrikan, mesin dan operasional. Mereka bertugas secara bergantian untuk menjaga peralatan mesin, bahkan pernah dibawa ke Jerman untuk studi banding perawatan mesin.

Secara ekonomis, keberadaan energi alternatif di Desa Ngentak sangat membantu dalam meningkatkan daya saing pariwisata yang selama ini hanya didominasi pantai Depok atau Yogyakarta bagian timur-selatan.

Menurut salah satu pedagang, biaya operasional pemakaian listrik dari tenaga angin ini cukup murah sekitar Rp.6.000,-/minggu. Pedagang ini berharap pemerintah menambah pembangkit tenaga listrik angin di desanya untuk menambah daya listrik, mengingat kebutuhan elektronik juga ikut bertambah seperti pemakaian kulkas, televisi, setrika, dan lain-lain. Kunjungan wisatawan yang meningkat di pantai Ngentak juga terbantu oleh kehadiran mahasiswa yang melakukan penelitian energi di pantai tersebut.

Sebenarnya potensi tenaga angin di Indonesia cukup besar, mencapai 9.2 GW di 130 titik pada selatan Jawa. Sampai tahun 2013, Desa Ngentak masih menjadi Desa dengan pengembangan energi listrik terbesar di Indonesia, model pilot untuk desa-desa listrik hibrida lainnya. Walaupun saat ini telah ada rencana pengembangan energi alternatif untuk tenaga angin yang dikembangkan di pantai-pantai daerah Lombok, gaungnya belum begitu terdengar, dan entah bantuan pengembangannya.

Studi banding yang dilakukan Riswanto dan teknisi lain di Jerman bukanlah tanpa alasan sederhana. Indonesia berkiblat pada Jerman yang lebih dulu menerapkan tenaga angin dan tenaga surya untuk kebutuhan energi listrik. Selama ini Jerman telah mengembangkan energi alternatif tenaga angin mencapai 8% dan dengan target ambisius di tahun 2050 sebesar 80%. Padahal, potensi energi alternatif di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Jerman.

Sebagai negara maritim yang tropis, Indonesia cukup potensial untuk mengembangkan tenaga angin untuk energi alternatif, seperti melimpahnya sumber energi panas bumi dan surya. Saat musim hujan, giliran tenaga angin yang beroperasi maksimal, dan di musim kemarau atau panas panel surya menyediakan energi yang lebih besar.

Bagaimana penerapan energi alternatif untuk Desa dan Perkotaan?

Penghujung tahun 2014 saya kembali melakukan reportase atas berita di koran yang saya baca terkait satu dusun di Kabupaten Kulonprogo yang belum memiliki teraliri listrik. Nama dusun ini Kalibuko, di mana saya menemui Mbah Suji, yang menceritakan pengalamannya mengurus pemasangan listrik PLN namun selama dua tahun (2013-2014) namun rumahnya belum dialiri listrik.

Mbah Suji sambil terkekeh-kekeh bercerita jika dirinya telah membayar uang sebesar 2,3 Juta rupiah ke PLN lewat pengurus desa namun saat pemasangan jaringan listrik dilakukan kabel listrik ini malah mengarah ke selatan, melewatkan rumahnya. Posisi kediaman yang berada di bawah perbukitan konon menyulitkan pemasangan tiang listrik. Memang, sebagian besar akses jalan di susun Kalibuko desa Kokap masih berupa setapak yang curam, belum beraspal karena jalan ini sebenarnya hasil swadaya warga setempat.

Masalah yang terjadi Kokap bisa juga terdapat di daerah lain, dimana banyak desa yang begitu dekat dengan kota yang ramai justru belum dialiri listrik. Apalagi jika pemukiman dalam satu dusun tidak lebih dari 50 kepala keluarga. Umumnya pemakaian daya listrik di desa-desa juga tidak terlalu besar, sehingga perusahaan penyalur seperti PLN tidak menjadikannya prioritas.

Kendalanya ada di perawatan, seperti yang dikemukan Riswanto teknisi energi alternatif di Desa Ngentak. Apabila perangkat desa, remaja desa dan pihak LAPAN bisa bekerja sama tentu penerapan listrik tenaga surya berhasil diterapkan. Remaja desa ini dapat dibina oleh LAPAN dalam pemanfaatan teknologi tenaga surya hingga ke tahap pemeliharaan, menghasilkan lapangan kerja dan keberlanjutan.

Pemerintah juga dapat menggandeng pihak swasta untuk pengembangan energi alternatif mengingat biaya operasional cukup besar. Manfaat yang diperoleh perusahaan dengan pengembangan energi alternatif ini dapat digunakan sebagai program pengabdian (corporate social responsibility)  membantu usaha rumah tangga seperti pembuatan makanan ringan, menjahit dan jenis usaha lainnya.

Untuk pengembangan energi alternatif di perkotaan nampaknya memiliki perbedaan yang cukup lebar dengan kondisi pemakaian listrik di pedesaan. Pemborosan energi di perkotaan diakibatkan oleh pembangunan perkotaan itu sendiri kebutuhan infrastruktur ataupun sektor-sektor komersial. Reklame yang menggunakan puluhan lampu neon box menghabiskan listrik cukup banyak, padahal bila dihitung-hitung terdapat ratusan reklame dalam satu kota. Belum lagi alat publikasi lain atau gaya kelola gedung yang tidak berorientasi penghematan.

Penghematan energi listrik untuk daerah perkotaan dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya mengurangi reklame di perkotaan, penggunaan Solar Cell bagi bangunan perusahaan dan perkantoran, menghijaukan atap bangunan dengan penanaman tanaman di atap bangunan dan rekayasa bangunan.

Gedung Kementerian Pekerjaan Umum di Jakarta adalah percontohan bangunan hemat energi yang dapat diikuti gedung-gedung pemerintah lainnya. Rancang bangun, dari elevator sampai ventilasi dibentuk sedemikian rupa untuk meminimalisasi energi listrik, pengelolaan air bersih mandiri, dan pemanfaatan air sisa untuk pertamanan dapat dipelajari di banyak bagian gedung KemenPU.

Publikasi lewat gedung percontohan menjadi lebih penting dan berpengaruh dalam bentuk iklan-iklan berbayar saja. Golongan masyarakat kelas menegah ke atas saat ini cenderung kritis dan mudah menyuarakan pendapat sehingga dibutuhkan kampanye yang lebih proaktif menyentuh gaya hidup masyarakat, strategi yang dapat dicerna secara visual sekaligus praktis.

Misi penghematan energi Indonesia mungkin tak melulu harus mengejar Jerman atau negara maju lainnya. Yang terpenting adalah memperbaiki pola pikir dan sudut pandang secara esensial, sebagaimana dijelaskan Marco, mendahulukan penerapan bagi masyarakat sebagaimana di Desa Ngentak, dan menjangkau semua kalangan sebagaimana kasus di Kulonprogo. Kita perlu gerakan kolektif, kita perlu strategi sederhana yang tepat guna. Dan ya, lebih penting kita memahami sumberdaya kita sendiri.

*

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun