Diproyeksi jumlah penduduk di kota duapuluh tahun yang akan datang semakin meningkat, bahkan untuk tahun 2050 jumlah penduduk seluruh kota di dunia diprediksi mencapai 75%. Kota menjadi daya tarik luar biasa bagi orang-orang muda untuk memilih kota sebagai tempat tinggal dan bekerja.
Tokyo sebagai ibukota negara Jepang juga punya masalah dengan dinamika petumbuhan penduduk Tokyo. Jumlah penduduk usia produktif yang lebih tinggi dibandingkan usia lansia justru menjadi masalah baru di negara ini.
Usia produktif di Jepang terutama perempuan memilih menikah pada umur 30 tahun ke atas, bahkan tidak sedikit perempuan yang memilih untuk hidup sendiri atau tidak menikah. Persaingan dan iklim kerja di Jepang menuntut kinerja secara profesional yang ternyata mempegaruhi kehidupan pribadi perempuan di Jepang.
Dinamika pertumbuhan penduduk ini mempengaruhi perkembangan kota, bisa dibayangkan perkembangan kota yang penduduknya kebanyakan usia lansia. Tidak banyak investasi yang cukup seksi atau menjanjikan di suatu kota yang didominasi penduduk usia >40. Gaya hidup dan cara pandang orang muda membutuhkan lebih banyak fasilitas publik yang mampu menunjang mobilitas mereka dibandingkan penduduk kota usia >40 tahun.
Coba kita bandingkan Kota Semarang, Yogyakarta dan Makassar, pesatnya pembangunan di Jogja tidak hanya ditunjang oleh faktor wisata dan budaya saja. Jumlah mahasiswa yang bertambah setiap tahun memiliki pengaruh signifikan terhadap kelangsungan bisnis, ekonomi, dan investasi di kota ini.
Bisa dilihat dari pembangunan fasilitas “kaum muda” yang terus bertambah selama lima tahun terkahir. Mulai dari kos-kosan mewah, hotel hingga apartemen khusus mahasiswa sudah mulai berdiri di kota pelajar ini. Selain fasilitas tempat tinggal yang semakin variatif, pilihan pusat perbelanjaan, dan tempat kumpul anak-anak muda juga bertebaran di kota Jogja dan Sleman.
Lantas bagaimana dengan kota Semarang? Ada perbedaan yang sangat jauh antara Jogja dan Semarang. Tapi alasan pemusatan kegiatan wisata dan budaya di Jogja bukan kambing hitam untuk mengklaim Jogja kota wisata dan Semarang kota “adem ayem”.
Kawasan Simpang Lima yang diharapkan menjadi brand kota Semarang juga tidak cukup mampu membantah ketertarikan wisatawan yang lebih menikmati Jogja melalui Malioboronya. Bukan hanya Simpang Lima Semarang, di Makassar bisa dijumpai ruang publik seperti pantai Losari yang tidak kalah tidak nyamannya karena pengunjung harus dibuat jengkel dengan pengamen yang rada keras kepala.
Konsekuensinya kalau tidak ingin diganggu oleh masalah remeh temeh di ruang publik, orang-orang tentu lebih memilih tongkrongan di mal. Yang muda menyingkir di mal dan orang-orang tua lebih memilih menikmati kota dengan cara yang lebih sederhana, daripada disesaki kemacetan dan polusi lebih baik di rumah.
Apakah tidak ada wisata budaya di Makassar? Ada. Benteng Rotterdam ini terletak di pusat kota Makassar, berada dalam satu kawasan dengan pantai Losari. Tapi bangunan sejarah Benteng Rotterdam belum menjadi wisata sejarah yang cukup menarik dibandingkan dengan “wisata” nongkrong anak muda terbesar yang tepat berada di depan Benteng Rotterdam.
Sekat ruang sosial di kota besar sangat terlihat jelas dengan semakin banyaknya properti dan gaya hidup yang ditujukan untuk kaum muda. Sementara orangtua seakan digiring menjauhi keriuhan kota dengan memilih tinggal di pinggiran kota.
Dinamika pertumbuhan penduduk seperti ini dibaca sangat jeli oleh pengembang properti di kota besar seperti Jogja, Semarang dan Makassar. Jika Makassar sudah lebih dulu disesaki bangunan vertikal, maka Jogja saat ini mulai merintisnya.
Gedung Vertikal
Perubahan dinamika pertumbuhan penduduk dengan tingginya dominasi orang-orang muda mendiami kota, adalah peluang besar dalam pengembangan bisnis properti. Namun lahan di perkotaan yang terus berkurang dan tingkat urbanisasi yang tinggi menuntut ruang yang mampu mencukupi kuota lahan/meter/persegi kaum urban ini.
Pembangunan gedung secara vertikal akhirnya menjadi pilihan paling tepat di tengah kepadatan penduduk dan keterbatasan lahan. Sehingga tidak heran apabila Jogja mulai disesaki pembangunan gedung vertikal seperti kos-kosan, gedung pusat bisnis dan apartemen.
Tengok saja area Babarsari dan Selokan Mataram, setahun lalu masih hamparan sawah lalu berubah menjadi ruko dan sekarang sedang dibangun apartemen mewah. Dalam Holahan dan Wilcox (Holahan,C.J dan B.L Wilcox: Residential Satisfaction and Friendship Formation in High and Low-rise Student Housing) menjelaskan temuan penelitian yang memperlihatkan hasil bahwa gedung asrama yang berlantai 2-4 memiliki lebih banyak teman dibandingkan mahasiswa yang menghuni asrama berlantai sepuluh.
Pada tahun 1972 proyek Pruitt-Igoe pernah diklaim sebagai perencanaan lingkungan yang ideal namun bangunan apartemen ini akhirnya harus dihancurkan oleh departemen Perumahan dan Pengembangan Kota St.Louis karena dianggap arsitektur hunian massal ini tidak mampu menyelesaikan masalah manusia. Bangunan vertikal dianggap sebagai sumber pengasingan sosial terbesar dalam hubunga sosial masyarakat. Siap atau tidak siap kota-kota besar di Indonesia sudah mengarah kesana.
Saat ini Shanghai mengembangkan konsep flip city untuk meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan untuk menjawab masalah urbanisasi yang cukup tinggi. Flip city adalah konsep kota vertikal, bisa dibayangkan bagaimana kota vertikal ini bekerja?
Jadi flip city dinilai sebagai jawaban untuk model kota masa depan, tujuannya untuk menggabungkan beberapa fungsi publik dalam satu kota yang dibagi menjadi beberapa kluster dengan menyediakan ruang hijau dan mengatasi masalah infrastruktur kota.
Hal yang perlu dilihat dampak kedepannya adalah dampak lingkungan yang ditimbulkan. Pembangunan vertikal bukan satu-satunya solusi mutlak untuk mengatasi urbanisasi di masa depan. Tapi tugas utama perencana kota adalah mencari solusi untuk mengantisipasi lonjakan urbanisasi yang tidak bisa lagi di proyeksi dengan sistem lama seperti model pertumbuhan penduduk.
Dinamika pertumbuhan penduduk tidak lagi melulu diselesaikan di atas kertas melalui data statistik, karena gerak dan perubahan sosial yang ada di lapangan lebih dinamis dibandingkan dengan data terhimpun dalam statistik.
Fenomena sosial kaum urban akan memberi gambaran tentang bagaimana kota di masa depan atau bisa dibalik, bagaimana masa depan kota kita?, keduanya memiliki kekhawatiran dan jawaban berbeda.