"Atau kau akan menyingkirkanku? Kau mulai berani mengancamku? Oh, coba saja. For your information, rombongan pengungsi yang kubawa sesungguhnya bukan orang-orang biasa. Mereka terlihat seperti lansia dan anak-anak yatim piatu pada umumnya, bukan? Namun sesungguhnya mereka adalah pengikutku yang setia dan terlatih. Para mantan jemaat fanatik yang juga telah muak pada kepemimpinan Rev. James yang konvensional dan kaku."
"Maksudmu?"
"Mereka siap untuk melakukan apa saja. Bahkan sebagian besar sudah kulatih menggunakan senjata. Jadi, apa yang dapat kau perbuat sekarang? Mengusir kami dari sini?"
Mendengar semua hal mengejutkan itu, Orion semakin merasa harus segera membuka rahasia ini! Sayangnya hingga kini Rani belum juga kembali. Orion tak mungkin hanya buka suara seorang diri. Bukti-bukti pernikahan mereka masih aman tersimpan di ransel Rani. Bukannya aku takut, akan tetapi aku tak ingin Rose tetiba marah besar lantas nekat berbuat hal-hal yang tak diharapkan kepada istriku! Kami berdua harus bisa bersama-sama menghadapi semua ini. Tak ada seorangpun yang dapat dipercaya di tempat ini! Rose dan Edward, mereka berdua...
Tetiba pintu utama terbuka. Orion buru-buru bersembunyi di balik pilar tinggi terdekat.
Si pendeta palsu Edward Bennet melangkah keluar, selambat mungkin sambil terkikih. Sepertinya tak ada beban di hatinya, bahkan setelah mengakui semua di hadapan Rose.
"Ah, aku lagi-lagi menang dalam peperangan..."
Tetiba terdengar suara klik lemah dari balik pintu. Kokangan senjata api.
"Edward, tunggu dulu! Kau, son of a..." rutuk Rose perlahan.
Astaga! Apakah Rose akan betul-betul menembak pendeta palsu itu? Aku memang sangat tak suka kepadanya. Namun jika ia mati, rahasia itu akan terkubur bersamanya! Orion bersiaga, dari balik pilar tetap mengamati apa yang akan terjadi.
"Oh, Milady, jadi kau tetap akan membunuhku?" Edward yang sudah berhenti melangkah sejak bunyi kokangan pistol Magnum Rose itu masih tampak tenang.
Orion geram. Haruskah aku membiarkan Rose atau menyelamatkan Edward?
***
Maharani dan Leon berlari tunggang-langgang menuju perempatan yang pemuda tanggung itu tetapkan sebagai titik di mana mereka akan mengecoh para zombie. Sementara gerombolan mayat hidup itu mulai terpancing pada gerak-gerik dua calon mangsa.
"Tolong... tolong kami..."
"Panas, sesak, lapar, haus..."
"Kami butuh kalian! Kami belum mau... mati..."
Rani sempat berhenti sesaat. Erang, keluh kesah dan panggilan-panggilan itu begitu memedihkan hati kecilnya. Tak terlalu dekat, namun udara nan nyaris hampa dengan kejam menghantarkan semua ratapan para zombie ke telinganya. Semakin intens, semakin nyata...
"Nona Rani, jangan pedulikan! Mereka sudah mati. They're simply helpless!" Leon bergegas menggamit lengannya dan menariknya agar kembali berlari bagai pelari-pelari sprint berlomba menuju garis akhir.
"Aw, pelan-pelan! Kau menyakiti lenganku, Leon..."
"Maafkan aku, Nona! Tapi aku sungguh peduli kepadamu!" Leon tak bisa menahan-nahan lagi perasaannya yang selama ini hanya diutarakan lamat-lamat, "Kau mungkin tak pernah akan mencintaiku, seorang anak ingusan, begitu bukan istilah Evernesianya? Tetapi jujur saja aku sangat mencintaimu! Dan demi dirimu aku rela mati muda kapan saja!"
"Leon, what did you say?" Rani sama sekali tak menduga jika ia akan menerima pernyataan cinta dalam keadaan terjepit seperti ini, "Pemikiran yang sangat bodoh! Jangan katakan kau akan mati! Kita semua akan baik-baik saja!"
"Kalau begitu, ayo tolong aku, berlarilah!"
Rani dan Leon kembali berlari, semakin cepat meninggalkan para zombie yang terus menggapai-gapai. Ada yang masih bisa berjalan cepat walau sedikit gontai, ada yang langkahnya pincang atau terseret-seret akibat kaki-kaki yang tak lagi utuh. Mereka bagai kawanan hewan liar tak terduga, bisa tetiba bergerak cepat tanpa komando.
Sayangnya, perempatan jalan utama Chestertown yang mereka tuju ternyata menyimpan masalah yang lebih besar!
"Oh, Nona Rani, wait a minute. Di ujung sana..."
Bukan hanya gerombolan dari SOHO yang mengekor mereka. Jauh di depan sana, satu gerombolan lagi ternyata sedang berpatroli mencari apapun atau siapapun yang bisa dijadikan kudapan!
"Kurasa kita akan terkepung. Cara untuk bergerak lebih efisien dan memencarkan mereka adalah berpencar. Kita berpisah dan bertemu lagi di pom bensin. Letaknya hanya beberapa ratus meter di ujung jalan sebelah sana!" Leon menunjuk arah tertentu.
"Oh, baiklah!" Rani sedang tak punya ide, "Aku lari ke arah sini, kau ke sana. Kita akan bertemu di pom bensin sesegera mungkin."
***
Ternyata kali ini Rose tak ingin lagi main-main dengan Edward. Tak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini ia siap membungkam pendeta palsu ini untuk selamanya...
"Bennet, say goodbye to this miserable world!"
Tidak, Rose, not now! Orion tahu ia harus melakukan sesuatu saat ini juga!
Kilatan api plus letusan timah panas dari ujung Magnum sang bangsawati hampir bersamaan dengan rubuhnya sosok seorang pria di lobi itu. Tak hanya satu, melainkan dua!
"Astaga..." Rose yang baru saja memuntahkan sebutir pelurunya hanya bisa nanar menatap dua sosok yang kemudian jatuh terguling-guling di lantai.
"O-o-orion?"