Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

The Betrayal

15 Oktober 2024   02:54 Diperbarui: 15 Oktober 2024   02:59 31 3
TRIGGER WARNING!

DISCLAIMER:


Tulisan mengandung unsur (18+) karena memuat kekerasan dan kata-kata kasar. Tulisan ini dibuat untuk melawan suara-suara yang menganggap bahwa objektifikasi wanita adalah hal lumrah.

Mari kita bijak dalam melihat situasi sosial khususnya yang terjadi masa kini. Jika bukan dari kita, maka siapa lagi?

Selamat menikmati.


***

Agaknya pagi ini aku terjaga dengan kepala seperti ditusuk pasak besar. Jari jemariku terjatuh di pinggiran ranjang menyentuh lantai-lantai yang dingin. Mataku mengerdip untuk merespons hangatnya serpihan cahaya matahari yang mengintip dari sela-sela jendela.

Aku melihat selimut harum pewangi bunga telah berserakan di lantai, tidak biasanya merasakan diriku yang gugup untuk menghadapi hari. Tidak ada letupan semangat atau suntikan motivasi yang menyambar saraf-saraf di dalam tubuh ini.

Semuanya datar dan mati.

Aku terduduk. Seketika bagian selangkangku seperti menyetrum lalu menjalar hingga vagina. Sialan, sakit sekali! Aku meremas perut sebab rasa sakitnya telah menjalar sampai sana. Seharusnya ini menjadi hari yang tepat untuk lanjut menulis naskah film pendek yang aku janjikan kepada Ranendra Pratama---sutradara ekstrakulikuler film di sekolah kami yang dikenal cekatan, tegas, galak, dan suka menuntut itu selesai hari ini.

Percuma saja meminta toleransi darinya, kalau sudah janji akan diselesaikan minggu ini, ia tidak akan berhenti memberondong tagihan "Mana naskahnya? Mana janjimu? Kok enggak selesai-selesai?" hingga ia puas melihat semua hasil kerja keras rekannya di depan mata, baru setelah itu ia akan menunjukkan senyum tipis hingga mata beloknya menyipit.

Rasa sakit itu kembali menusuk-nusuk saat aku mencoba untuk beranjak dari ranjang. Aku berjalan mengangkang seperti anak lelaki yang baru saja disunat. Aku tahu karena adikku, Sagara Laksana, bocah yang akan masuk kelas 7 SMP itu waktu disunat saat masih kelas 4 SD. Cara jalanku persis sepertinya, agak membungkuk dan meringis kesakitan. Mungkin inilah karma sebab dahulu, aku sering mengoloknya seperti bayi baru belajar berjalan, kali ini aku malah seperti itu.

Aku pergi ke kamar mandi yang berada di ujung lorong kemudian duduk pada dudukan toilet. Napasku langsung memburu sebab saat ingin kencing rasanya seperti disilet-silet. Bagian selangkangku kembali menyelekit sakit. Tiba saatnya waktu-waktu penyesalan menyambar kulit. Aku menggaruk-garuk kulitku dengan kuku-kuku tajam hingga lecet dan memerah berharap bisa mengelupas sebab rasa jijik akan tubuh sendiri mulai menggandrungi, aku merapatkan pahaku sambil menahan rasa sakit. Kepalaku mendongak sementara mulutku yang sengaja kututup rapat mulai merintih kesakitan.

Akhirnya aku mampu mengeluarkan urin. Walaupun rasa sakitnya membuat ujung kaki hingga tubuhku menggigil ngilu.

Kata Pandu itu tidak menyakitkan. Kata Pandu rasanya enak. Kata Pandu dijamin bikin ketagihan. Sebaliknya, aku malah merasa trauma, jijik, dan kesakitan. Mataku mulai berembun saat menyadari bahwa percakapanku dengan Pandu melalui pesan teks yang awalnya terdengar nakal dan menyenangkan: "Pakai saja stoking kamu." Atau "Jangan hapus riasan wajah kamu, biar aku nikmati nanti malam." Malah membuatku mual dan jengkel.

Pandu Angkasa Senja. Namamu tidak seindah perbuatanmu. Aku kesakitan, sementara kamu berseloroh di depan wajahku---masih bertelanjang dada dengan aroma keringat menyengat dan asap rokok berhambur di cuping hidungku sambil berkata, "Itu cuman seks, Genta. Santai aja!"

Air mata segera meleleh membasahi pipi. Hatiku remuk berkeping-keping diinjak cinta dan diludahi pasangan sendiri.

Tahi!

***

HARI Minggu yang jauh dari kata menyenangkan, berbeda saat aku masih berusia 9 tahun. Saat bangun tidur mendapati Ibu tengah memasak gulai ayam yang aroma karinya merangsang perutku untuk mengambil dengan serakah seporsi nasi hangat, lengkap dengan potongan ayam bagian dada dan paha bawah.

Tindakanku malah mengundang senyum bahagia Ibu sebab tahu putri sulung kesayangannya memakan dengan lahap masakan buatannya, sementara Ayah sedang membangunkan Sagara yang masih terlelap dan ogah membuka mata hingga ia menjanjikan akan jalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan baru bocah itu bangun dengan suara lantang dan penuh semangat yang menyeruduk seisi rumah.

Kali ini hari Minggu menjadi dampak mengerikan dari perbuatan tindak senonoh yang aku dan Pandu lakukan pada hari Sabtu sore. Langit senja yang selalu menyimpan memori indah dan membuat mata terpana, lembayung sore yang memberikan kesan romantis apalagi menikmatinya sambil menyeruput susu hangat (sebab aku tak suka kopi), kini menyimpan kenangan buruk yang mustahil bagiku membuangnya bulat-bulat.

Sebuah kombinasi yang menyenangkan, bukan? Bayangkan saja.

Aku, Genta Renjana, akan selamanya membenci hari Minggu dan senja. Khususnya Pandu Angakasa Senja.

Suara motor butut yang asapnya mengganggu pernapasan segera mencuri perhatianku. Itu dia Ranendra yang dibonceng oleh kameraman kami yang berambut cepak dan berkulit gelap, namanya Fadil. Lagaknya tengil dan memiliki kebiasaan memutar musik lewat pengeras suara saat berkendara yang lama kelamaan membuatku jengkel, lagu-lagu yang diputar biasanya dari Kelompok Penerbang Roket atau band sejenisnya. Bukan, aku bukannya tidak menyukai band dengan aliran itu, hanya saja Fadil ini agak susah kalau diingatkan untuk mengecilkan suara atau sekadar tahu situasi saat memutar lagunya.

Apesnya lagi, Fadil ini adalah salah satu teman dekat pacarku, Pandu. Mau benci dengan Fadil tapi alasannya apa? Kan urusanku dengan Pandu bukan cowok tengil yang mengenakan pakaian serampangan itu.

"Yo, Ren, gimana kabar?"

Aku hanya mengendikkan dagu seraya melempar naskah yang sudah ditagihnya sejak kemarin ke atas meja. Mata Ranendra langsung bersinar-sinar, ia duduk di depanku lalu menyentak Fadil untuk mematikan lagu karena dirinya sedang dalam mode konsentrasi. Ranendra ini tipe yang tidak bisa pecah fokus, tetapi sekalinya berkonsentrasi penuh akan suatu hal, ia akan menyelesaikan hingga beres. Aku mana bisa seperti itu, sebentar saja duduk sudah bosan pasti mencari pelarian membaca buku di beranda rumah atau menghabiskan waktu menggulirkan informasi receh di laman Instagram atau X.

"Pesenin kopi dua, Dil, sama Mpok Dul."

"Dih kok nyuruh-nyuruh gue."

Ranendra langsung mengeplak kepala Fadil. Puas sekali aku melihatnya.

"Kopi lo udah gue bayarin, ini gue lagi baca naskahnya Renjana. Daripada lo belum ada kerjaan, sana pesenin kopi."

Uang nominal 5 ribu dan 2 ribu rupiah dilempar, Ranendra tidak menawarkanku karena tahu aku tidak suka kopi dan sudah ada segelas susu putih hangat setengah habis di depanku. Fadil mengusap kepala sambil berdecak sebal walaupun tubuh jangkungnya tetap beranjak untuk memesan kopi di warung Mpok Dul. Aku terkekeh-kekeh melihat itu, Ranendra menyulutkan sepuntung rokok yang asapnya ia semburkan jauh-jauh dari wajahku. Sopan sekali, sekalipun Ranendra ini perokok aktif, ia masih menghargai rekan-rekannya yang hanya perokok pasif.

Fadil kembali membawa dua cup plastik kopi hitam dan kembalian seribu koin yang ditaruh di depan Ranendra. Selagi lelaki itu masih memeriksa dan mencoret-coret naskah, aku membatin Pandu sedang melakukan apa hari ini. Apakah ia merasa bersalah telah menodaiku atau menjalani hidup seperti tidak terjadi apa-apa?

Suara Ranendra yang tinggi kembali terdengar saat menegur Fadil yang cengengesan mengambil rokoknya tanpa izin. Tak ambil pusing, Ranendra kembali membaca naskahku walau mulutnya tak berhenti menggremeng. Sesekali ia menyisir rambut lurus klimisnya dengan tangan, kemudian berdehem saat ingin melontarkan pertanyaan.

"Ren, jujur aku suka banget sama naskah kamu. Secara substansi aku udah sepakat karena menurutku sejalan dengan konsep dan tema yang kita sepakati di awal, tapi..."

Satu-satunya teman laki-laki yang sangat sopan memperlakukanku sebagai wanita adalah Ranendra. Tutur katanya halus, memang dia sedikit ketus kalau sedang menuntut apalagi saat aku tidak menepati deadline, selebihnya ia sopan sekali. Bahkan satu-satunya orang yang memanggilku Renjana di sekolah hanya dia. Renjana adalah panggilanku di rumah.

Ranendra kemudian mendikte apa saja yang perlu dikoreksi. Kebanyakan teknis seperti dialog yang harus dibuat lebih efisien, penjabaran lokasi dan deskripsi yang tidak perlu bertele-tele karena baginya itu akan seperti cerita pendek, dan paling penting adalah menjaga agar tokoh utama di film pendek kami tetap pada idealismenya untuk memperjuangkan bahwa perempuan itu bukan hanya digunakan sebagai bahan objetifikasi semata.

"Film ini punya pesan mendalam, Ren. Aku percaya banget sekolah pasti dukung, mungkin kalau beruntung disokong juga sama Komnas Perempuan atau aktivis perempuan dan media-media yang memang sangar memperjuangkan suara-suara perempuan. Aku yakin, apalagi kamu yang nulis." Begitu kata Ranendra yang berjanji akan merealisasikan film ini kepadaku yang menurutnya juga aku sudah susah payah menuliskan naskahnya.

"Perjuangan kita, Ran. Bukan cuman aku aja."

"Tuh dengerin, Ran. Kita, bukan Genta doang!"

Ranendra menaruh puntung rokoknya lalu mendelik ke arah Fadil, "Emang banyak bacot lo jadi orang!" Ranendra kembali pada setelan pabrik saat berhadapan dengan Fadil. Aku tertawa renyah melihat kelakuan mereka.

Setidaknya pujian Ranendra dan kegiatan kami ini dapat mengikis rasa benciku terhadap tubuh sendiri. Sungguh, selangkangku kembali terasa sakit. Aku kembali merasa jijik. Ingin sekali aku mengoyak kulit ini menggunakan garpu, menyiramnya dengan air panas agar aku bisa lega.

"Renjana, kamu kenapa?" tanya Ranedra yang keheranan melihatku seperti orang menggigil kesakitan.

"Oh, gapapa, kayaknya sakit mau mens aja." Lelaki itu hanya mengangguk paham kemudian beranjak dari bangku panjang.

"Mau aku belikan bubur ayam?" Aku menggelengkan kepala, jangankan untuk makan, tubuh ini bahkan seperti menolak disentuh dengan tangan sendiri.

"Nah, beliin buat gue aja, Ran."

"Bangsat, lo!" seru Ranendra, "Mpok, bubur ayamnya tiga ya, makan sini." Padahal aku sudah bilang tidak, ya tapi begitulah Ranendra tidak suka melihat kawannya kelaparan.

***

"GENTA, sayang, kamu ke mana aja? Aku rindu." Itu suara Pandu dari seberang sana. Suaranya yang manja dan memohon, tetapi aku tahu ia rindu bukan karena kehilangan melainkan rindu karena ingin menggodaku untuk meminta jatahnya lagi.

Mendengar suaranya saja semakin membuatku muak. Aku terpaksa mengangkat teleponnya sebab kalau tidak, ia akan terus meneror atau buruknya lagi meminta Fadil sebagai pembawa pesan yang menegurku untuk mengangkat telepon Pandu dan berlarut dalam sandiwara kacangan yang sungguh membuatku muak.

"Kamu kok diem aja, sih, sayang. Nanti kalau diem terus, aku kesepian."

Ingin sekali aku robek mulut manisnya itu, mendengar suaranya saja membuat tanganku bergetar hebat. Tangisku ingin pecah saat merasakan bagian selangkangan hingga vagina yang kembali sakit, kugigit bagian bawah bibirku agar Fadil dan Ranendra yang sedang bercengkerama di belakang sana---masih di Warung Mpok Dul, tidak mendengar rekannya sedang menahan tangis karena kesakitan.

Pandu itu anak baik, pakaiannya juga rapi. Biasanya ia menyisir rambut basahnya ke arah belakang, mengenakan rompi sebagai luaran seragam sekolah, kumisnya memang tumbuh lebat dengan cepat tetapi ia rajin mencukurnya, dan tubuhnya menguarkan harum cendana.

Setidaknya konsep ini yang masih terekam jelas di dalam otakku. Kami telah berpacaran sejak duduk di bangku SMP kelas 8. Kali ini di kelas XII, kami masih bersama sudah banyak pula kenangan indah yang dibangun selama itu. Namun entah mengapa, Pandu dan aku malah melakukan itu. Aku menatap sebuah pohon glodokan tiang di depanku yang baris berjejer hingga menghiasi gerbang sekolah. Dahan dan dedaunannya masih agak basah bekas diguyur oleh hujan semalaman. Pohon ini menjadi salah satu objek bagi tokoh utama dalam film pendek garapanku saat dirinya berlari kemudian bersandar di batangnya.

Berlari dari apa? Berlari dari rundungan orang-orang yang masih memperlakukannya seperti barang atau hewan. Pandu pun tidak ada bedanya, merasa bersalah pun tidak. Ia malah terus menggodaku lagi dan lagi. Aku mendekatkan diriku pada salah satu pohon itu sambil menaruh dahiku pada batangnya yang lembap. Bersandar pada makhluk hidup yang bisu rasanya jauh lebih baik ketimbang mereka yang berakal tetapi melakukan tindakan bejat.

"Sayang aku ke sana, ya? Kamu masih di Warung Mpok Dul, kan?" kata Pandu nada suaranya agak panik.

Sial, aku tidak sadar ternyata aku tersedu-sedu. Belum sempat aku melarangnya kemari, telepon telah ditutup. Disusul pula Ranendra yang memanggilku karena bubur pesanan kami telah tiba, buru-buru aku mengusap air mata sambil menarik napas panjang. Semoga saja mereka tidak mendapatiku yang menangis sebab tidak mungkin aku menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.

***

SORE itu di hari Sabtu, Pandu berkata bahwa orang tuanya sedang pergi ke luar kota. Ia di rumah hanya bersama Mbok Har, pembantunya yang sudah ikut sejak Pandu masih balita. Kata Pandu, menjadi anak semata wayang ada enak dan tidak enaknya. Ia menjelaskan dengan runut dan gerak tangan yang teratur saat menceritakan bagian enaknya antara lain mendapatkan apa saja yang diinginkan dengan mudah, tidak perlu repot bertengkar dengan saudara sendiri, mungkin saja warisan yang utuh. Sampailah di bagian tidak enaknya, ia menyesap secangkir teh yang hangat itu sambil mendekatkan posisi duduknya ke arahku. Bagian tidak enaknya adalah ia merasa kesepian, kurang perhatian karena kedua orang tuanya kerap pergi dalam jangka waktu lama, dan Pandu justru merasa iri dengan orang-orang yang bisa bertengkar atau berdebat dengan saudaranya sendiri, maka dari itu ketika dirinya mendapatkan hatiku, Pandu itu selalu menunjukkan sisi manjanya tanpa kenal waktu. Maklum ia butuh atensi dan kasih sayang.

Aku menyentil hidungnya yang mancung hingga ia meng-aduh kesakitan. Kini giliranku yang menyesap teh buatan Mbok Har, aku menimpali bahwa memiliki saudara kandung itu tidak buruk-buruk amat. Aku dan Sagara misalnya, kami memang kerap bertengkar untuk memperebutkan sesuatu. Misalnya aku yang ingin menonton acara gelar wicara di televisi sementara Sagara merengek ingin diputarkan serial kartun Upin & Ipin hingga akhirnya kami berkelahi sampai Ibu yang harus melerai. Jujur saja, aku malah rindu melakukan itu sebab saat Sagara tumbuh remaja, ia mulai asyik sendiri bermain futsal dan sibuk dengan teman-teman sebayanya.

Percakapan kami terdengar biasa, namun Pandu sudah mulai memainkan ujung rambut hitamku yang dibiarkan terurai. Katanya rambutku itu berkilau seperti surai seekor kuda yang berlarian di permadani hijau---surai seekor kuda yang lebat dan hitam. Jantungku menggedor-gedor dada, manis sekali kata-katanya, tetapi tak berhenti sampai di sana, ia kemudian mengelus lembut pipiku yang tirus. Katanya perona pipi pada wajahku membuatnya seindah lembayung pada surya yang tenggelam, "Bahkan senja itu iri dengan kecantikanmu." Begitu katanya yang membuat pipiku semakin merah padam. Kini giliran mataku yang dipuji, menurut Pandu mataku yang agak sipit mirip seperti bentuk perahu kayu yang berlayar di atas air jernih tak beriak, lalu bagian kesukaannya bola mataku karena menurutnya, "Aku lebih suka menatap pantulan senja dari bola matamu karena keindahannya menjadi ganda." Aku tersipu.

Napas ini semakin memburu saat jarinya mulai mengusap bibir tipisku. Katanya bibirku lembap kemudian ia bertanya apakah aku sering mengulum bibirku sendiri. Aku menjawab dengan anggukkan kepala. Kata-katanya membuatku larut dalam rayuan manis bak pujangga lawas. Ia menyuruhku memejamkan mata, aku turuti, kemudian bibir kami saling bersua. Lembut dan hati-hati. Aku bisa merasakan napas dan mulutnya yang harum seperti permen anggur. Desir aliran darah mulai terdengar---berenang cepat dari ujung jemari hingga kepala, ada sensasi menyetrum yang membuat perutku mulas. Pandu kemudian memanduku untuk menanggalkan kemejanya, jari jemariku bergetar, kancing demi kancing kubuka sementara senja semakin genit melihat kami dari langit sana. Dadaku seperti hendak meletus. Kini aku benar-benar terlarut dalam keinginannya untuk melampiaskan fantasi yang selama ini terpendam di dalam benak dan pikiran.

Seks.

***

PANDU mengajakku berbicara empat mata jauh dari pandangan Fadil dan Ranendra. Ia bertanya dengan nada agak menekan, sebenarnya aku itu kenapa? Mengapa tiba-tiba diam dan membiarkannya digantung tanpa jawaban. Aku hanya mampu menatapnya sinis dan penuh amarah, bagaimana bisa orang yang selama ini aku sayang masih memikirkan dirinya sendiri padahal aku yang sedang menahan rasa sakit sebab ditolak oleh tubuhku sendiri yang makin merasa jijik.

"Genta, aku salah di mana?"

Aku melongo. Pandu ini pura-pura bodoh atau memang bodoh sungguhan? Bisa-bisanya ia bertanya salah di mana. Aku langsung menepis tangannya dengan kasar saat mencoba menyentuhku. Jangankan dia, aku sendiri pun tak sudi menyentuh tubuhku yang berlumuran sampah dan noda bekas gairah bejat lelaki yang kusebut pacar itu.

"Kamu jangan diemin aku gini dong, Genta. Ngomong aja aku salah di mana?"

Rasanya aku ingin menonjok bibirnya yang tak bertulang itu. Masih saja ia bertanya salah di mana padahal saat berjalan di sebelahnya, Pandu melihat aku meringis dan menahan agar tidak mengangkang ketika berjalan. Dan ia masih berani-beraninya mengatakan kalau salahnya di mana? Gila!

"Pandu, aku sakit, vaginaku sakit, tubuhku sakit, aku sakit, kalau kencing sakit, kalau jalan sakit, kamu masih nanya aku kenapa?" Aku mendelik sebelum ia menimpali apa yang aku rasakan.

"Bukannya ini consent, ya? Kamu juga mau, kan? Maksudku kenapa kamu malah nyalahin aku, Genta?"

Jantungku berhenti sedetik. Rasanya aku ingin berteriak, kelopak mataku terasa panas.

"Oh, gini ya, Pandu, kamu tuh aslinya begini? Bahkan saat aku udah ngomong apa yang aku rasain, keluhanku setelah kita ngewe, kamu masih mikirin diri kamu sendiri dan enggak minta maaf sama sekali. Ngewe itu enggak enak, Ndu, ngewe itu ngerusak aku!"

Air mata yang tak terbendung akhirnya membanjiri pipiku yang sudah panas sejak tadi. Ia mencoba menyentuh bahuku namun aku tepis lagi dengan kasar. Sudah aku bilang, aku tidak suka disentuh apalagi dengan orang yang menjanjikan sesuatu yang palsu demi melancarkan fantasinya yang tidak seberapa itu.

"Oke, oke, Genta aku minta maaf. Aku salah, aku janji enggak begitu lagi sama kamu." Aku berteriak frutrasi lalu berjongkok dan menangis tersedu-sedu, bahkan untuk meminta maaf harus diminta terlebih dahulu, bahkan sorot matanya tidak menunjukkan rasa penyesalan. Pandu melakukan itu hanya karena aku yang memintanya.

"Pergi, Pandu pergi atau aku lapor polisi!"

"Maksudnya? Genta, ini aku, pacar kamu, aku mau minta maaf." Aku mengangkat wajahku yang sudah basah karena keringat dan air mata.

"Setelah aku suruh! Sakit Pandu, ini sakit. Pergi sana!"

"Renjana, kamu gapapa?" Pemilik suara itu Ranendra, dia sudah berdiri bersama Fadil, suara pertengkaran kami menarik perhatian mereka.

