Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Sebuah Hari yang Berantakan

13 Oktober 2010   04:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:28 120 0
Aku bergegas keluar dari pintu ini menuju taksi yang terparkir. Sungguh sulit menutupi rasa kecewa di hati ini. Sesak dadaku rasanya. Dua belas tahun aku berusaha membuat kata bangga menjadi nyata buatnya. Segala cara telah aku lakukan agar hatinya terbuka dan menerima. Tapi selalu gagal. Juga dengan hari ini. Dia merobek-robek cek yang aku berikan padanya. Tanpa dia baca angka-angkanya sama sekali. Padahal itu cukup untuk dibelikan satu dua sapi buat kurban nanti. Sebuah nilai yang besar, mengingat semua itu aku dapat dari serpihan keringat, tenaga dan rasa maluku selama bertahun. Aku memberikannya dengan kesungguhan cinta, hormat, dan sayang. Tapi baginya itu tidak memiliki arti apa-apa. Tak secuil pun. Dia tetap keras. Tak dihargainya perasaanku sama sekali. Aku sadar semua karena keputusan yang pernah aku buat dulu. Keputusan yang membuat dia sangat murka. Menjadikan kata maaf seolah benar-benar sudah tak ada. Aku kerap membela diri soal ini. Bahwa aku sesungguhnya memang berbeda. Bukan sekedar sebuah rasa melainkan fakta. Sebuah perbedaan yang sama sekali tak bisa dia terima. Apalagi ketika kemudian aku memilih untuk benar-benar menjadi berbeda. Keadaan sungguh berubah setelahnya. Dia mengusirku dengan bermacam laknat dan serapahnya. Dialah bapak, lelaki yang kutemui sore ini. Pintu mobil hampir kuraih ketika teriakan bapak kembali memecah telinga dan hatiku. Aku nyaris menangis, tapi ibu dan adik-adikku sudah benar-benar menangis mengelingkan bapak. "Pergi kamu! Pergi! Bapak tidak pernah punya anak seperti kamu. Memalukan! Ingat, Joko! Ingat benar-benar! Jangan pernah kembali ke rumah ini kalau kamu masih seperti ini! Karena kamu tak punya keluarga lagi disini!" Pintu mobil kubuka. Aku duduk di dalamnya dan menarik nafas kuat-kuat. Berbagai rasa bergulat di dada. Segera kuperintahkan supir agar berangkat dan meninggalkan tempat ini. Meninggalkan kepiluan ini. "Hotel Lingga!" sahutku lemah. Aku menatap spion depan. Tergambar wajahku disana. Kelam. Kubiarkan saja satu dua bulir air mata jatuh di pipi, merusak make-up dan blush on-ku. "Hotel yang tadi ya, Mbak?" tanyanya. Aku mengangguk. Sungguh hariku begitu berantakan. Cirebon, 12 Oktober 2010 *foto diambil dari www.image.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun