Pertanyaan ini masih bergulir hingga sekarang menyusul penolakan sebagian warga Temon terhadap rencana pembangunan bandara baru di Yogyakarta. Diaolog yang dilaksanakan pada Selasa (23/92014) ternyata masih berujung buntu. Pihak dari perwakilan WTT (Wahana Tri Tunggal) menyatakan protes dengan menutup ruas jalan di desa Glagah (Temon).
Saat memasuki desa di Temon, kita akan menemukan atribut penolakan di halaman rumah warga. Di sana berdiri balok dan alat penapis beras bambu yang bercat merah. “Kami menolak bandara, kami tidak ingin ada bandara, warga temon sudah tenang, tidak perlu ada bandara, pemerintah tidak peduli dengan kami warga temon”. Seperti itulah tulisan protes yang terpasang di rumah warga.
Apakah semua warga Temon menolak rencana pembangunan bandara? nyatanya tidak juga. Mengarah ke bagian barat Temon, suasana perbedaan pendapat ini mulai terasa. Warga di sisi barat tidak kalah persuasifnya mendukung rencana pembangunan bandara. Spanduk yang berisi dukungan terhadap rencana pembangunan bandara juga sangat jelas terbaca.
Melihat kondisi ini, saya berfikir apakah separah ini dampak rencana pembangunan bandara baru Yogyakarta? hingga akhirnya masyarakat harus berada dalam sekat pendapat yang terpisah-pisah.
“Tidak semua warga Temon, menolak rencana pembangunan bandara mbak, beberapa ada yang mendukung, ya mungkin mereka punya tempat tinggal lain juga”. Tutur perwakilan pejabat desa Glagah.
Sedangkan menurut dirinya (pegawai kantor desa), pembangunan bandara tentu tidak direncanakan main-main, pemerintah dipercaya sudah menyiapkan tahapan dan evaluasi hingga memilih Kecamatan Temon sebagai lokasi pembangunan bandara baru. Beliau hanya berharap agar kehidupan petani tidak terganggu, dan pemerintah mau memikirkan masa depan warga Glagah yang tidak punya tempat tinggal di tempat lain.
Rencana pembangunan bandara baru di Kulonprogo akan membutuhkan lahan sebesar 637 hektar dengan mengambil lokasi di bagian selatan Kulon Progo. Ancaman bencana di pesisi pantai selatan Jawa seperti gempa dan Tsunami termasuk dalam prioritas kawasan risiko Tsunami. Oleh karena itu rencana pembangunan bandara diharapkan menyertakan analisis risiko bencana untuk meminimalisir dampak bencana tersebut.
Selain itu secara fisik, luas lahan untuk pembangunan bandara sebenarnya cukup luas hingga ke selatan mendekati bibir pantai. Pada area ini tidak ada pemukiman warga, melainkan pertanian cabe yang tumbuh sangat subur. Kemungkinannya tidak semua pemukiman warga akan digusur, sehingga yang menjadi masalah adalah mata pencaharian warga seperti bertani.
“Kalau ada bandara kan ramai mbak, nanti disini sudah banyak kendaraan yang masuk, kami merasa terganggu, tutur ibu Siti (30 tahun).
Rangkaian informasi ini saya kumpulkan, mulai dari kalimat protes warga yang terpampang di halaman rumah, isu keberpihakan pemerintah kabupaten, gangguan kebisingan dan isu kehilangan mata pencaharian. Intinya warga menolak pembangunan bandara, bahkan dengan istilah menolak tanpa syarat, kalau sudah begini artinya jalan komunikasi sudah tertutup.
Kalau menggunakan sudut pandang perkembangan kota dan wilayah, tentu pembangunan kota bandara di Temon berdampak positif untuk akselerasi pusat-pusat komoditi di setiap kecamatan di Kulon Progo. Seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya, pembangunan bandara Kulon Progo bisa membentuk “kerjasama ekonomi” spasial antar kecamatan.
Namun disisi lain, saat mengikuti kuliah tata ruang dan kebetulan membahas isu bandara Temon dosen saya berkata “ide pembangunan bandara di Kulon Progo ini termasuk rencana tidak masuk akal”. Wah kok bisa ya, kemudian beliau menghitung faktor jarak dan kedekatan akses.
“Kalau ke Kulon Progo kamu bisa menempuh perjalanan berapa jam dari Jogja? itu paling cepat 45 menit, paling lama kira-kira satu jam, trus kalau berangkat pagi jam 06.00, pukul berapa kamu bersiap-siap berangkat dari rumah”?
Tapi benarkah hanya karena persoalan jarak seperti ini lantas menjadi alasan penolakan bandara? Sebenarnya kalau dipikir secara keruangan lagi, ya kota Yogyakarta sudah tumbuh lebih dulu, pemusatan dan kluster perdagangan, pendidikan dan bisnis bertumpu di kota Yogya dan wilayah aglomerasi Sleman.
Bentuk tata ruang Yogyakarta yang unik yang membujur dari utara hingga selatan telah membentuk wajah kota Yogyakarta dengan sebaran fungsi perdagangan, pendidikan, bisnis sesuai komposisi ruang. Bagian Selatan Depok adalah berkembang sangat cepat karena adanya bandara Adisucipto. Kluster fasilitas perkotaan bertumpu di tengah, kota Yogya dan Sleman.
Berkumpulnya fasilitas perkotaan ini ditunjang dengan adanya bandara di pusat kota Yogya. Sehingga pertumbuhan Yogya semakin memadat, dan sekaligus menjadi masalah untuk keselamatan penerbangan. Nah dengan memilih Temon sebagai kawasan bandara baru, apakah bisa dipastikan akan memicu multiplier effect seperti yang diprediksi? apakah geliat ekonomi di Kulon Progo menyamai Yogykarta? atau malah sekadar jadi tempat persinggahan saja?
Kita tunggu ulasan selanjutnya :)
Salam
Tulisan sebelumnya
1. Menanti Solusi Rencana Bandara Baru Temon
2. Cerita Petani Cabe di Glagah