Logo baru Yogyakarta yang mengusung tagline Jogja Istimewa akhirnya resmi menggantikan tagline yang sebelumnya “Jogja Never Ending Asia”. Sebelumnya, terdapat penolakan atas logo yang terbaca TOGUA karena kata TOGUA ini dipelesetkan dengan konotasi yang buruk seperti Tua Orangnya. Melihat respon publik di media sosial yang kurang senang dengan logo JOGJA (Terbaca:TOGUA) ini, maka Sri Sultan Hamengkubuwono X meminta tim Hermawan Kertajaya untuk menyusun kembali logo Jogja dengan mengusung sembilan kebijakan: ekonomi, pariwisata, kesehatan, teknologi, pendidikan, keterlindungan warga, energi, pangan, tata ruang, dan lingkungan.
Sebagai pendatang di kota pelajar ini, Saya awalnya tidak terlalu memperhatikan masalah logo baru Jogja yang dipelesetkan menjadi TOGUA oleh beberapa netizen di media sosial. Alasannya, karena di daerah kelahiran saya, kami masyarakatnya sangat jarang mengurusi simbol atau logo daerah. Saya hanya tahu, logo itu sudah ada sejak dulu, siapa yang membuatnya atau apa makna dibalik logo itu tidak terlalu menarik perhatian saya.
Setelah tinggal di Jogja selama tiga tahun-sekarang dan melihat besarnya respon masyarakat Jogja untuk urusan logo saya lalu menganggap ini adalah kejadian luar biasa. Luar biasa yang saya maksud adalah logo bagi warga Jogja begitu penting, hingga jika salah penulisan saja, bisa bermakna lain dan menyinggung prinsip masyarakat Jogja. Luar biasa juga karena logo Jogja dianggap menggambarkan atau mewakili masyarakat Jogja secara keseluruhan, bukan simbolis semata, di dalamnya ada pesan “menjual” Ruh Kota.
Selain sembilan makna filosofis yang diusung dalam logo baru Jogja, logo baru ini adalah brand Kota Yogyakarta dalam bidang pariwisata dan daya saing kota. Daya saing kota yang dibangun melalui logo tampaknya sangat menarik, apalagi untuk kota pariwisata seperti Yogyakarta. Kita bisa melihat bagaimana logo kota New York City yang sangat terkenal dengan tagline ILOVENY ini disadur ke Indonesia dengan tagline yang sama, hanya mengganti nama kotanya saja. Contohnya ILOVEBALI, ILOVEJOGJA, ILOVETORAJA, bahkan pedagang nasi goreng juga tidak ingin ketinggalan dengan tren logo ini dengan membuat tagline sendiri ILOVENASIGORENG
Dari pengalaman ini saya melihat, jika logo yang tepat bisa memberi pengaruh yang cukup luas kepada publik seperti penciptaan tren melalui logo atau simbol. Tren melalui logo kota dapat menyebarkan pesan kepada seluruh orang tentang bagaimana kota yang digambarkan dalam logo tersebut.
Logo baru Jogja dengan tagline Jogja Istimewa dengan latar merah dan model huruf yang sederhana, semakin memudahkan orang mengingat logo tersebut. Bisa saja taglinenya “Jogja Istimewa” dibuat lebih kreatif oleh anak muda sekarang yang memang terkenal sering membuat meme lucu di media sosial seperti “Jogja Istimewa, Kamu?” atau menjadi simbol protes warga atas pembangunan hotel yang terjadi di Kota Jogja dan Sleman. Salah satu grafiti yang ada di jembatan Kali Code misalnya menuliskan seperti ini : Jogja Istimewa, HOTELNYA!.
Logo baru Jogja dengan tagline Jogja Istimewa sangat mewakili kondisi masyarakat saat ini. Kata istimewa bisa diarahkan pada dua keadaan, yang pertama sebagai gambaran masyarakat Jogja keseluruhan (ramah, sederhana dan bersahaja) dan kedua adalah sebagai bentuk kritik pada pemerintah Jogja terhadap pembangunan hotel dan apartemen. Tidak hanya masyarakat biasa, kalangan akademisi yang berada di dalam kampus sebenarnya juga sudah mulai menunjukkan keprihatinan mereka dengan kondisi kota Jogja saat ini. Bentuk keprihatinan kalangan akademisi di salah satu kampus saya saksikan dalam bentuk karya foto esai. Mereka menampilkan foto sebagian warga Jogja, dan ragam protes atas pembangunan hotel yang mulai mengeringkan sumur warga.
Menjual Daya Saing Kota Melalui Logo
Walaupun ukuran kota Jogja tidak sebesar kota metropolitan lain seperti Jakarta atau Surabaya, namun daya saing yang ditonjolkan Kota Yogyakarta bisa bersaing dengan kota besar lainnya. Daya saing kota Yogyakarta seperti pariwisata misalnya, walaupun Bali masih menjadi ikon pariwisata Indonesia.
Daya saing lain seperti citra sebagai Kota Pelajar, sehingga setiap tahunnya Jogja kedatangan mahasiswa dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Sektor pendidikan adalah daya tarik yang luar biasa dimiliki Jogja, sehingga Jogja sangat dikenal sebagai kota pelajar, juga tempat lahirnya seniman kreatif. Namun saya berharap kota pelajar yang disandang Jogja, benar-benar mengakomodasi seluruh mahasiswa dan pelajar dalam kebebasan menyuarakan pendapat, memiliki toleransi yang tinggi pada minoritas di kota ini.
Melalui brand kota pelajar, kita berharap masalah keamanan seperti intoleransi antar pendatang, antar agama tidak lagi terjadi di Jogja seperti yang terjadi tahun sebelumnya. Sebagai kota pelajar, kita dan saya pribadi berharap, semua orang bebas melakukan diskusi dan bedah buku tanpa khawatir diusik oleh ormas radikal. Sebagai kota pelajar, saya berharap tidak ada lagi anak-anak SMA yang kurang kerjaan konvoi di tengah kota dengan suara motor memekakkan telinga lalu polisi lau lintas tidak bisa menertibkan mereka.
Dibidang tata kota saya berharap agar Jogja tetap istimewa, istimewa budayanya dan kotanya, tidak diobrak abrik dengan kepetingan pengembang yang tidak peduli dengan lingkungan warga sekitar proyek pembangunan hotel dan apartemennya. Dibalik cita-cita serta harapan pemerintah dan masyarakat Jogja atas logo baru mereka, tentu ada penyelesaian masalah kota yang perlu dipikirkan, dirembukkan kembali agar logo baru ini tidak dipelesetkan secara negatif seperti “Jogja Istimewa, Istimewa Hotel dan Apartemennya”.
Masalah transportasi juga demikian, misalnya menyediakan peta yang cukup informatif bagi wisman dan penduduk yang datang dari daerah lain. Saya pernah mendapati seorang wisatawan asing perempuan sampai harus setengah berteriak menyampaikan tujuan perjalanannya pada salah satu petugas di Shelter Condongacatur.
Wisatawan ini terlihat benar-benar emosi ketika saya dan teman baru saja memasuki shelter, beruntung segera ada seorang penumpang yang segera memberitahukan kode bus trans Jogja yang bisa digunakan wisatawan tersebut. Kejadian itu bagi saya sangat memalukan ditengah upaya meningkatkan kenyamanan wisatawan asing di Kota Yogyakarta.
Logo baru Jogja tidak akan memberi efek apa-apa, tidak menciptakan brand “Istimewa” seperti yang dicita-citakan jika masalah kota seperti sampah visual, pembangunan hotel, pembangunan apartemen, kekerasan remaja, intoleransi tidak mendapat porsi diskusi, porsi rembuk bersama yang dipayungi oleh pemerintah. Tidak mengherankan yang terjadi saat ini publik dibenturkan dengan pengembang, publik dibenturkan dengan pihak keamanan. Pelajar semakin beringas di jalan, wisatawan tak lagi nyaman melancong. Pada tahap ini kita perlu memikirkan kembali, apakah Jogja masih benar-benar Istimewa seperti tagline logo barunya? [RP]
Salam