“Aku mending ra trimo BLT dibanding rego bensin mundak (aku mending gak terima BLT daripada harga Bensin naik)” kata Pak Jo sambil meminum segelas kopi hangat.
Alasannya sangat sederhana, menurut dia, kalau premium naik, maka akan berimbas kepada kenaikan semua harga. Termasuk kebutuhan sehari-hari juga naik. “Kopimu yo mundak ngku yu (nanti harga kopinya juga naik bu),” katanya sambil menyapa tukang warung kopi.
Berbeda, kalau harga premium tidak naik, meskipun dia tidak lagi mendapat BLT. “Nek gur samkmono, aku sik iso golek, sing penting rego-rego ra mundak goro-goro BBM naik (Kalau cuman uang BLT segitu, saya bisa cari, yang penting harga-harga tidak naik gara-gara BBM naik),” sambungnya.
BBM naik? Siapa sih yang setuju dengan kenaikan BBM ini? Paling-paling hanya pejabat (terutama yang korup kali ye, heee) yang menyetujui rencana ini. Saya yakin, tidak ada satu gelintir rakyat (kecil) pun yang menyetujui rencana ‘mematikan’ ini.
Lagi-lagi APBN jadi kambing hitam. Kalau harga tidak dinaikkan, maka dana APBN banyak yang tersedot untuk subsidi BBM. Kenapa gak harta koruptur aja yang disita, untuk subsidi BBM? Kenapa tidak anggaran-anggaran kedinasan aja yang diperkecil (dihemat) untuk subsidi BBM? Pejabat pemerintah masih sangat terlalu mewah dibanding kondisi mayoritas rakyat. Begitu juga para wakil rakyat yang ‘wah’ tidak sebanding dengan kondisi rakyat yang diwakilinya.
Pak Jo, aku sepakat dengan ide-mu. Toh BLT tidak berguna-guna amat. Rasanya cocok apa yang pernah dilontarkan oleh Yenny Wahid, bahwa BLT adalah Bantuan Langsung Telas (Habis).
Satu gelas kopi susu di pojok warung Magetan
M. Ramzi