Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Perempuan-perempuan Aceh (Para Pejuang Tangguh di Zamannya)

22 April 2013   22:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:46 576 0
Judul Buku : PEREMPUAN-PEREMPUAN ACEH (Para Pejuang Tangguh Di Zamannya) Penulis : Putra Gara Terbit : 2013 Selalu ada yang berbeda, ketika membicarakan perempuan Aceh. Karena disaat perempuan Indonesia secara umum saat ini masih berjuang menegakkan kesamaan haknya – yang terinspirasi oleh sosok R.A. Kartini yang telah ditasbihkan sebagai pejuang emansipasi, jauh sebelumnya para perempuan Aceh telah menikmati hak-haknya sebagaimana manusia yang setara tanpa perdebatan. Barangkali selama ini yang kita kenal pahlawan perempuan dari Aceh hanya Cut Nyak Dien atau Cut Mutia saja, namun sesungguhnya, sejarah Aceh telah mencatat, banyak perempuan-perempuan Aceh di zamannya telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan yang tidak kalah pentingnya dari perjuangan kaum pria. Keterlibatan perempuan Aceh dalam politik dan pemerintahan bukanlah cerita baru. Dalam bidang militer ada korp tentara wanita, yang langsung terjun ke dalam kancah perang, ada juga yang bertugas di istana. Resimen pengawal istana tersebut dinamai Suke Kawai Istana. Selain itu ada lagi yang disebut Si Pai Inong, yakni korp prajurit wanita. Korp ini dibentuk pada masa Aceh diperintah oleh Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604 -16-07 M). Si PaiInong dipimpin oleh dua Laksamana Wanita, yaitu Laksamana Meurah Ganti dan Laksmana Muda Tjut Meurah Inseuen. dua laksamana itulah yang membebaskan Iskandar Muda dari penjara ketika ditahan oleh Sultan Alaidin Riayat Syah V,seorang sultan yang dinilainya bodoh dan bejad. Pembebasan Iskandar Muda itu juga yang kemudian merubah sejarah Aceh. Ketika Iskandar Muda naik ketumpuk pimpinan sebagai Sultan, mampu membawa Aceh kemasa keemasan, yang membuatnya tersohor sampai sekarang. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) korp tentara wanita itu diperbesar dengan membentuk Divisi Kemala Cahaya, yang merupakan divisi pengawal istana, yang dipimpin oleh seorang laksamana wanita. Dalam divisi ini juga dibentuk satu batalion pasukan kawal kehormatan, yang dipilih dari prajurit-prajurit wanita cantik. Mereka ditugaskan untuk menerima tamu-tamu agung dengan barisan kehormatannya. Sebelumnya, pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah IV (1589-1604) juga pernah dibentukArmada Inong Balee, yang prajuritnya terdiri dari janda-janda, yang suaminya tewas dalam perang. Armada ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati. Laksamana Malahayati merupakan seorang panglima wanita yang berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh angkatan laut Belanda dibawah pimpinan Cournoles dan Frederichde Houtman di perairan Aceh pada tahun 1599 Masehi. Armada Inong Balee ini sering terlibat pertempuran di selat Malaka meliputi pantai Sumatera Timur dan Melayu dengan membawa sedikitnya 2000 pasukan yang sebelumnya telah dilatih terlebih dahulu dibawah komando perempuan tangguh Malahayati. Laksamana Malahayati pula yang ditugaskan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah IV, untuk menerima dan menghadap utusan Ratu Inggris, Sir James Lancester dalam sebuah diplomasi ke Aceh pada16 Juni 1606. Utusan itu membawa surat dari Ratu Inggris untuk Raja Aceh. Sejarah Aceh juga mewariskan wanita-wanita negarawan, yang ulung sebagai pemimpin seperti: Ratu Nahrisyah, SriRatu Tadjul Alam Syafiatsuddin Syah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, Sri Ratu Zaniatuddin Syah, serta Sri RatuKemalat Syah. Ada juga Putri MeurahIntan, Pucot Baren, dan Cut Nur Arsyikin. Dalam menegakkan harga diri, tak ada kompromi bagi perempuan Aceh. Karena dalam berjuang, perempuan Aceh memikul sahamnya dalam bencana perang sebagai pahlawan (srikandi). Kadang-kadang perempuan Aceh menderia lebih hebat lagi dari orang senegerinya dibandingkan dengan siksa yang dilancarkan oleh musuhnya. Perempuan Aceh juga adalah perempuan yang mampu menanti suaminya pergi berperang dengan setia dan menjaga anaknya. Setidaknya peran perempuan sebagai ibu bisa tercermin dalam lirik lagu berikut yang sering disenandungkan bagi anak-anak Aceh takala mereka masih balita: Aduhaido ku do da idi (Aduhai do ku do da idi) Meurahpati ateuek awan (Burung merpati di atas awan) Beuridjangrajeuk banta Saidi (Cepat besar anakku sayang) Djakprang sabi bila agama (pergi ke medan perang membela agama) Dalah Peran perempuan sebagai Ibu telah terpatri dalam budaya Aceh secara turun temurun. Sebagai istri, ia wajib meneruskan perjuangan suaminya, jika sang suami mati di medan perang. Tetapi sebaliknya, apabila sang suami ternyata adalah seorang penghianat, perempuan Aceh rela kehilangan apa pun demi mempertahankan harga dirinya. Misalnya saja ada seorang pria yang bekerja sebagai informan musuh ditangkap pejuang Aceh. Hal itu terbongkar ketika melihat informan tersebut memiliki banyak uang, penyelidikan pun dilakukan, akhirnya diketahui uang itu didapat dari pihak musuh atas jasanya memberi informasi keberadaan pejuang Aceh. Sang Informan itu pun ditangkap dan dibunuh,sebagai balasan menghianati bangsanya. Namun keluarga yang ditinggalkan tidak pernah meratapinya. Karena dianggap telah berkhianat pada bangsanya, dan telah mencoreng harga dirinya. Sikap perempuan Aceh ini terbentuk karena pengaruh Islam yang kuat. Dalil-dalil Islam dijadikan landasan bagi kaum perempuan dalam menentukan sikap. Sejak masa Kerajaan Islam Perlak, Samudra Pasai, hingga Aceh Darussalam, Islam telah diambil menjadi dasar negara dan sumber humunya yaitu Al-Quran, Sunnah, Ijma’,dan Qiyas. Berdasarkan hukum inilah perempuan Aceh melandaskan segala tindakannya, termasuk dalam keadaan perang sekalipun. Dalam peperangan itu pun, kemampuan perempuan Aceh tidak kalah dibandingkan dengan kaum pria. Kemampuan perempuan untuk memimpin, menyusun taktik, hingga turutserta ke medan perang, telah dibuktikan dengan sejumlah prestasi gemilang. CutNyak Dien sendiri juga membuktikan hal ini dengan naik sebagai pemimpinperlawanan sepeninggalan suaminya – Teunku Umar yang dinikahi pada tahun 1878. Gambaran heroik perempuan Aceh sempat dituliskan oleh orang Eropa bernama H.C.Zentgraaff. Dalam Perang Aceh, Zentgraaff mencatat dengan detail sebagaimana kaum laki-laki yang mengangkat senjata, perempuan Aceh juga berperang dengan jiwa dan raganya. Zentgraaff menuliskan: “Perempuan-perempuan Aceh yang gagah dan berani merupakan perwujudan lahiriah dari dendam kusumat yang paling pahit. Perwujudan jasmaniah watak yang tak kenal menyerah yang setinggi-tingginya, dan apabila mereka ikut bertempur, maka dilakukannya dengan energi dan semangat berani mati, yang kebanyakan lebih dari kau lelakinya. Perempuan Aceh adalah pemikul beban dendam yang membara sampai ke tepi lubang kuburnya, dan sudah di depan maut sekali pun,ia masih berani meludahi muka si kaphe (Sebutan kafir atau kafeer dalam bahasa Aceh). Tidak seorang pengarang roman pun, dapat membuahkan karangan dengan daya fantasi yang berkhayal setinggi apa pun dalam bidang ini, dibandingkan dengan kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi.” – (H.C. Zentgraaff, 1982/1983:74). Pernyataan Zentgraaff ini dibuktikan oleh Cut Nyak Dien, yang tak rela menyerah meski pun penyakit mendera tubuh dan matanya. Diakhir perjuangan Dien dalam melakukan perlawanan, ia smasih empat mencabut rencong sebagai tanda pantang menyerah. Heroisme yang ditunjukkan oleh Cut Nyak Dien juga ditulis oleh Zentgraaff; “Tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh. Dan perempuan Aceh, melebihi kaum perempuan bangsa-bangsa yang lainnya. Dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal bukanlah laki-laki lemah, dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka.” – (H.C. Zentgraaff, 1982/1983: 95). Inilah frame Zentgraaff untuk memaknai perempuan Aceh. Kesimpulan dari analisisZentgraaff terpolarisasi dengan penyebutan para perempuan Aceh sebagai “de leidster het verzet” (pemimpin perlawanan) dan “grandes dames” (perempuan-perempuan besar.).*** PUTRA GARA

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun