Masyarakat di pedesaan selama ini cenderung dianggap sebagai client atau pasien, sehingga pihak yang merasa paling benar dan paling paham adalah konsultan pelaksana, atau pekerja proyek. Dua tahun lalu (Agustus 2011) setelah menyelesaikan ujian akhir S1, saya berbincang dengan salah satu teman terkait skripsinya tentang Danau Tempe.
Skripsi yang diangkat membahas tentang kehidupan masyarakat di Danau Tempe beserta kearifan lokalnya.Danau tempe, juga dijuluki sebagai mangkuk ikan Indonesia dan menjadi landmark kabupaten Wajo (Sulawesi Selatan). Ciri khas masyarakat di Danau Tempe adalah bermukim “terapung”.
Uniknya masyarakat ini juga memiliki rumah di daratan, mereka memiliki dua tempat tinggal. Karena sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai nelayan, maka nelayan memilih untuk mendirikan rumah apung. Setiap Jumat, nelayan ini kembali ke daratan, biasanya Kamis sore sebagian nelayan kembali ke daratan.
Mata pencaharian penduduk Desa Pallimae sangat bergantung pada kondisi perairan di Danau Tempe. Jika air sedang pasang maka masyarakat kembali melakoni profesi nelayan. Namun jika air danau mengalami surut masyarakat beralih profesi menjadi petani palawija di danau yang kering. Pada musim kemarau, volume air danau 9.087 ha, sedangkan pada musim penghujan seluas 25.858 ha. Sedimentasi di kawasan Danau Tempe menyebabkan jumlah ikan semakin berkurang setiap tahun.