Beralih ke Direktorat Jenderal Pajak, siapa pun pasti setuju dan yakin bahwa mengubah suatu organisasi adalah tantangan terbesar kepemimpinan, terutama perubahan sebuah institusi pemerintahan di tengah-tengah praktik buruk lembaga sektor publik di Indonesia yang dituduh dan beberapa terbukti penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Kementerian Keuangan (d.h. Departemen Keuangan) telah menjadi pelopor transformasi birokrasi di Indonesia, atau boleh dibilang, Depkeu telah menjadi yang terdepan untuk masalah perubahan di sektor publik. Bukan argumentasi sembarangan, hanya membandingkan bagaimana Depkeu telah bereaksi terhadap ledakan mafia pajak, dimana lembaga lain sibuk membuat alasan dan membentengi diri, kemenkeu berani dan cepat mengambil tindakan untuk membebastugaskan para pejabatnya di unit di mana telah terjadi pelanggaran integritas. Beberapa waktu yang lalu, pelayanan publik dalam administrasi perpajakan telah mendapatkan apresiasi menggembirakan. Transparansi Internasional juga mengesahkan perbaikan tersebut melalui indeks korupsi lembaga publik yang menyebutkan 'hanya' 14% dari responden yang berpendapat buruk terhadap pelayanan di DJP, sedikit lebih baik dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Majelis Ulama Indonesia (Transparency International, 2008). Namun kini semua hasil perbaikan tersebut seakan lenyap tiada arti.
SOLUSI DAN URGENSI
Dengan itikad untuk maju, solusi yang perlu dibahas bersama adalah bagaimana membasmi petugas pajak seperti Gayus keluar dari sistem, bagaimana untuk menyaring mereka keluar dan mencegah yang lainnya tumbuh? Berita buruknya, adalah sebuah fakta bahwa negara-negara maju perlu berabad-abad untuk membangun dan mempertahankan sistem administrasi perpajakan yang tepat yang dapat mengawasi dan menghalangi setiap godaan untuk pejabat pajak menjadi tidak jujur; bukan sebuah pilihan yang kita miliki sekarang ini atau kapanpun juga. Lebih buruk lagi, pengalaman menunjukkan bahwa 124 proyek reformasi pelayanan publik di negara berkembang yang berjalan selama 1980-1997 telah didakwa berakhir dengan hasil tidak memuaskan. (World Bank, 1999) Betapa fakta yang suram! Apa yang dapat kita lakukan?
Pertama, kita semua harus sepakat sekarang bahwa reformasi administrasi perpajakan dilakukan adalah suatu keharusan dan harus dipertahankan. Kita semua harus sepakat sekarang bahwa tidak ada jaminan bahwa reformasi ini tidak akan menghasilkan produk cacat, sesuatu yang bahkan perusahaan multinasional sekaliber Toyota dan Honda gagal mencapainya (namun mereka secara elegan dan terhormat berani mengakui dan membayar kegagalan tersebut). Lalu, bagaimana seharusnya kita mengurangi fakta suram akan proses reformasi administrasi perpajakan yang telah terjadi di masa lalu? Belajar dari sejarah, bagaimana Indonesia telah dijajah selama lebih dari 350 tahun (mungkin bukan sebuah analogi yang sama dengan kenyataan di system perpajakan, namun kurang lebih memberikan gambaran interaksi yang mirip) dan bagaimana kita membebaskan diri dari belenggu penjajahan, yaitu dengan memberdayakan dan mendidik diri sendiri, satu-satunya cara agar modernisasi perpajakan Indonesia sukses adalah dengan kita sebagai wajib pajak memberdayakan diri. Karena dengan demikian, tidak akan ada ruang bagi gayus lain yang sengaja menyalahgunakan wewenangnya bertindak menyulitkan pembayar pajak. Hal ini seharusnya bukan hal yang aneh, karena ini merupakan hak Wajib Pajak. Namun bagaimana mendorong wajib pajak secara aktif mendukung pemungutan pajak itu sendiri?
ANOMALI PAJAK MODERN
Belajar dari kenyataan di negara-negara maju, ada anomali tentang bagaimana pembayar pajak bereaksi terhadap kewajiban pajak mereka. Teori utilitas ekonomi menyatakan bahwa setiap individu akan berusaha memaksimalkan kepuasan atau utilitas-nya dan kepuasan wajib pajak akan optimal dengan melakukan penggelapan pajak, dengan catatan Wajib Pajak bertindak rasional (Alm, McClelland dan Schulze, 1992) Menimbang-nimbang kemungkinan tertangkapnya sebuah penggelapan pajak dan ukuran denda yang akan dibebankan, akan lebih baik bagi wajib pajak di Negara maju melaporkan penghasilan kena pajak mereka lebih rendah. Namun kenyataannya, negara-negara maju mampu mengumpulkan setoran pajak dengan tax ratio lebih dari 30 persen dari produk nasional mereka, sebuah persyaratan bagi Negara berkembang untuk menjadi Negara maju (Kaldor, 1963). Keanehan kasus ini secara statistik telah dikonfirmasi di Amerika Serikat dan Swiss (Feld dan Frey, 2002). Berangkat dari kenyataan tersebut, penelitian-penelitian akademis menformulasikan teori tentang adanya sebuah variabel "moral pajak" sebagai faktor yang bertanggung jawab atas perilaku ini.
Secara umum, moral pajak didefinisikan sebagai kemauan pribadi untuk membayar pajak. Benno Torgler, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi, Manajemen dan Seni (CREMA) Swiss telah mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi moral pajak di berbagai negara, mulai dari Austria, Australia, Amerika Serikat ke Eropa dan negara-negara Asia. Sayangnya, penelitiannya di negara-negara Asia tidak termasuk Indonesia. Namun demikian, hasil penelitian dari negara-negara Asia lainnya dapat digunakan sebagai referensi bagi perpajakan di Indonesia. Dengan menggunakan data dari World Values Survey di Bangladesh, Cina, India, Jepang, Filipina, Korea Selatan, dan Taiwan, Torgler menguji bagaimana faktor-faktor seperti kepercayaan pada sistem hukum, kepercayaan pada pemerintahan, kebanggaan bernegara, status demokrasi, tingkat pendapatan, usia, jenis kelamin, perkawinan status, dan status pekerjaan dapat mempengaruhi moral pajak individu. Menggunakan cross sectional analysis, ia menemukan bahwa kepercayaan akan sistem pemerintahan dan hukum dan kepuasan dengan pejabat negara secara statistik signifikan dalam mempengaruhi moral pajak. Faktor penting lainnya adalah status demokrasi dan kebanggaan berbangsa. Secara luas, kesukarelaan wajib pajak untuk membayar pajak banyak dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap pemerintah (tentunya bukan hanya eksekutif namun termasuk legislatif dan yudikatif) dan tentunya para 'orang-orang besar' di Negara tercinta ini.
Sesungguhnya tidak memerlukan pengujian statistik untuk sampai pada kesimpulan diatas, tidak perlu menggunakan logika sederhana layaknya menghitung 'tax ratio', cukup dengan pepatah 'guru kencing berdiri murid kencing berlari' kita akan sampai pada kesimpulan yang sama. Tentunya akan lebih mudah mencontohkan ratusan anggota wakil rakyat yang patuh dan taat pajak daripada mengubek-ubek 'mafia pajak' diantara 32 ribu pegawai pajak atau 18 juta wajib pajak. Atau kita semua akan tetap bersikeras bahwa masing-masing kita adalah benar dan modernisasi ini tidak akan bergerak kemana-mana.
Bulan Maret setiap tahunnya menjadi waktu yang sangat tepat bagi 'para elit bangsa' memberikan panutan untuk memenuhi kewajiban perpajakan mereka dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi, paling lambat tanggal 31 Maret 2011. Khususnya untuk kepatuhan di propinsi Sumatera Utara, yang tercatat sebagai yang terendah di Indonesia (38%), sangat dibutuhkan teladan dari jajaran pejabat negara, Muspida, tokoh masyarakat dan akhirnya kita semua. Semua tentunya untuk kejayaan negeri, Indonesia Raya.