Setidaknya sudah tak semengerikan semula...
"Sekarang saatnya! Go go go!" Kenneth dan 17 orang di bawah komandonya perlahan-lahan bergerak bersama menuju titik destinasi sesuai rencana. Orang terakhir tak membawa jeriken melainkan senjata, berjaga-jaga seandainya tetiba muncul pengekor tak diundang.
Sementara itu Leon sudah sedikit lama berada di lokasi. Menemukan bahwa hanya dirinya sendiri dari rombongan yang berhasil tiba di sana, sedikit banyak timbul kekhawatiran dalam dirinya.
Ke mana Nona Rani pergi, mengapa ia belum juga tiba di sini? Apakah ia mengalami kesulitan di jalan? Haruskah aku coba untuk kembali ke jalur yang ia tempuh dan menjemputnya?
Walau galau, pemuda tanggung itu masih terus berusaha berkonsentrasi memantau lokasi. Dalam kondisi minim cahaya di tengah malam berpenerangan bulan purnama, pompa bensin itu tampaknya tak seaman yang diduga. Leon mengeluarkan sebuah perlengkapan khusus yang ia miliki, sebuah teropong khusus, night vision goggles. Ada pergerakan-pergerakan mencurigakan di sana. Beberapa sosok mondar-mandir bersenjata berjalan bolak-balik bagaikan tentara-tentara sedang menjaga benteng.
Astaga. Apakah lokasi itu telah disabotase oleh manusia-manusia pengungsi seperti kami? Para survivor dari kota ini?
***
Maharani sedang berjuang seorang diri mencakar jalannya keluar dari kompleks gereja. Setelah meninggalkan pistol beserta semua amunisinya di sana bersama John, ia betul-betul berada dalam keadaan paling rentan dan mungkin saja bahaya tak terduga.
Apakah keputusanku tadi tak terlalu tergesa-gesa? Alangkah bodohnya tindakanku ini, berani berlagak menjadi pahlawan! Rani mulai gamang. Apalagi karena ia ternyata tak semulus itu juga menjalani rute yang semula dianggapnya aman. Jalur pejalan kaki yang sepi dan tenang di sekitar kompleks gereja ternyata tak seaman yang dikira. Betul kata John, lebih baik berlindung saja dan hanya mencari suplai jika perlu daripada nekat keluar mengungsi ke tempat lain. Menjaga diri sendiri saja sangat sulit, apalagi puluhan orang sekaligus!
"Siapa di sana? Masih hidup? Siapapun... Tolong akuuu..."
Astaga. Oh, tidak. Ini lagi-lagi harus kuhadapi. Tanpa senjata api?
Suara pria tua kering serak itu begitu memelas sekaligus mendirikan bulu roma disertai gemerisik rerumputan kering. Sebuah sosok keluar dari balik deretan pepohonan. Merayap di tanah jalan setapak bagaikan seekor reptil, ia semakin dekat dan dekat menuju si wanita muda. Rani tahu ia harus bersembunyi di balik sebatang pohon terdekat. Tidak mungkin survivor. Ia pasti sudah menjadi victim, bahkan zombie sempurna! Keraguan mulai merajai dirinya begitu teringat dalam perjalanan tadi Kenneth pun sempat 'salah tembak' karena terlalu gegabah mengambil keputusan.
"Ada tak apa-apa, Tuan?" Rani memberanikan diri.
Sosok itu sepertinya sadar jika sang pendatang baru itu merespon panggilannya. "Aaaah, Nona! Just on time! You have to help me! Aku, aku, aku sebenarnya.... lapar, haus dan sesak sekali!"
Rani sudah beberapa kali mendengar kata serupa. Langkahnya terhenti. Tangannya segera merogoh dalam-dalam kedua saku jaketnya.
"Beri aku darah segarmu! Aku belum mau mati!" Pria itu merayap lebih cepat, semakin cepat, dalam beberapa detik lagi ia akan tiba di depan kaki Rani!
Rani tak bisa lagi menunda. Dua vial di tangannya segera ia tancapkan ke tangan-tangan pria tua yang terulur itu.
"Maafkan aku, Tuan! Demi Tuhan, aku terpaksa melakukan semua ini!"
"Aaaah... apa ini? Aku, aku, aku,..." sosok itu seketika mengejang bagai tersengat sesuatu yang melumpuhkan, lalu perlahan sekali terkulai lemah ke tanah. Bagaikan balon kempis yang nyaris memeluk kedua kaki Rani, zombie itu sekali lagi mengangkat kepala dan sebelah tangannya ke arah sang wanita muda.
"Apapun ini, terima... kasih... Nona!"