Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mari Bertoleransi....

10 Februari 2011   05:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:44 108 0
Akhir-akhir ini kita dijejali oleh banyak berita yang mengandung SARA (Suku, Agama, Ras, Adat). Isu-isu SARA acapkali membuat geger di negeri ini. Mulai dari bentrok antarsuku hingga bentrok antar keyakinan pun pecah dalam waktu yang sangat dekat.

belum lama ini kita semua disuguhi pembakaran rumah jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten yang menewaskan sedikitnya tiga orang dari jamaah AhmadiyahLebih ironis lagi, korban yang sudah tidak berdaya masih dipukuli dengan kayu.

Tidak hanya di Cikeusik, kekerasan berbau SARA juga terjadi di Temanggung, Jawa Tengah. Temanggung, daerah yang sunyi senyap, tiba-tiba menjadi kota yang riuh oleh pemberitaan pengrusakan Pengadilan Negeri, Temanggung, dan pembakaran 3 gereja yang ada di sana. Melihat kejadian itu, tentu hati nurani kita (sebagai manusia) miris. Terlebih kekerasan itu berasal dari organisasi masyarakat yang selalu meneriakan 'Allahu Akbar!'.

Kekerasan kian membrutal tatkala aparat keamanan dianggap patung oleh sekelompok orang. Ketidakberdayaan aparat tentu saja dimanfaatkan untuk mengeruhkan suasana. Apa yang terjadi akhir-akhir ini menjadi pembelajaran bagi kita ummat Islam-muslim pada umumnya. Bahwa, Islam tidak mengiyakan tentang kekerasan. Islam adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin.

Bebicara Rahmatan Lil Alamin, Islam menjadi penyejuk bagi seluruh ummat manusia, termasuk mereka yang bukan beragama Islam. Alam semesta menjadi bagian dari rahmat Alla SWT karena dengan alam itulah Allah memberikan kekuasaanNya, memperlihatkan ke-MahatinggaanNya.

Bertoleransi

Toleransi. Itu adalah satu kata yang gampang-gampang susah untuk didapatkan saat ini, terutama apabila kita melihat berita beberapa hari terakhir. Berbagai sikap keras dan tindakan brutal atas nama agama dan kepercayaan menjadi bagian dari hiruk-pikuk kehidupan yang konon sangat demokratis dan menghargai sesama ummat.

Toleransi menjadi hal yang sangat mahal. Untuk bertoleransi saja harus ditebus dengan nyawa (baca: targedi Ahmadiya di Cikuesik) tetapi, memang tidak semua orang membenci keberadaan Ahmadiyah secara manusiawi, masih banyak di antara mereka yang masih memiliki toleransi terhadap orang-orang yang dianggap 'sesat', bahkan tidak sedikit di antara mereka yang masih hidup berdamping meski berbeda agama dan keyakinan. Berbaur dengan yang lainnya, memelihara tali silaturahmi, melakukan bakti sosial atas dasar kemanusiaan dll.

Tragedi Cikeusik dan tragedi Temanggung telah merusak tatanan sosial-masyarakat yang menginginkan kehidupan yang harmonis, selaras, dan hidup rukun meski berbeda keyakinan. Dalam hal keimanan, tentu orang-orang yang menganggap dirinya 'telah beriman' kepada Allah SWT tidak semestinya melakukan perbuatan yang justru menodai agamanya sendiri.

Keimanan seseorang tidak bisa diganggu gugat. Soal dia mau sesat atau tidak bukan lagi urusan kita, tetapi sudah menjadi urusan Sang Khalik. Sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa (kalo masih mau disebut seperti itu), tentu tugas dan kewajiban kita adalah memberikan nasehat dan bimbingan agar seseorang yang telah melenceng dari jalur keimanan supaya bisa ke jalan yang benar.

Namun, sekali lagi, kekerasan menjadi cara yang dianggap efektif dalam meng-imankan seseorang. Akibatnya, bukan simpati atau empati atas nasehat-nasehatnya, tetapi cemoohan dan sikap sinis dari sesama keyakinanpun muncul. Apakah itu yang diinginkan dalam setiap berdakwah? Tentu tidak.

Sekali lagi, mari kita hidup bertoleransi sesama manusia dan sesama umat beragama selagi tidak merugikan satu sama lainnya. Yang belum lurus kita luruskan, yang salah kita nasehati, dan yang terlanjur salah dan memilih jalan yang tidak benar...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun