'Aku tahu harus segera berbuat sesuatu untuk menghangatkan kembali tubuh Emily yang mulai kehilangan hangatnya ini. Aku tak boleh panik.
Walau aku tak tahu arti dari perasaanku ini, bahkan sejujurnya aku tak mengenalnya secara pribadi, kecuali, yah, pernah dua kali melihat bagian-bagian pribadinya di luar kehendak dan kuasaku, yang kadang masih menguasai diriku, menggiringku untuk memuaskan sesuatu yang kelelakianku inginkan.
Tapi kali ini berbeda. Aku hanya ingin dia selamat. Maka kubaringkan dia di lantai batu gua yang dingin dan gelap itu. Kubuka gaunnya yang basah kuyup, untuk sekali lagi menemui pemandangan indah yang sudah pernah kulihat namun takkan pernah bosan untuk kupandangi lagi dan lagi. Tapi kali ini aku tak punya nafsu birahi. Aku hanya ingin tubuh wanita muda ini hangat lagi dan tak ingin sesuatu yang buruk menimpanya.
Kubuka juga jubahku agar kehangatan tubuhku yang kurus kering bisa sedikit kubagi pada tubuhnya yang jauh lebih berisi namun tetap ramping di pinggul, perut, lengan dan kakinya. Ia kudekap erat dalam lenganku yang kurus dan penuh bekas luka namun cukup kuat. Dan karena ia kelihatannya kesulitan bernapas dengan bibir membiru, kuletakkan bibirku pada bibirnya, kuhembuskan napasku yang kurasa walaupun baunya tak sedap, namun paling tidak bisa memberi sedikit oksigen yang belum kumasukkan dalam paru-paruku sendiri.
Emily, kau harus tetap hidup!
Kudekap dan kugosokkan kedua tanganku pada tubuhnya yang panas walaupun aku tahu ia merasa kedinginan. Aku tak bermaksud apa-apa dan melakukannya bukan karena keinginan seperti waktu-waktu itu.
Dan kelihatannya aku berhasil.
"Ocean?" Emily mulai sadar, matanya terbuka dan tertutup beberapa kali, namun belum sepenuhnya terjaga dan awas seperti sediakala. Ia bahkan tak tahu bahwa dirinya tak memakai selembar benangpun, tak merasa malu atau terkejut, demikian pula aku.
"Aku, aku.." aku sudah begitu lama tak bicara pada siapapun, termasuk Si Tua. "Aku bukan.. Ocean. Aku, aku.." ucapku ragu dan malu pada perbendaharaan kataku yang sedikit dan tersendat-sendat.
"Kau Ocean. Aku tahu kau akan datang menyelamatkanku."
Kurasa ia mengenaliku sebagai Ocean, ya, tak salah juga 'sih, karena aku memang begitu mirip dengan foto-foto orang-orang yang kubenci itu. Yang sering ditunjukkan SI Tua hingga tertanam dalam ingatanku. Dan Emily tak seratus persen salah bila mengiraku dan memanggilku sebagai Ocean.
Aku, terus terang saja, sangat marah dan ingin sekali menampar gadis itu karena berhasil membangkitkan api kecemburuanku. Tapi ia betul-betul mengucapkan itu di luar kesadaran yang sesungguhnya.
"Aku bukan..."
"Sudah, jangan ucapkan lagi. Terima kasih, Ocean. Aku senang kau menjemputku." ucap Emily yang masih belum seratus persen sadar, seperti meracau. Ia malah menarik wajahku dan menciumku dalam-dalam.
Perasaan yang bukan hanya nafsu itu pun bangkit kembali, menyambar-nyambar sama seperti petir di langit yang masih memamerkan kuasa dan gelegarnya.
Dan aku tak tahu mengapa, aku membalas ciumannya, singkat saja. Tapi aku tak berani lagi meraba atau menyentuh tubuhnya karena takut sekali bila kelelakianku bangkit lagi.
Aku tak ingin terjadi sesuatu yang 'buruk' pada Emily, setidaknya, tidak hari ini.
"Pakai jubah ini. Kuantar kau pulang begitu hujan reda." ucapku singkat.
"Ocean, kau tak lagi menyukaiku?" Emily masih setengah meracau saat hujan reda dan aku menggendongnya keluar dari gua dan hutan yang basah dan gelap menuju ke puri.'