Dentuman bas dari salah satu kafe kecil di salah satu jalan kampung Babarsari terdengar keras berbunyi untuk ukuran waktu di mana kebanyakan orang sudah tidur. Hiruk pikuk mulai terasa di kawasan ini ketika memasuki pukul 23.00 malam, jalan-jalan masih ramai, dan samar suara orang menyanyi di bar sederhana mulai terdengar. Semasa lagu oplosan menduduki peringkat pertama sebagai lagu penghibur sebagian masyarakat, tidak terkecuali kafe sederhana di babarsari ini latah memainkannya juga.
Saat malam pergantian tahun baru, tidak sedikit botol minuman keras bertebaran di depan warung dan rumah makan. Beberapa bahkan masih sempat bergoyang di pagi hari tanggal 1 Januari waktu itu. Tidak sedikit suara-suara mencibir kawasan Seturan dan Babarsari ini. Ketua RT yang menjabat waktu itu di daerah Maguwo sempat bercerita mengenai kawasan Seturan yang dianggapnya sudah menjadi kekuasaan kelompok/sebagian orang yang senang berbuat onar.
“Orang Jogja tidak pernah membedakan asal atau suku bagi pendatang yang ingin menuntut ilmu di Jogja. Kami menganggap mereka saudara, tak pernah ada rasis atau penolakan bagi pendatang di Jogja”. Tutur Pak Sudaryono, seorang dosen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Wilayah Kota Fakultas Teknik UGM.
Perihal provokasi yang terjadi saat kasus Cebongan terjadi dan menjadikan kawasan Babarsari menjadi salah satu target pengrusakan, beliau menanggapinya dengan sangat bersahaja. Tidak ada ucapan yang mengarah pada satu pembenaran mengenai rencana tindakan pengusiran penduduk pendatang yang berasal dari Timur waktu itu.
“Orang Jogja tidak mudah terprovokasi, masih bisa membedakan mana kasus kriminal yang pantas ditempuh dengan jalur hukum. Tidak perlu menggenaralisir bahwa seluruh pendatang senang berbuat onar”. Saya tertegun mendengar penjelasn Pak Dar saat itu.
Beliau sebagai seorang dari kalangan akademisi mencoba mengurai benang merah maraknya kasus pengrusakan, tindak kriminal yang terjadi di kota Yogya tidak terlepas dari sudut pandang keruangan. Saya kembali mengingat kasus-kasus serupa di kota Yogya dengan kejadian di kota Jakarta. Sebuah contoh kasus yang dikemas dalam sebuah buku, Psikologi Perkotaan karya D.K Halim.
Dijelaskan bahwa, pola ruang sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologi warga kotanya. Ruang-ruang yang secara tidak langsung tumbuh marginal dan memisah dari kawasan penduduk asli memicu lahirnya segregasi ruang. Warga yang tinggal berkelompok sesama suku, akan hidup dengan cara dan kebiasaan yang ada di daerah asalnya.
“Sebelum tahun 1985, pelajar dari berbagai daerah ini tinggal bersama penduduk, tinggal dalam satu kawasan dengan penduduk asli. Namun masalah mulai terjadi ketika pemerintah daerah masing-masing membangun asrama daerah.
Sejak asrama daerah berdiri, pelajar mulai terlihat menutup diri atau tidak senagaja telah menutup diri dengan lingkungan sekitar. Pak Dar mencoba menguraikan sejarah adanya celah perihal penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan pelajar dari daerah lain.
“Di mulai dari kasus penusukan seorang tukang becak oleh seorang pemuda, dan kabarnya bersembunyi di dalam asrama mahasiswa, menjadi pemicu keresahan warga dengan berdirinya asrama mahasiswa”. Pak Dar menambahkan bahwa masalah itu sebenarnya sudah dilupakan, hingga akhirnya kembali terulang kekerasan yang dikenal dengan kasus Cebongan.
Bagaimana dengan penduduka asli di daerah tersebut?, mengapa tidak ada struktur sosial seperti RT/RW yang bertugas menjaga keamanan kampung?. Kemudian oleh Pak Dar dijelaskan bahwa kawasan Seturan sebelum tumbuh seperti sekarang adalah daerah tegalan, memang tidak ada penduduk asli yang tinggal disana.
“Kawasan ini adalah kawasan tak bertuan, wajar jika terlihat begitu bebas, tak ada jam malam yang berlaku secara normal selayaknya kawasan lain di Yogya”. Kali ini saya membenarkan pernyataannya, karena saat malam yang semakin larut, masih ada perempuan yang berkeliling dengan pakaian serba mini.
Saya tidak mengkritik soal apa yang pantas dan tidak pantas, saya sempat khawatir dengan keselamatan perempuan tersebut. Berita pemerkosaan hingga mayat perempuan yang dibakar di kabupaten Sleman cukup membuat saya tidak tenang selama beberapa hari.
Fenomena kehidupan yang berlangsung di kawasan tak bertuan ini menunjukkan kenyataan sosial yang kadang meresahkan. Kawasan marginal biasanya dihuni oleh kelompok dan golongan yang merasa dirinya minoritas. Cuek dengan lingkungan sekitar menjadi pembenaran dan berlaku biasa saja. Semakin diperparah dengan stigma masyarakat yang sempit karena menggeneralisir pendatang sebagai pembuat onar.
Masalah seperti ini bisa diselesaikan secara bertahap ketika masyarakat asli Yogya dan penduduk pendatang bisa tinggal berdampingan. Penduduk asli diwakili Ketua RT/RW menjadi alat kontrol untuk memperkenalkan adat istiadat yang berlaku di Yogya. Pengalaman saya yang pernah tinggal berhadapan rumah dengan ketua RT di Maguwo membuka pandangan saya mengenai hal-hal yang mereka suka dan tidak suka. Kelebihannya adalah, ketua RT ditempat saya sering mengajak kami mengikuti pengajian warga walaupun hanya diwakili beberapa orang saja.
“Orang Yogya tidak menuntut macam-macam kok Mbak, hanya saja kami disini terbiasa mengutamakan mengambil keputusan bersama warga lain (musyawarah). Cara ini kami pertahankan agar anak-anak melihat bagaimana orang dewasa hidup bermasyarakat”.
Penuturan ini disampaikan seorang istri ketua RT di tempat tinggal saya, seorang yang tamatan SMP tapi paham menghadapi pendatang. Cara Ibu Pur mengayomi anak-anak pendatang dia lakoni dengan baik layaknya tuan rumah. Hasilnya hingga saat ini hampir tidak pernah terjadi keributan di tempat tinggal saya yang mayoritas berasal dari luar Jawa.
Baik Pak Dar dan Ibu Pur yang berasal dari latar belakang pendidikan berbeda ternyata sama-sama meyakini bahwa kekerasan, pengabaian lingkungan bisa dihindari apabila tidak ada sekat-sekat ruang yang memberi jarak antara pendatang dan penduduk asli.
Salam