Tinggal di sebuah kota yang terkenal karena banyak industri rokoknya, Kudus. Tapibisa di bilang sangat anti dengan asap rokok. Hidung saya terlalu sensitif dengan asap rokok, sebentar saja menghirup asapnya, hidung dan tenggorokan saya bisa gatal dan batuk-batuk. Tapi walaupun begitu, saya tertarik untuk menyelami tentang sejarah rokok di Museum Kretek Kudus, Jawa Tengah. Kota yang saya cintai hingga saat ini.
Jauh sebelum Djarum merajai dunia rokok di Kudus, seorang lelaki bernama Nitisemito sudah lebih dulu mengukir sejarah sebagai pengusaha rokok paling sukses di awal abad ke-20. Namun, sebelum Nitisemito tercatat juga sosok H. Jamhari yang mengenalkan rokok kretek pada akhir abad ke-19.Dikisahkan bahwa pada awalnya Pak Haji Djamari penduduk asli Kudus ini merasa sakit bagian dada, ia kemudian mengoleskan minyak cengkeh, dan merasa bahwa sakitnya telah reda. Pak Haji Djamari kemudian berekpresimen dengan cengkeh tersebut, ia merajang cengkeh dan dicampur dengan tembakau kemudian dilinting menjadi sebuah rokok. Setelah rutin menghisap rokok hasil karyanya, Djamari merasa sakitnya hilang. Ia menceritakan penemuannya, dan berita ini pun menyebar cepat. Permintaan "rokok obat" ini pun sangat banyak, Djamari pun melayaninya. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek", maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan "rokok kretek". Kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang.