"Maksud Doc Lilian?"
Tiba-tiba petir menggelegar, cahayanya berkilat jelas dari jendela-jendela mercusuar yang berada tinggi di atas tangga spiral menuju puncak menara.
"Hannah masih menyembunyikan bayi itu hingga saat ini. Ia memiliki rencananya sendiri, entah sejalan puisi Zeus atau tidak.
Aku yakin sekali bayi itu masih hidup di suatu tempat di pulau ini.
Kuburan kosong tersedia di pemakaman Vagano itu sengaja digali atas titah Zeus sebelum ia mati. Karena ia begitu menginginkan kematian bayi itu. Tapi ia tidak bisa melakukannya sendiri, karena ia ayah kandungnya.
Seorang ayah, betapapun bencinya, takkan bisa membunuh, kecuali bila ia dalam pengaruh jahat atau kutukan yang berakar dalam dirinya.
Mungkin itulah tujuannya menempa pedang terkutuk.
Ia berharap suatu hari nanti ada yang berhasil mendapatkan pedang itu dan meraihnya untuk membunuh kembar ketiga."
Emily bergidik. Memikirkan ada yang sudah terbunuh saja ia sudah yakin betul ada hal yang sangat tidak beres.
"Aku harus pulang sekarang, Doc Lilian. Aku harus menyuruh Ocean dan Sky waspada serta menemukan adik bungsu mereka itu! Dan tentu juga pedangnya sebelum ada yang terbunuh lagi! Dan juga tentunya semua rencana Hannah, baik atau jahatkah dia, harus segera kita ketahui!"
Emily berdiri dan segera pergi. "Terima kasih atas jamuan teh hangatnya, Dokter. Aku akan segera kembali ke puri!"
"Eh, tung, tunggu!" Doc Lilian berdiri, berusaha menahan Emily. Tapi gadis itu sudah beranjak pergi dan membuka pintu keluar, berjalan setengah berlari menembus hujan badai menuju hutan.
"Aduh, bagaimana ini? Aku tak bisa menyusulnya karena aku sudah begitu lemah dan tua!" Doc Lilian hanya bisa pasrah memandang Emily yang semakin jauh mengecil dari pandangan, tertutup tirai hujan dan deru angin sementara langit dan laut masih bergelora hebat, seakan memberi pertanda hal-hal yang lebih buruk akan segera terjadi.
(point-of-view seorang kembar Vagano tak dikenal:)
'Malam itu aku mendengar deru hujan dari ventilasi Lorong Bawah Tanah, dan kadang lumpur dari dunia atas ikut turun dan menggenangi lantai batu berlumut hingga becek dan dingin.
Entah kenapa, malam itu aku memikirkan Emily. Aku harus mengintainya, melihat bagaimana keadaannya. Huh, mengapa aku begini perduli? Setelah dua kali melihatnya tanpa sehelai benangpun, aku sungguh merasa ada sesuatu yang berbeda antara kami, walau dari dia aku tak yakin benar. Ia belum tahu aku sama sekali! Kurasa ia tentu saja akan lebih memilih Ocean! Bagaimanapun, aku adalah bayang-bayang saja!
Sial betul, walaupun sedang hujan deras bercampur badai, malam ini penjagaan puri di dalam dan di luar masih super ketat. Aku tak tahu ada apa, jadi aku harus ekstra hati-hati dan selalu bersatu dengan bayang-bayang. Itu adalah keahlianku.
Kucapai kamar Emily lewat balkon dan seperti biasa, aku mengintip dulu agar yakin keadaan aman. Sedikit aneh, jendela balkon dalam keadaan terbuka dan tirainya melambai-lambai tertiup angin badai.
Ia berbaring dalam selimut di tempat tidur.
Aku segera masuk dan menyingkapkannya.
Ternyata bukan Emily. Ia tak ada di sini.
Kemana Emily pergi? Jangan-jangan...'