Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

66 Tahun Kemerdekaan Indonesia, untuk Kita atau untuk Orang Lain?

5 Januari 2012   04:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:19 112 0
Oleh : Rasyid Ridha Saragih*

Kita sadari atau tidak, sebenarnya kita mengalami kembali penjajahan cara baru, walaupun tidak secara fisik atau langsung, efek dari penjajahan ini nyatanya sangat berdampak luas bagi saudara-saudara kita sebangsa. Wilayah bersumber daya alam yang kaya seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dll. Nyatanya tidak ada pembangunan secara signifikan. Biasanya kan kalau suatu daerah kaya, maka pemilik daerah itu pun akan kaya. Tetapi fakta di Indonesia bagaimana? Menurut saya anda juga akan faham sendiri. Utang luar negeri Indonesia pun dari tahun ke tahun semakin bertambah, dan itu pun edan banget nambahnya, tidak sedikit.Hanya lima tahun memerintah, berdasarkan catatan Buku Statistik Utang Indonesia yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), SBY berhasil menambah utang luar negeri Indonesia Rp300 triliun. Hingga bulan April 2010, total utang luar negeri Indonesia sudah menghampiri Rp2000 trilyun, atau setara dengan dua kali APBN kita.

Terakhir, bulan desember ini, SBY kembali menambah utang melalui ADB sebesar 200 juta US Dollar, dan katanya, ini akan dipergunakan untuk mendanai reformasi ekonomi di Indonesia.

Meski terjadi peningkatan utang yang sangat signifikan, tetapi pemerintah berusaha mengelak dengan menyatakan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) telah menurun, yaitu dari 89 persen menjadi 32 persen.

Ada dua hal yang perlu dibantah terkait pernyataan pemerintah di atas: Pertama, Utang luar negeri tidak bisa dibandingkan dengan PDB. Sebab, PDB tidak mencerminkan produksi Indonesia, tetapi juga ada porsi asing yang besar di dalamnya. Peningkatan PDB bukan karena naiknya produktifitas nasional, melainkan karena aktivitas perusahaan atau bisnis pihak asing. Kedua, meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, namun stock utang justru terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Ada peningkatan stock utang sekitar 30% dalam lima tahun ini.

Intervensi Asing Dalam Pembuatan 76 Undang-Undang

Di bulan Agustus 2010, anggota DPR RI dari fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari mengungkap keterlibatan lembaga-lembaga asing dalam pembuatan 76 Undang-Undang yang sebagian besar telah diberlakukan. Tiga lembaga internasional yang berbasis di Amerika Serikat, yaitu IMF (International Monetary Funds), Bank Dunia, danUnited States Agency for International Development(USAID), telah menjadi konsultan pemerintah selama kurang lebih 12 tahun untuk pekerjaan ini.

Posisi lembaga-lembaga tersebut sebagai ‘konsultan’, diperoleh melalui ‘bantuan’ utang untuk berbagai program pemerintah di bidang-bidang strategis, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, minyak dan gas, serta pengelolaan kekayaan alam lainnya. Hasil dari ‘konsultasi’ tersebut telah mengarahkan pemerintah untuk mengajukan sejumlah Undang-Undang baru, atau mengubah Undang-Undang (UU) yang ada, seperti UU Pendidikan Nasional (Nomor 20 Tahun 2003), Undang-Undang Kesehatan (Nomor 23 Tahun 1992), UU Kelistrikan (Nomor 20 Tahun 2002), dan Undang-Undang Sumber Daya Air (No 7 Tahun 2004), UU BUMN (Nomor 19 Tahun 2003), UU Penanaman Modal Asing (Nomor 25 Tahun 2007, UU Migas (Nomor 22 Tahun 2001), UU Pemilu (Nomor 10 Tahun 2008). Sebagai catatan, keseluruhan UU tersebut kental dengan muatan liberalisasi, atau menaklukkan kepentingan nasional di bawah kehendak modal asing.

Jauh sebelum diungkapkan oleh Eva, dalam tiap-tiap pembahasan UU tersebut telah ada kelompok atau individu yang memperingatkan masalah intervensi tersebut. Misalnya, dalam penyusunan UU Migas, pakar minyak Kurtubi telah memastikan adanya campur tangan kepentingan asing, yang kemudian dikonfirmasi oleh (mantan) anggota DPR RI Drajat Wibowo. USAID mengeluarkan anggaran sebesar 21,2 juta US dolar atau sekitar 200 miliar rupiah untuk asistensi pembahasan UU tersebut. Namun pengungkapan-pengungkapan ini masih terpisah-pisah antara satu UU dengan UU yang lain, sehingga tidak tampak satu rangkaian kepentingan modal asing dalam keseluruhan kepentingannya.