Kemudian Pandu menjelaskan secara diplomatis bahwa ini semua hanya kesalahpahaman. Aku masih belum sanggup angkat suara karena tersangkut di ujung kerongkongan dan merasa jijik dengan tubuh sendiri. Selangkanganku sakit ketika berjongkok dan menangis, rasanya seperti disilet-silet saat kencing. Ranendra masih belum puas dengan penjelasan Pandu, lelaki itu mendekati kami tetapi Pandu mencoba semaksimal mungkin agar ia tidak memangkas jarak yang awalnya memisahkan. Aku menengok ke arah Ranendra berharap ia mengerti bahwa diriku butuh bantuan hanya lewat tatapan.

"Enggak bisa, Ndu, gue ke situ, ya." Pandu semakin panik dan menahan Ranendra agar tidak mendekatiku.

Ketiganya tengah berdebat entah harus menolongku atau membiarkan Pandu yang mengurus semuanya. Hingga akhirnya Fadil dan Ranendra memutuskan untuk melangkah mundur, Pandu kembali mendekatiku lalu berjongkok seraya berbisik. "Ini kan cuman seks, Genta. Kenapa sih, sampai segitunya?"

Amarahku sudah tak sanggup diredam lagi. Kulihat sebuah batu bata di samping Pandu, aku meraihnya dengan mantap kemudian memukul ke arah kepalanya hingga lelaki itu tersungkur tak sadarkan diri hingga darah segar mengalir membasahi dahinya. Aku terduduk dengan tangan bergetar, suara pekikan Fadil dan Ranendra menyertai lalu menghampiri Pandu yang tak sadarkan diri. Aku menatap Ranendra dengan mata terbelalak lebar, rasa takut mulai mendera benakku.

Apakah ia mati? Apa yang baru saja aku lakukan? Apakah aku membunuh seseorang?

***

AKU dimintai keterangan oleh polisi atas laporan orang tua Pandu yang menuntutku sebab kejadian pada siang hari itu. Pertanyaannya berbelit dan berputar-putar, semua mengarah pada misteri mengapa aku melakukan tindakan itu. Kini aku masih berstatus saksi, tetapi suara raungan tangis dari Ibu di ruang tunggu dan permohonan agar diberi keringanan yang bisa kutebak di hadapan orang tua Pandu---membuat hatiku hancur lebur. Tangisnya membuatku merasa bersalah, sudah menjadi tersangka padahal belum ditetapkan demikian. Petugas polisi yang sedang mengetik pada mesin tik terdiam dan membiarkanku pecah dalam tangis.

"Gimana kabar Pandu, Pak?" Aku memberanikan diri bertanya dengan suara parau, bahkan dalam kondisi seperti ini aku masih mengkhawatirkan nasib anak itu.

"Sudah siuman, dia mengalami geger otak ringan dan syok pada kepalanya." Begitu jawabannya, singkat dan dingin. Aku ingin sekali bertemu Ibu dan meminta maaf kepadanya, tetapi aku tidak memiliki bukti kuat untuk melawan balik tuntutan dari orang tua Pandu.

Ibu masih memohon-mohon agar diberi keringanan, jika bisa biar dirinya saja yang dipenjara sementara aku dibiarkan bebas. Tangisku semakin pecah.

Pada akhirnya korban akan selalu menjadi korban, wanita akan selalu menemukan jalan buntu dalam membela keadilannya. Lantas, aku bisa apa selain meng-iyakan keinginan Pandu pada hari Sabtu sore itu. Aku tidak bisa melawan, aku terpaksa menyetujui ia menodai tubuhku sebab tahu, aku hanya percaya pada bujuk rayunya bukan dampak yang tersingkap setelahnya. Ranendra, apakah ia membenciku karena harus mundur dari jajaran kru film yang sedang kami garap? Aku harap dia tidak marah padaku sebab hanya dirinya yang mengerti dan bisa memperlakukanku sebagaimana mestinya.

Entah bagaimana hukum akan membawaku. Aku selamanya akan dilabel sebagai tersangka sementara orang-orang tidak tahu betapa sakitnya dampak yang diberikan oleh perbuatan tidak senonoh yang dipertegas dengan kata-kata, "Itu cuman seks, Genta."

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun