Perhatikan kutipan berikut.
Cingkarabala dan Upatabala tidak ramah pada Wisanggeni yang masih berdarah muda. Kedua raksasa itu terlihat sok kuasa kepada tamu yang mestinya disapa secara sopan dan bersahaja. Ketidakramahan mereka bisa mengundang petaka! (Novel Amuk Wisanggeni - Suwito Sarjono, DivaPress, 2012)
Dari sedikit kutipan di atas, kita tahu bahwa Wisanggeni bukan sosok ksatria sembarangan yang mau diremehkan. Dia pemberani, kadang-kadang sangat berani, sehingga terkesan norak bagi musuh-musuhnya. Nah, ketika berbicara soal keberanian (dalam koridor kebenaran), sangat secara spontan teringat Jokowi. Dan inilah kesamaan utama antara Jokowi dengan Wisanggeni. Mereka sama-sama berani mendobrak, menggebrak, dan menormalisasikan segala sesuatu yang tidak normal agar kembali ke jalan yang normal.
Salam berani menuju kenormalan...!
http://blogpenulistenan.blogspot.com/2012/11/amuk-wisanggeni-sebuah-novel-wayang.html