Eksodus Pulang Kampung dari Kota menjadi trend dengan Istilah Mudik, terminal, Bandara maupun Pelabuhan dijejali oleh para Penumpang yang turun dari perjalanan Jauh dari Kota menuju Desa, dan kemudian akan kembali dengan Trend Arus Balik. Akan ada pula pembagian Zakat, baik Fitrah maupun Mal. Semua berjibaku dalam momentum menjelang Idul Fitri diakhir bulan Ramadhan. Bagi Islam, momentum ini adalah momentum Pencitraan, Momentum yang ‘ter-baru-kan’, Momentum dimana ‘Kata Maaf’ berseliweran dimana-mana diantara kaum kerabat, sahabat dan sanak keluarga.
Sejak tahun 2000, semenjak Penulis menempuh kuliah di ‘Kota Daeng’ (Makassar) dari tanah Babuju (Bima) hingga tahun 2008, lalu berlanjut ditahun 2012 (kembali) In The kos di ‘Tanah Sasak’ hingga saat ini, Momentum menjelang Idul Fitri, Sama saja seperti tahun-tahun yang lalu, tidak jauh beda, jalanan, pasar, masjid, musholah, rumah-rumah pejabat, rumah-rumah rakyat biasa, public space, taman-taman kota, mercon, hingga reunian yang dikenal BukBer (Buka Bersama; dalam istilah di Bulan Ramadhan), berlaku begitu saja, mengalir dan mencair mengikuti trend masing-masing.
Di Kota Kelahiran Penulis, Bima-NTB, Lebaran tahun ini masih banyak menyisakan luka, menyisakkan maaf yang masih dipertanyakan. Ramadhan kali ini pun Penulis lebih banyak ‘menyisir’ nurani, membela rasa. Karenasekelumit ‘tanya’ dibalik keceriaan ‘Ngebuburit’ para Generasi yang setiap sore menyisir lekukan jalanan. Menyisakan sebentuk Maaf ‘Tanpa Makna’, sebab ‘Kata Maaf’ menjadi Kata yang tak bertuah saat ini, tidak punya greget, tidak menyeruak dan tidak terselami dengan Indah. Sebab, setiap kata ‘Maaf’ yang terlontar serta merta ‘berlabel’ tanya dalam jiwa, Seberapa kuatkah ‘Kata Maaf’ ini menyisir sadar dan menyelusuri Qalbu kita semua, setelah Ramadhan dan Lebaran ini berlalu…???
Sebab, ‘Kata Maaf’ bagi Penulis adalah beban tersendiri, menjaga dan memelihara ‘Maaf’ yang terlontar oleh mulut, yang terucap oleh lidah hingga menjelang Ramadhan yang akan datang kembali menjemput, cukuplah berat. Lebih-lebih, ketika ‘Maaf Lahir & Bathin’ ini menyeruak sembari berjabat salam. Beban terberat adalah menjaga dan memeliharanya hingga tak ‘tercederai dan tercerai berai.
Me-Review ‘Kata Maaf’ di Ramadhan yang lalu, juga rasanya tidak ber-Makna hingga di ramadhan kemudian saat ini. Banyak kasus mengiris hati, banyak Tragedi mengguncang Nurani, banyak kisah yang menyeret air mata, banyak cerita yang meninggalkan Luka, banyak Peristiwa di Tanah ini yang menyisakan ‘Bencana’. Jika boleh Penulis Katakan, tidak usah ber-Ucap ‘Maaf’ lebih-lebih menjabat rasa bila itu tidak mampu dijaga dan dipelihara. Khilaf dan Do’if memang kodrat kita sebagai manusia, namun bila kita sebagai manusia mampu merefleksi setiap hal yang merugikan diri kita dan orang lain, disadari secara cepat dan tepat, Insyaallah Khilaf dan doif itu bisa diminimalisir sedemikian kecil dengan hanya sepenggal kata Maaf itu sesungguhnya.
Sebagai Mahluk yang dibekali dengan Akal dan Budi, tentu sikap-sikap dan prilaku amoral, apatis, apriori serta an sich itu harusnya bisa dengan mudah dicegah dengan pikiran rasional yang masing-masing kita miliki. Tak ada kata Mustahil bila hati dan pikiran kita menyatu dalam kemauan yang baik. Sebab, ber-arti dan ber-makna-nya diri seorang manusia apabila dapat bermanfaat bagi manusia yang lain, minimal tidak merugikan diri sendiri, lebih-lebih merugikan banyak orang lain.
Di Dana Sanggili ini, banyak hal yang perlu kita sadari bersama, banyak hal yang perlu kita re-view, kita sadari dan kita renungkan kembali untuk masa mendatang. ‘Kata Maaf’ yang terucap pada momentum kali ini haruslah memiliki Makna dan Arti untuk diri sendiri maupun orang lain hingga Ramadhan kembali menjemput kita ditahun kemudian, Insyaallah… Allahmumma Amin
Bukankah Dana Mbojo (Bima; red) ini tanah sederhana, tanah bermukimnya para manusia tegar, manusia-manusia sabar dan tabah? Bukankah di Tanah Amu Karama ini, orang-orang yang mendiami Dana Babuju adalah dou sabua, yang terlahir dari peke satako ro hi’I sanggi’i (Syair Dou Labo dana; Enka). Namun, memang semua itu tidak bisa hanya sekedar terkatakan dalam lisan maupun tertulis dalam syair. Penulis pun menyadari bahwa tugas ini adalah tugas Dou Labo Dana Sarepa (Manusia Seuntuhnya) untuk selalu menggugah, selalu mengingatkan, selalu menyadarkan dan selalu mencerahkan.
‘Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin’, Insyaallah Penulis pegang teguh dengan harapan kedepan tercipta para Generasi ‘Sandaka Dana ro Sandaka Rawi’. Penulis hanya berusaha menggugah Qalbu kita masing-masing untuk selalu memaknai Momentum Idul Fitri, Momentum di detik-detik akhir menjelang Hari nan suci bagi umat Islam diseluruh Negeri, sebagai momentum ‘perenungan’ social, perenungan Kemanusiaan dan perenungan mendalam atas segala hal yang lalu sebagai modal setahun kedepan menjelang Ramadhan yang baru, Insyaallah.
Diakhir tulisan ini, dengan sepenuh hati dan jiwa, Penulis Menucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriah, kepada para pembaca, Mohon Maaf Lahir dan Bathin, Minal Aidzin Wal Faidzin. Samena na ncara mada, ta kangampu ncore wea ta.
Semoga momentum Idul Fitri kali ini haruslah penuh makna, semoga Takbir kita kali ini adalah Takbir Qalbu, Takbir bagi seluruh Jiwa dan Takbir untuk kebaikan dan kedamaian kedepan. “Allah tak akan mengubah Nasib suatu Kaum, kecuali oleh kaum itu sendiri” (Ar Rad; 11). Insyallah, Filsabililhaq, Fastabikhul Khairat Kasiraa..!!!
Mari Menantang Diri untuk menjadi ‘Generasi Sandaka Eli, Sandaka Rawi hingga kita semua mampu menjadi Manusia Sandaka Dana’ ….!!!!