Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Tetaplah Abadi dalam Tulisanku, Pak

14 Desember 2023   18:16 Diperbarui: 14 Desember 2023   18:37 136 3

Tulisan ini aku dedikasikan mengenang perjalanan 26 tahun dikenal dan mengenal seorang ayah yang dalam tradisi Batak lebih akrab dipanggil bapak. Aku sadar ingatanku begitu terbatas itulah alasan aku menulis ini. Meskipun fisikmu sudah tiada lagi dan kedepannya tidak akan ada lagi kenangan tercipta selain lewat mimpi tetapi engkau akan tetap amerta dalam tulisanku.

Waktu yang sungguh terasa singkat, bahkan jika aku jujur kenangan yang benar-benar masih tersimpan rapat di memoriku mungkin hanya setengah dari perjalanan 26 tahun ini. Aku tidak mau kehilangan itu semua, maka aku menulis. Sekalipun sesingkat itu, aku dengan yakin berkata semua itu cukup. Jikapun diberi waktu lebih banyak lagi itu hanyalah bonus yang Tuhan berikan dan tentu saja menuntut lebih banyak pertanggungjawaban lagi. Aku adalah anak perempuan yang sangat beruntung sebab dalam hidupku diberikan bapak yang luar biasa sebagai laki-laki pertama yang kucintai.

Bapak memang tidak sempurna, pun tidak keturunan kaya yang bergelimang harta tetapi cintanya begitu besar. Cinta darinya sungguh-sungguh mencerminkan cinta Bapa sorgawi. Begitu tulus menunjukkan kasihnya, tanpa penghakiman telinga yang selalu mendengarku, sungguh teramat bijak dan berhikmat semua kata-kata yang keluar dari mulutnya serta teladan hidup yang ia perlihatkan. Terkadang aku berpikir, terbuat dari apakah hatimu? Mengapa bisa setegar, sekuat dan setulus itu? Mengingat semua perjalanan yang telah dilalui, aku sungguh tidak punya alasan untuk berkecil hati melihat mereka di luar sana yang melewati fase-fase kehidupannya didampingi oleh seorang ayah. Perjalanan sejauh ini cukup sempurna, jikalaupun aku ceritakan ulang maka aku yakin ada banyak anak perempuan lain di luar sana yang ingin menikmati posisiku untuk sebentar saja.

Hati yang teramat egois ketika aku tidak pernah siap untuk ditinggalkan, tetapi tidak peduli sekeras apa aku memohon di hadapan Tuhan waktunya sudah tiba. Ia pergi meninggalkanku dengan penuh senyuman. Tidak akan pernah aku lupakan hari dimana Bapak menggengam tanganku dengan kencang, meskipun aku tidak mengerti hal apa yang hendak engkau ucapkan. Semua itu kuanggap sebagai salam perpisahan yang manis, terimakasih setidaknya telah menungguku untuk datang mendengar irama jantungmu untuk kali terakhir meskipun hanya lewat mesin. Tidak ada kata-kata terakhir yang terucap, ruangan yang sangat mencekam, tubuhmu terlentang kaku, aku berteriak begitu kencang seketika duniaku berhenti berputar dan lututku tak mampu menopang beban tubuhku. Aku ternyata selemah itu, Pak. Tetapi melihat senyuman terakhirmu, tidak ada alasan untuk tidak kuat sebab aku adalah anak perempuanmu.

Kepadaku selalu kau ajarkan dan tunjukkan cara hidup menjadi manusia yang kuat hati, punya optimis, berani mencoba hal lain bahkan yang paling beresiko sekalipun, menjadi manusia yang selalu berguna dan selalu takut akan Tuhan. Mengingat semua itulah, aku tetap hidup melanjutkan semua rencana dan mimpi-mimpi yang pernah ku ceritakan kepada Bapak.  Akan selalu kukenang masa-masa ketika Bapak selalu bersedia membangungkanku di pagi hari bahkan jika aku memintanya saat subuh hanya lewat pesan singkat wassap. Aku selalu tenang dan tidak takut terlambat jika di malam harinya telah kusampaikan bangunkan aku besok pagi ya pak, takut aku terlambat. Akan dengan bangga juga kelak kuceritakan bahwa aku punya Bapak yang tidak pernah lelah menemaniku berjuang dalam masa studiku. Aku tau bapak begitu mengasihiku namun juga mengizinkanku untuk terbang jauh dari rumah mengejar impianku. Jika aku hendak pergi ke suatu tempat yang baru saja aku kenal, Bapak dengan semangatnya ikut membantuku packing, memastikan semua keperluanku tersusun rapi, menghubungi siapapun yang ia kenal untuk memastikan aku tidak seorang diri di negeri asing. Aku yang setiap kali pulang dari tanah rantau, selalu diperlakukan layaknya seorang tuan putri dari aku bangun hingga tidur lagi. Akan selalu menjadi kisah yang menyenangkan dan akan aku wariskan kelak, saat-saat mengobrol berdua dengan bapak di warung depan rumah maupun diteras rumah. 

Tidak lupa obrolan-obrolan kita ditemani oleh pisang goreng dan secangkir teh. Ohhh bukan hanya itu saja, penjual apapun yang lewat dari depan rumah bapak selalu bertanya: "Bam do rujak ai? Bam do sate? Bam do jus?" yang pasti selama di rumah aku jauh dari rasa lapar. Bukan soal mahalnya makanan yang dibeli tetapi semua soal aku selalu diberlakukan sebagai putri. Betapa beruntungnya aku ya. Yang paling berharga dari semua itu adalah momen-momen mengobrol dari hati ke hati. Bercerita tentang semua pengalaman yang terjadi, masa suka maupun masa-masa berat yang kualami. Berdiskusi tentang rencana -- rencana kedepannya tetang masalah keuangan maupun naik turunnya kisah-kisah romansa yang kualami. Semua terasa begitu sempurna. Entah bagaimana matra itu bekerja, bagiku pendapat dan sudut pandang bapak memiliki tempat khusus dalam hati dan pikiranku sebab akan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam setiap keputusan hidupku dan caraku memperlakukan orang lain. Ketika aku ragu untuk melangkah tetapi Bapak bilang maju coba aja, seketika itu juga rasa percayaku menjadi naik. Ketika emosiku tidak terkontrol terkadang responku tidak baik, tetapi sudut pandang Bapak selalu berbeda, Ia selalu jauh lebih bijaksana dari apa yang ku kira. Sesungguhunya aku masih ingin bercerita dan bertanya banyak hal apakah aku salah Langkah? Tetapi kini aku harus meyakinkan diri bahwa modal-modal kehidupan yang Bapak sudah berikan untukku cukup. Maka aku akan berjuang untuk tetap melanjutkan hidup di jalan yang benar, memelihara iman hingga waktu penantian itu tiba kita duduk semeja dalam perjamuan bersama Bapa Sorgawi.

Di hari ulang tahunmu ini, bagaimana disana? Kali ini aku tidak bertanya mau kado apa seperti yang biasa kulakukan, meskipun sudah tau jawabannya Bapak akan bilang belikan susu dan buah aja. Bagaimana disana? Jujur, ketika di ruang jenazah aku sempat mengalami perang iman seolah hidup tanpa Tuhan. Aku mencari-cari kemana nafas Bapak pergi? Akan aku ambil dan kejar bagaimanapun caranya dan kukembalikan ke tubuhmu yang terlentang kaku. Sesaat aku lupa bahwa ada Tuhan pemilik hidup dan kehidupan kita. Lalu bagaimana disana? Yang aku percaya pasti Bapak mengalami damai yang tak terkira disana. Jauh dari hiruk pikuk manusia berisik yang selalu mengusik. Aku hari ini menangis, tetapi kali ini bukan lagi karena aku mengutuk Tuhan yang telah membawamu pulang ke rumah Bapa di Sorga, tetapi aku menangis di dalam doa. Aku berdoa untuk diriku sendiri, akankah aku sanggup meneruskan semua jejak yang Bapak tinggalkan? Akankah hidupku akan terus menjaga nama baik Bapak? Aku harus akui bahwa hidup semakin berat setelah kepergianmu, aku bukan marah tetapi ini adalah bukti bahwa sebesar itu pengaruh bapak dalam keluarga kita. Aku ingin menjadi seperti Bapak yang tidak pernah terlihat putus asa, selalu melihat harapan-harapan kecil bahkan ditengah kegelapan dan menjadi pribadi yang selalu penuh kasih bahkan kepada orang-orang yang secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Bapak.

Beberapa pola pikir yang aku suka dari Bapak tentang bagaimana menjadi manusia yaitu:

  • Hidup harus berguna untuk keluarga, gereja dan Masyarakat. ini adalah point terakhir yang bapak sampaikan sebagai alasan bapak menolak program hemodialisis.
  • Tetap berbuat baik kepada semua orang bahkan kepada orang yang menganggap kita "mush" itu adalah senjata paling ampuh daripada balas dendam
  • Jangan menyimpan uang, biarkan dia berkembang bahkan saat kita tidur.
  • Selalu bersabar tetapi harus tegar, tidak perlu membuat hidup ini seolah-olah menyedihkan agar orang lain berbelaskasih.
  • Point  terakhir, baru-baru ini aku paham: "Harus berani punya mental berutang di bank".
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun