Duh, kok jadi deg-degan begini ya? Apa aku ke-ge-er-an, baru kali ini bisa berdekatan dengan cewek favorit, Dewi Wacana Ganesha yang selama ini hanya bisa dipandang dari ujung mata? Mungkin hanya karena aku jarang bicara. Ya, hanya sekali-sekali aja bisa bicara dengan cewek. Duh, malunya.
Sepanjang pelajaran bahasa, Vincent baru kali ini merasa ada hal yang aneh dalam dirinya. Apalagi baru kali ini ia merasa ada hal yang istimewa dalam diri Jenny. Mereka sudah saling kenal bertahun-tahun dari awal skul hingga sekarang jelang lulus. Gak pernah sekelompok apalagi barengan, kok tiba-tiba bisa ngobrol walau hanya beberapa kalimat?
"Vin, bagus buku-bukunya tadi, aku suka, nanti aku mau pinjam juga ah. Udah lama gak pinjam buku benaran di perpus. Istirahat kedua, temenin aku ya! Biar kamu yang pilihin!" tiba-tiba Jenny muncul di dekat bangku Vincent selepas pelajaran bahasa.
"Serius? Ah, pilihanku sederhana aja. Asal kalimat blurb di belakang buku singkat, padat, jelas dan menarik, tidak bertele-tele, aku akan membacanya."
"Oh ya? Nanti temenin aku ya, sebentar aja kok. Di sana kamu tunjukkan aku contohnya. Selama ini aku baca yang berlabel best seller aja, ternyata tidak semuanya beneran bagus."
"Nah, kamu harus coba baca juga yang dikarang oleh pengarang lainnya, bukan hanya yang femes aja."
"Makanya, temenin aku. Mau, ya, Vin?"
"I-i-i-ya. Boleh, sekali-sekali kurasa tak ada salahnya."
"Asyik. Terima kasih."
Dari kejauhan, sepasang mata elang mengintai dengan napas panas menderu bagai naga siap menghembuskan api. "Gaaaaah, dasar bocah jelek berkacamata! Kok hoki bener disamperin si Jen lagi. Awas nanti, lo liat aja apa yang sanggup gue perbuat dalam hidup lo!"
***
Waktu berjalan super lambat. Istirahat kedua pun tiba. Jenny kira tadinya Vincent tidak akan muncul di perpustakaan. Cowok itu kelihatannya pemalu bener, apa dia beneran mau bantu aku? Jenny sudah hampir beranjak dari duduknya saat Vincent datang juga.
"Oh, hai! Kamu mau baca buku apa?" Vincent mencoba ramah walau masih malu-malu, beberapa kali membetulkan letak kacamatanya yang melorot.
"Apa saja! Non fiksi satu, fiksi satu." Jennie menyunggingkan senyum manis.
"Ini bagus, ini juga. Pilih saja. Kamu mungkin suka." Vincent buru-buru memalingkan keempat matanya sambil mengambilkan beberapa buku favoritnya dari rak.
"Oh, aku sedari dulu ingin baca, belum kesampaian. Baiklah, Vin. Terima kasih banyak, ya. Oh ya, jika kamu tidak keberatan, bolehkah jika aku save nomor WA-mu dari grup WA kelas? Siapa tahu aku bakal butuh bantuanmu, itu jika kamu tak keberatan."
"Oh, silakan saja. Aku tidak banyak chat atau eksis di medsos, tapi jika kamu ingin menghubungi WA-ku, silakan saja."
"Kamu ternyata baik juga ya Vin. Tidak seperti cowok-cowok lain yang gaul tapi membosankan itu."
"Duh, aku baik? Biasa-biasa aja ah. Aku senang juga bisa membantumu, Jen."
"Maafkan kecerewetanku ini ya. Biasa, aku memang banyak maunya. Sampai nanti, Vin."
***
"Hei, Bocah Nerd! Kok lo berani-beraninya ngedeketin Jenny!"
Oh, tidak, mau apa anak-anak ini? Vincent yang sehari-hari berkendara sepeda siang ini seperti biasa bersiap pulang. Kereta anginnya sudah akan ia tunggangi ketika tiga empat cowok mendatanginya di parkiran sunyi.
"Mau apa kalian? Hei, lepaskan sepedaku!"
Vincent segera menyadari jika semua cowok itu anggota geng Brandon. Mereka menguasai area. Bahkan petugas keamanan saja mereka telah beri uang rokok agar pergi istirahat barang setengah jam hingga bisnis selesai.
"Brandon mau lo jauhin Jenny, karena Brandon sedang pedekate sama Jenny. Lo gak usah pura-pura polos dan berteman dengan Jen, ya. Awas aja!"
"Hei, antara aku dan Jen... tidak pernah ada apa-apa kok!"
Suara sang ketua menggelegar. "Halah! Tadi aja pake pura-pura jatohin buku biar Jenny ambilin. Gaya lo kayak tuan putri pura-pura jatohin sapu tangan agar diambil pangeran!" Brandon tertawa terbahak-bahak.
"Betulan tidak sengaja, kok. Aku tak berniat..." Vincent berusaha menggerakkan sepeda, namun keempat cowok itu mengepungnya.
"Begini aja, Clark Kent, Peter Parker. Lo harus penuhi tantangan gue ini. Kalo lo gak berani berarti lo memang tuan putri!" Brandon sebenarnya udah pengen banget mencengkeram kerah kemeja seragam Vincent dan memberinya jotosan alias bogem mentah. Tapi ia segan membuat keributan ala anak pejabat yang sedang viral itu. Apa nanti kata followers bejibun itu, selebgram idola mereka kok tega main tangan?
"Aku... bukan... tuan putri!" entah dari mana, keberanian Vincent muncul. Ia tak tahu mengapa, yang jelas ia masih punya harga diri sebagai laki-laki.
"Bagus! Kalo begitu, gue tantang lo, Vin. Tulis surat cinta ketikan tanpa nama, selipin besok pagi-pagi sekali di bawah laci meja Jenny. Lo ga berani nulis, lo mundur, abis lo sama kita! Jangan harap lo bisa lolos. Kalo lo diterima sama Jen, lo bisa ngalahin gue, baru gue rela mundur. Nah, gimana, setuju?"