Tebang Pilih Pemberantasan Korupsi

Di samping isu terorisme yang ‘meredup’, isu korupsi merupakan trade-mark (merek dagang) andalan bagi pemerintahan SBY-Boediono. Namun barang dagangan ini hanya tampak baik pada kemasan, karena isinya sama sekali buruk. Komitmen pemberantasan korupsi yang dicanangkan sebenarnya sudah sulit dipercaya khalayak sejak terjadi kriminalisasi terhadap pejabat KPK, pertama terhadap mantan ketua KPK, Antasari Azhar, dan kemudian percobaan yang sama terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Upaya kriminalisasi ini, menurut pengamatan banyak kalangan, merupakan tindakan ‘pencegahan’ agar kasus-kasus yang melibatkan kepala negara tidak diusut lebih lanjut.

Sepanjang tahun 2010, retorika pemberantasan korupsi oleh SBY semakin terbukti hanya manis di bibir. Pada acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi, tanggal 1 Desember 2010, SBY antara lain mengatakan bahwa pemberantasan korupsi dapat efektif apabila penegak hukum bersih. Berlawanan dengan pernyataannya, alat-alat penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, maupun KPK, justru dibuat menjadi semakin ‘kotor’ atau bermasalah. “Alat hukum” terkini buatan SBY adalah Satgas Antimafia Hukum yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto, tangan kanan SBY juga .

Kasus korupsi yang melibatkan pegawai kantor pajak, Gayus Tambunan, membuktikan keberadaan alat-alat penegakan hukum yang dapat dimanfaatkan penguasa sesuka hatinya. Pengakuan-pengakuan yang diberikan oleh Gayus, tampak sengaja diarahkan untuk menyerang Aburizal Bakrie (Ical), sebagai salah satu manipulator pajak yang ‘dibantunya’. Drama lolosnya Gayus dari tahanan untuk menyaksikan pertandingan tenis di Bali, yang ‘kebetulan’ dihadiri juga oleh Ical, seakan mengkonfirmasi adanya konspirasi besar untuk memainkan isu tersebut tanpa penyelesaian yang pasti.

Sisa Watak Hukum Kolonial


Pada bulan November tahun lalu, ada kisah Nenek Minah (55), yang dihukum penjara 1,5 bulan karena secara tidak sengaja ‘mencuri’ tiga buah cokelat. Saat itu kita alami ramainya kecaman dan kritikan terhadap kejadian ini. Hakim yang membacakan vonis hukuman mengalami situasi emosional dan menyatakan bahwa, “kasus ini kecil tapi telah melukai banyak orang.” Ketidakadilan yang sangat mencolok mata semacam ini ternyata tidak berkurang dengan kegeraman banyak orang.

Di tahun 2010 ini kejadian serupa kembali berulang. Seorang nenek di Pekalongan dihukum tiga bulan penjara karena mencuri lima batang permen coklat. Kemudian, baru bulan Oktober lalu, seorang petani di Pasuruan divonis hampir 1,5 bulan karena ‘mencuri’ dua batang singkong milik tetangganya buat makan sekeluarga. Kasus-kasus memilukan yang terungkap di media massa ini hanyalah sedikit contoh dari gejala umum posisi penegakan hukum. Rakyat, yang sedang dimiskinkan, sangat gampang diseret hukum, sementara orang yang berkuasa atau berduit sangat sulit tersentuh hukum. Hukum menjadi tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Menuju “Perampingan Sistem” dan Stabilisasi Pemerintahan Neoliberal

Tahun 2010 ditutup dengan pengesahan atas perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Perubahan ini terutama diarahkan untuk memperberat syarat pendirian partai politik (parpol). Ini merupakan saringan pertama peraturan perundang-undangan, untuk mewujudkan “pemerintahan yang kuat dan stabil”. Saringan peraturan berikutnya adalah yang mengatur tentang pemilihan umum (pemilu), yakni syarat bagi parpol untuk menjadi kompetitor dalam pemilu, dan batas perolehan suara untuk dapat mengirim perwakilan ke parlamen (electoral threshold).

Di samping telah melakukan pelanggaran konstitusional, yang untuk ini dapat diadukan ke Mahkamah Konstitusi, pembatasan partai politik merupakan bagian dari upaya membangun “pemerintahan yang kuat dan stabil” tadi. Fase reformasi politik tampaknya mulai mendekati tahap puncak berupa tercapainya konsensus kepentingan antara sebagian faksi-faksi politik yang sempat ‘terpecah-belah’ oleh liberalisasi 1998. Bila dipandang dari sudut ini, maka kemunculan koalisi setgab yang sedikit terbahas di atas, tampak seperti sebuah ‘uji-coba’ menuju perampingan sistem, menuju pengorganisasian politik yang lebih tersentralisasi, tidak berserak di banyak parpol seperti keadaan sekarang

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun