Tumbuh dan besar di satu kabupaten bagian selatan Sulawesi dengan kehidupan dan kebutuhan sosialnya masih sederhana membuat keluarga saya tidak begitu akrab dengan jasa asuransi. Suatu hari saya bertanya pada Bapak, mengapa tidak ikut berasuransi seperti yang dipromosikan beragam iklan di televisi, misalnya asuransi pendidikan atau kesehatan. Bapak saya berpendapat tidak perlu berasuransi pendidikan, dengan alasan penghasilannya “masih cukup” untuk membiayai pendidikan saya dan satu orang adik kala itu.
Tapi tentunya, orang tua saya mungkin tidak pernah menyangka jika lima tahun kemudian, kedua anaknya menempuh pendidikan di pulau Jawa. Tahun 2012 saya melanjutkan pendidikan pasca sarjana dan setahun sebelumnya adik saya berkuliah di Jakarta.
Biaya pendidikan yang dikeluarkan kedua orangtua saya tentu tidak sedikit, apalagi untuk pendidikan magister yang saya jalani, semuanya dibiayai orang tua. Barulah dua tahun belakangan ini Bapak saya menimbang-nimbang asuransi pendidikan, walaupun sebenarnya sudah agak terlambat juga, karena studi S1 adik saya kelar dalam waktu <3,5 tahun.
Anggapan sudah cukup
Sebelum saya kuliah, pola pikir kedua orangtua saya masih sangat konservatif untuk soal pemenuhan biaya pendidikan dan kesehatan. Baginya, pemenuhan kebutuhan hidup keluarga, pendidikan dan kesehatan ditentukan oleh manajemen keuangan dalam kepala keluarga itu sendiri atau Ibu sebagai “bendahara” rumah tangga. Sampai saya sekolah tingkat SMA, pandangan itu memang benar, karena lingkungan tempat saya tumbuh tidak menuntut adanya pengeluaran yang cukup besar.
Alasan terakhir yang dikemukakan Bapak saat ini soal asuransi pendidikan adalah pemenuhan kebutuhan studi seperti pembelian buku-buku. Menurutnya, biaya pembelian buku-buku saya masuk dalam daftar biaya tidak terduga. Saya memang sangat gemar membeli buku, karena kebutuhan selama masa studi, penelitian dan termasuk sebagai kebutuhan batin juga. Sedangkan untuk biaya hidup, saya tipikal orang yang selektif mempertimbangkan kebutuhan dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Jaminan Profesi
Untuk biaya kesehatan kami sekeluarga, Bapak menggunakan asuransi yang termasuk jaminan profesi, dalam hal ini ASKES yang diperuntukkan bagi PNS. Namun, di penghujung tahun 2010, Bapak saya harus dirawat di rumah sakit karena menderita penyakit tertentu.
Sayangnya, saat itu Bapak tidak menggunakan ASKES seperti yang sering digunakan ketika saya sakit. Bapak harus dirawat di rumah sakit swasta dengan biaya pengobatan lebih mahal dibandingkan dengan biaya pengobatan di rumah sakit umum daerah. Ketika saya menanyakan perihal pilihan rumah sakit tersebut, Ibu lalu menjelaskan jika kondisi penyakit Bapak saya tidak bisa ditangani di rumah sakit umum daerah.
Berdasarkan pengalaman keluarga kami dalam menangani masalah biaya pendidikan dan kesehatan saya akhirnya memutuskan akan membuatkan asuransi kesehatan untuk kedua orangtua. Pertimbangannya karena usia kedua orang tua kini telah memasuki angka 50 tahun, tentu sangat rentan dengan masalah kesehatan, apalagi saya tidak bisa menyangkal bila buruknya kondisi lingkungan, kualitas makanan dan polusi saat ini turut menyumbang rendahnya angka harapan hidup lansia.
Yang bikin tertarik?
Alasan lain saya tertarik membuat asuransi kesehatan untuk orangtua karena pengalaman yang saya saksikan sendiri di kerabat-kerabat lain. Orangtua yang berprofesi sebagai PNS tentu hanya mengandalkan dana pensiun ketika tidak menjadi PNS lagi. Padahal kebutuhan hidup dan biaya kesehatan orang tua setelah tidak bekerja kadang lebih besar, artinya semakin tua, biaya kesehatan semakin besar sementara sumber penghasilan juga semakin kecil. Apalagi jika pensiunan ini tidak memiliki usaha lain yang menjadi sumber pendapatan lain dalam rumah tangga.
Saat ini kerabat yang lain, lebih senang memanfaatkan jasa pegadaian karena pencairan dananya lebih mudah. Dalam hitungan jam dana sudah ada di genggaman. Apalagi kemudahan yang ditawarkan pihak pegadaian saat ini semakin meringankan pemilik agunan. Misalnya jatuh tempo barang sudah tiba, dan belum ada dana yang cukup untuk menebusnya, maka pegadaian memberikan masa perpanjangan waktu yang disepakati lebih dulu.
Kendalanya
Keluhan yang sering saya dengar dari kerabat soal keengganan mereka berasuransi karena pengurusan administrasi untuk pencairan dana yang memakan waktu lama. Ada pernyataan yang diungkapkan kerabat jika dana asuransi yang dikeluarkan jumlahnya lebih rendah dibandingkan jumlah dana asuransi yang dikumpulkan selama beberapa tahun. Ada juga yang menganggap bahwa asuransi hanya untuk orang kaya saja, sedangkan mereka yang berpenghasilan tidak tetap setiap bulannya tidak cocok berasuransi.
Saya pribadi sebenarnya menginginkan ada asuransi pendidikan dengan biaya asuransi yang murah dan terjangkau untuk mahasiswa. Asuransi ini dapat dibayarkan sendiri mahasiswa setiap bulan dengan nominal Rp.50.000-100.000 dengan batas maksimum sebesar Rp.1.000.000,-. Mengingat kebutuhan mahasiswa yang paling besar ada di masa-masa penelitian, maka dana asuransi ini dapat digunakan untuk biaya pengeluaran selama masa penelitian.
Biaya yang dikeluarkan selama penelitian termasuk sebagai pengeluaran tidak terduga dan menghabiskan banyak dana. Tidak jarang, ada mahasiswa yang terkendala menyelesaikan penelitian hanya karena keterbatasan dana. Dana asuransi untuk penelitian ini juga memiliki manfaat positif seperti melatih kemandirian mahasiswa agar bertanggung jawab dengan studi dan penelitiannya sendiri.
Pengalaman saya menyelesaikan studi S2 dan besarnya pengeluaran yang dilakukan selama penelitian membuat saya berfikir, mungkin masalah biaya penelitian ini akan mudah diatasi jika saya memiliki asuransi pendidikan sejak lima tahun yang lalu.
*