Karena dalam judul kata "Izrail" diberi tanda baca "kutip", maka bisa diartikan bahwa "Izrail" adalah simbol. Jika itu simbol kematian, bisa dimaknai bahwa saat ini "nyawa" KPK sedang dalam perdebatan "yang maha kuasa" di jagat kekuasaan Indonesia. Ibarat mendengar tokekan suara tokek... ibarat menghitung-urut kancing baju... ibarat berharap-cemas, maka sejatinya, KPK per hari ini, dalam keadaan di persilangan jalan... Jalan kehidupan di satu sisi, dan jalan kematian di sisi yang lain.
Ia terlahir menjadi produk negeri, bukan hasil perselingkuhan. KPK lahir resmi dengan "akta lahir" berupa UU Nomor 30 tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Toh, sebagian elite politik masih menyoal eksistensinya sebagai produk "nikah siri". Mengapa? Produk konstitusi tentang aparat penegak hukum hanya kejaksaan dan kepolisian. Merekalah yang tercantum dalam akta utama Republik Indonesia yang bernama UUD 1945.
Akan tetapi, dengan excuse, bahwa tindak pidana korupsi sudah demikian akut, negara ini merasa perlu melahirkan sebuah "anak" sakti bernama KPK. Maka, atas nama pemberantasan korupsi itulah dia dilahirkan. Dalam operasionalnya, ia memiliki kewenangan yang rrruuuaaarrr biasa.... (silakan googling tentang UU No 30 tahun 2002 supaya Anda lebih tercengang.....).
Nah, dalam kiprahnya, bocah sakti bernama KPK ini memang menunjukkan kiprah yang luar biasa. Ibarat jabang-bayi Gatotkaca yang harus dilebur di kawah Candradimuka sehingga bisa menjadi senopati-nya para dewa, maka KPK pun begitu. Ia lantas saja menjadi harapan pemerintah dan rakyat yang sudah muak dengan praktik korupsi akut di negeri ini, untuk melanjutkan kiprahnya melabrak durjana-durjana negara.
Satu per satu gubernur, anggota dewan, bahkan menteri dan pejabat negara pun dicokok. Sejumlah nama seperti Gubernur Aceh Abdullah Puteh, Ratut Atut, dan sejumlah gubernur lain pun jadi pesakitan. Menteri Bachtiar Chamsyah, Andi Mallarangeng, Suryadharma Ali, Jero Wacik dan sejumlah nama lain pun masuk kerangkeng KPK. Anggota dewan Paskah Suzzetta, Panda Nababan, Dudie Makmun Murod, Misbakhum, dan masih banyak yang lain, juga terkena bidikan KPK.
Nama-nama di atas, umumnya sudah meringkuk di hotel prodeo. Sudah divonis. Akan tetapi, masih sangat banyak nama tersangka lain yang hingga sekarang masih terkatung-katung. Tak segera ditindaklanjuti dan penyelidikan ke penyidikan. Dari penyidikan ke penuntutan. Mereka terkatung-katung menjadi warga negara yang terlanggar hak-hak asasinya gara-gara sudah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi terkesan "didiamkan".
Sebut saja dua nama besar, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dan mantan Ketua BPK Hadi Poernomo. Menteri Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana haji tahun 2012-2013. Sejak penetapan dan awal-awal penetapan, KPK sudah ancang-ancang untuk juga mencokok pejabat Kementerian Agama lain, dengan sandaran logika, bahwa Suryadharma Ali tidak korupsi sendiri.
Kemudian nama besar Hadi Poernomo, seorang mantan Dirjen Pajak, kemudian Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Dia ditetapkan tersangka, pas tanggal 21 April 2014. Pas pula dengan hari ulang tahunnya. Pas pula dengan hari dia mengakhiri jabatannya sebagai Ketua BPK. Ia disangka terlibat kasus korupsi perpajakan yang ditengarai terjadi kurang lebih 10 tahun lalu. Kini, sudah 10 bulan lebih, statusnya masih juga terkatung-katung.
KPK pada satu sudut dipandang sebagai "hero", di sudut yang lain, tak lebih dari seekor "cicak". Ia seolah menjadi pahlawan karena keberaniannya menetapkan nama-nama besar, elite-elite negeri sebagai tersangka korupsi.
Di sisi lain, dari kacamata para elite, KPK tak lebih dari seekor "cicak", karena kenyataannya, dalam praktik penanganan korupsi yang diduga melibatkan petinggi negeri, ternyata tidak segaga-berani yang dibayangkan masyarakat. Kasus BLBI dan Kasus Century hingga kini masih membeku di locker KPK. Bukan hanya itu, kasus Hambalang, dan sejumlah kasus raksasa lain tak diutak-atik, meski sudah menelan waktu bertahun-tahun.
Elite politik tahu, kemudian rakyat kebanyakan pun mulai tahu, bahwa kasus-kasus itu bisa menyeret nama-nama besar seperti Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono, Sri Mulyani, Edhi "Ibas" Baskoro, dan lain-lain. Tidak heran jika elite yang merasa tahu persoalan, tetapi tidak mendapat perlakukan "adil" pun berkicau. Alhasil, nyaringlah kicauan Anas Urbaningrum, Antasari Azhar, dan lain-lain.
Publik pun bisa melihat, manakala KPK sudah mulai "bermain" di lingkaran "dewa-dewa", maka hampir pasti goyangan itu terjadi. Catat saja ketika Antasari Azhar getol membongkar kasus BLBI, dan "berani" menetapkan besan SBY yang bernama Aulia Pohan sebagai tersangka, tak lama kemudian dia dikasuskan dalam drama pembunuhan dengan kedok cinta-segi-tiga yang aneh. Berbagai rekayasa persidangan pun terjadi, dan berujung pada meringkuknya Antasari di penjara, dan menguaplah kasus BLBI tadi.
Kemudian saat petinggi Polro Susno Duadji dibekuk KPK, tak lama kemudian muncul istilah "cicak versus buaya". Para petinggi KPK, di antaranya Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto diperiksa kepolisian. Tuduhannya, mereka menyalahgunakan kewenangan KPK. Meski tidak sama persis, maka kejadian itu pun berulang. Dengan penetapan Budi Gunawan sang calon Kapolri menjadi tersangka, tak lama kemudian, Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka, menyusul kemudian Bareskrim Polri mengeluarkan Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) kepada semua pimpinan KPK.
Sampai di sini, apakah sudah tergambar "kematian" yang menghantui KPK?
Mestinya sudah. Sebab, secara konstitusional, KPK lahir dengan instrumen UU, yang menurut hierarki hukum, berada di bawah UUD. Artinya, dia bisa saja sewaktu-waktu dicabut dengan dalih "tidak diatur dalam konstisusi negara". Atau, kalau toh bukan pencabutan nyawa, setidaknya, sangat mungkin ujungnya berupa pelemahan kekuatan.
Kemudian dengan adanya "counter attact" dari Polri, bukan tidak mungkin (jika tidak diintervensi Presiden), KPK akan lumpuh dalam waktu dekat. Dengan Sprindik tadi, sudah dapat dipastikan, seluruh pimpinan KPK akan berhadapan dengan persoalan hukum di mata Polri. Jika kemudian kesemuanya ditetapkan sebagai tersangka, maka UU mengatur tentang "non-aktif". Apa yang bisa kita bayangkan, lembaga sebesar KPK dengan puluhan bahkan ratusan ribu tumpukan berkas kasus korupsi, tiba-tiba berhenti karena lokomotifnya tak berfungsi.
Sejarah sedang mencatat takdir KPK. Takdir maut, atau sebaliknya. ***