Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Mengapa Jokowi Masih Menerapkan Pidana Mati?

27 April 2015   09:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:39 450 0


Mengapa Jokowi Masih Menerapkan Pidana Mati

Oleh: Ranto Sibarani, S.H.

Joko Widodo atau yang lebih populer dengan nama Jokowi, memang fenomenal. Bagaimana tidak, laki-laki kelahiran Solo, 21 Juni 1961 ini dalam waktu singkat dan berturut-turut menjabat empat periode jabatan strategis yang tidak banyak orang bisa mencapainya. Sejak tahun 2005 menjadi Walikota Solo dua periode, menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 dan akhirnya memenangkan Pemilihan Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014.

Popularitas Jokowi tidak muncul begitu saja, saat menjabat menjadi Walikota Solo dia berhasil membuat Solo menjadi kota pariwisata yang aman, bersih, berhasil memindahkan pedagang dengan dialog tanpa menggusur paksa dengan prinsip nguwongke wong atau memanusiakan manusia. Memenangkan pemilihan Walikota Solo periode kedua dengan kemenangan 90,09%, tanpa banyak kampanye, suatu kemenangan yang luar biasa di tengah-tengah isu maraknya money politic pada saat ini. Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta langsung menekan biaya pelantikan yang anggarannya 1,05 Milyar Rupiah menjadi 500 Juta Rupiah, menjadikan DKI sebagai satu-satunya kota yang laporan keuangannya dapat diperiksa secara online setiap saat oleh BPK RI. Menjadikan waduk Pluit berfungsi dengan baik, Pasar Tanah Abang menjadi bersih dan nyaman, membangun rumah susun untuk rakyat, memberikan Kartu Jakarta Sehat, dan banyak prestasi lainnya yang sangat langka dan jarang dilakukan oleh pejabat publik lainnya.

Semua prestasi dan kerja-kerja Jokowi tersebut tentulah menjadikan rakyat berharap banyak pada sosoknya saat dia menjadi Presiden. Petani berharap agar sumberdaya pertanian tersedia dan murah, hasil panen terjamin. Guru berharap adanya kebijakan pendidikan yang tidak menindas mereka dan murid-muridnya, nelayan berharap pukat harimau diberantas sehingga mereka bisa berkelanjutan mencari ikan, buruh berharap upah yang layak, rakyat berharap kesehatan dan pendidikan tidak menjadi komoditas ekonomi yang menjadikan sikaya bertambah kaya. Masih banyak harapan yang digantungkan pada pundak Jokowi sebagai presiden yang bercirikan wong ndeso itu. Tidak ketinggalan pembela Hak Asasi Manusia atau Human Right Defender, yang turut berharap agar segala pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru dan masa paska Reformasi diusut dan diadili pelakunya.

Pidana Mati

Saat ini kita sedang disuguhi suatu tontonan eksekusi mati enam terpidana narkoba yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Harapan agar Jokowi mengusut pelanggaran HAM masa lalu belum lagi terwujud, kita sudah dihadapkan pada eksekusi mati terpidana narkoba yang selama ini selalu ditentang oleh pembela HAM. Keenam orang yang telah dieksekusi pada tanggal 18 Januari 2015 tersebut adalah Marco Archer Cardoso Moreira (Brazil), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo (Nigeria) Ang Kiem Soei (Belanda), Rani Andriani (WNI) dan Tran Thi Bich Hanh (Vietnam). Tulisan ini akan membahas tentang pidana mati dan harapan kepada Jokowi untuk menghapusnya dari regulasi di negara kita.

Sebagaimana yang kita ketahui, landasan yuridis diterapkannya pidana mati adalah KUHP Pasal 10 yang isinya menyebutkan bahwa Pidana Pokok antara lain adalah pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda, sementara itu Pidana Tambahan antara lain adalah pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.

Selain KUHP, ternyata ada 10 Peraturan Perundang-Undangan lain yang juga mencantumkan pidana mati sebagai ganjaran bagi yang melanggarnya, diantaranya adalah Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951, Penpres Nomor 5 Tahun 1959, Perpu Nomor 21 Tahun 1959, UU Nomor 11/PNPS/1963, UU Nomor 4 Tahun 1976, UU Nomor 5 dan Nomor 22 Tahun 1997, UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 26 Tahun 2000 dan UU No. 15 Tahun 2003.

KUHP yang menjadi landasan yuridis penerapan pidana mati sebenarnya adalah warisan penjajah Belanda yang diberlakukan sejak 1 Januari 1918 yang pada saat itu disebut WvS atau Wetboek van Strafrecht. Ironisnya, ketika Belanda memberlakukan KUHP, di Belanda sendiri sejak tahun 1870 hukuman mati sudah dihapuskan untuk kejahatan biasa atau ordinary crime. Belanda akhirnya menghapuskan seluruh penerapan hukuman mati termasuk untuk pelanggaran kejahatan luar biasa atau extraordinary crime pada tahun 1982. Patut dicurigai, Belanda menerapkan hukuman mati di negara jajahannya tentulah untuk memberangus penduduk pribumi yang melakukan kejahatan dan melawan kekuasaan mereka.

Meskipun demikian, Indonesia terus menerapkan pidana mati, eksekusi pidana mati sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah berturut-turut pada bulan Mei dan November 2013, yang mengeksekusi sebanyak 4 orang termasuk salah seorang warga Negara Pakistan. Dari tahun 1979 sampai saat ini, September 2014, setidak-tidaknya sebanyak 64 orang telah dieksekusi mati dan sebanyak 133 orang telah divonis dengan hukuman mati dengan kata lain menunggu saatnya dieksekusi mati.

Eksekusi mati ini sebenarnya kontraproduktif dengan upaya-upaya diplomasi yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang mengupayakan perlindungan hak atas hidup bagi buruh migran warga negara Indonesia yang menjalani tuntutan maupun proses hukuman mati di luar negeri seperti Saudi Arabia dan Malaysia. Padahal dalam forum internasional pemerintah Indonesia kerap menyampaikan bahwa Indonesia turut mendukung tren global untuk melakukan moratorium hukuman mati di forum-forum internasional.

Pidana Mati dan Hak Asasi Manusia

Pidana mati sebenarnya bertentangan dengan Hak Asasi Manusia jika kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dengan tegas menyebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 bahkan dengan tegas menyebutkan pada pasal 33 ayat 2 bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Nyawa adalah sesuatu yang melekat pada manusia sejak lahir, nyawa tidak diberikan oleh manusia atau negara, sehingga negara dan manusianya tidak berhak mencabut nyawa orang lain.

Pidana mati yang diancam kepada pelaku pembunuhan berencana, pengedar narkotika, pelaku tindakan terorisme tidak menjadikan pelaku kejahatan tersebut jera, buktinya peredaran narkotika semakin massif dan melibatkan aparat penegak hukum. Baru-baru ini dua orang aparat kepolisian Indonesia ditangkap di Malaysia dengan dugaan membawa narkotika.

Dilain hal, pelaku terorisme yang dieksekusi mati acapkali menjadi amunisi ideologi bagi kaum fundamentalis untuk melanjutkan perjuangan orang yang dieksekusi tersebut. Bahkan angka pembunuhan berencana tidak semakin menurun meskipun ancaman hukuman mati diterapkan.

Sebagai negara yang sudah 69 tahun merdeka dari jajahan Belanda, sudah sepatutnya kita memperbaharui KUHP yang diwariskan oleh Belanda tersebut. Sebenarnya, Rancangan Perubahan KUHP sudah disusun sejak tahun 1999-2006 oleh Depkumham, bahkan sudah direvisi selama 30 tahun terakhir, namun sampai saat ini. Perubahan KUHP tersebut belum berhasil ditetapkan oleh Pemerintah kita. Bagaimanapun, Rancangan perubahan KUHP tersebut masih tetap mencantumkan Pidana Mati sebagai pidana pokoknya, meskipun dengan pengaturan yang lebih ketat, namun substansinya masih menerapkan pidana mati.

Kesimpulan

Pemerintahan Jokowi melaksanakan Pidana Mati karena masih berlakunya landasan yuridis KUHP yang mencantumkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokoknya.

Kita berharap banyak kepada Jokowi untuk menggunakan masa kepemimpinannya sebagai Presiden untuk mengubah KUHP dengan menetapkan RUU KUHP yang berisikan penolakan diterapkannya pidana mati. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, maka sudah selayaknya Indonesia turut serta mendukung tren global menghapuskan hukuman mati.

Dari 193 negara anggota PBB saat ini, tercatat 141 negara sudah menghapus total ketentuan hukuman mati, dan 52 negara masih menerapkannya termasuk Indonesia.

Kemiskinan, ketidakpastian hukum, ketidakadilan dan prilaku aparat negara yang masih berwatak korup adalah akar dari terorisme, peredaran narkotika dan pembunuhan berencana yang selama ini diancam dengan pidana mati.

Jokowi diharapkan mampu memberi solusi atas kemiskinan rakyat, memberikan contoh bagi penegakan hukum, memberikan kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan dan kesehatan kepada seluruh rakyat dan melakukan revolusi mental bagi aparat negara yang selama ini membekingi peredaran narkoba. Dengan demikian, maka kita tidak perlu lagi menggunakan ancaman pidana mati, bagaimanapun, pelaku kejahatan tersebut harus diberikan kesempatan untuk mengubah sikapnya dan memberikan kesempatan untuk mengetahui bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan yang harus diperbaiki, bukan di alam baka dengan cara kematian, tetapi di bumi dimana dia hidup.

* Penulis adalah Koordinator FORSDEM (Forum Organisasi Non Pemerintah Sumatera Utara Untuk Demokrasi)

pernah dimuat di Harian Analisa 25 Februari 2015

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun