“Tante Mei mau jemput Mama ya?”
“Iya! Tadi Mamanya Aline telpon minta dijemput .”
“Aline ikut, Tante!”
“Tapi tante nggak kemana-mana, sayang! Cuma jemput terus pulang.”
“Nggak apa-apa, Tante! Aline pengen ketemu Mama.”
“Ya udah, bilang dulu sama Oma!”
“Iya. Jangan ditinggal ya!”
Tak sampai lima menit tubuh kecil Aline sudah keluar kembali dari dalam rumah. Berlari lincah menuju mobil yang mesinnya sudah menyala.
*****
“Mama mana?”
“Tante nggak tau. Tadi katanya minta jemput di lantai ini.”
“Kok orang-orang di luar itu pada marah, Tante? Marah sama kita ya?”
“Tante juga nggak tahu. Ayo lebih cepat Aline!”
“Panas, Tanteee! Panas!”
“Iya, sayang! Sini dekat tante. Napasnya diatur ya!”
“Aline takut!
Mei menyeka wajah Aline yang memerah terbasuh keringat yang deras mengalir. “Tenang ya sayang. Tante juga takut.Tapi kita nggak boleh panik. Kita cari jalan ke luar ya?”
****
“Biadab! mau apa kalian?”
“Brisik! Diem kagak lo!”
“Bangsat!”
“Jangan banyak meronta, mau mati lo?”
Mei jatuh terdorong lelaki kekar. Beberapa lainnya berhasil menerobos pintu lift. Sebagian mengacak dan menjarah barang-barang, atau berlaku sama dengan dengan yang diperbuat terhadap Mei.
“Diem nggak!” pukulan keras membuat Mei makintak berdaya.
“Tanteee….!”
“Aline…! Lari, Aline!”
******
Tv dimatikan. Setelah tiga belas tahun, tak ada juga perubahan kabar dan informasi dari berita yang selalu dibahas televisi setiap tahunnya. Aline lalu kembali menuju kamar, menyalakan laptop. Skripsinya tentang tragedi Mei itu sedikit lagi usai. Entah apa yang bisa dia angkat dari hasil pencarian dan penelitiannyaselama ini. Mungkin tak ada hal baru. Seperti juga balasan surat yang dikirimkannya setiap tahun pada tiga presiden yang berbeda, untuk rangkaian pertanyaan yang sama: kemana Mama dan apa yang sebenarnya terjadi pada Tante Mei.
*****
Cirebon, 13 Mei 2011
Sumber gambar dari http://indonesian.cri.cn/1/2009/03/30/1s94551.htm