Meski tugas "komunikasi" adalah meniadakan "ketidaktulusan" tadi, tetapi pada prakteknya, kita merasakan adanya ketidaktulusan dalam komunikasi kita. Ketidaktulusan yang bisa diartikan, bukan yang keluar dari pikiran dan hati yang sama. Komunikasi basa-basi. Komunikasi yang tidak menyampaikan pesan yang sebenarnya.
Itu terjadi karena beberapa sebab. Bisa karena latar belakang pemahaman dan pengalaman yang tidak sama. Bisa juga karena berbeda referensinya. Tidak tahu duduk-perkara yang sebenarnya. Orang mungkin bertanya, bukankah di situ letak perlunya komunikasi? Perlunya sebuah komunikasi untuk meniadakan ketidaktulusan akibat aneka-hal yang tidak sama?
Menjadi jelas duduk-soalnya, jika kita merujuk pada esensi komunikasi yang pernah ditulis Dr Wilbur Schramm, seorang ahil komunikasi Amrik. Dia menulis, hadirnya kerangka referensi yang sama antara sang komunikator dan komunikan, antara yang menyampaikan pesan dan yang menerima pesan mempengaruhi bagaimana proses komunikasi itu berjalan. Penggunaan referensi yang sama, akan mengeliminasi ketidaktulusan alias perbedaan sudut pandang.
Point kedua, faktor pengalaman yang sama, antara komunkator dan komunikan. Komunikasi sesama mahasiswa, sesama siswa, sesama pengusaha, sesama guru, sesama cendekiawan, memungkinkan kelancaran. Begitu pula sebaliknya.
Nah, terbayang sekarang, mengapa konteks "komunikasi dalam masyarakat tidak tulus" saat ini menjadi begitu relevan. Ini tak lepas dari imbas keterbukaan dan kemudahan akses informasi. Bak air bah, informasi menggelombang menggenangi kehidupan kita sehari-hari.
Media televisi, internet, menyajikan ratusan, ribuan, bahkan jutaan informasi baru. Masyarakat dengan berbagai lapisannya, menyerap dan mengapresiasinya sesuai kadar dan tingkat pemahaman masing-masing. Masyarakat pun berkomunikasi dalam ketidaktulusan. Perbedaan acap menjadi begitu runcing. Perbedaan acap menjadi jurang pemisah yang maha-lebar.
Kini, belasan tahun setelah Jacob Oetama menulis artikel itu, makin terasalah aktualitas pesan yang hendak disampaikan. Bahwa, bah informasi, rob isu dan gosip, banjir keterangan berbagai pihak, makin mendistorsi hakikat komunikasi itu sendiri.
Pertama, dalam konteks media massa dan audiensnya. Jelas sekali, terdapat titik pihak yang beragam. Contoh kongkrit, menonton pemberitaan TV-One akan berbeda rasa ketika kita menonton pemberitaan di Metro-TV, sekalipun untuk pemberitaan dengan topik yang sama. Demikian pula media cetak. Ada yang secara terang-terangan berdiri pada satu pihak. Ada pula yang plin-plan, mencoba independen, padahal banci.
Bukan Jacob Oetama kalau tidak memberi konklusi dan solusi atas persoalan komunikasi yang tidak tulus di tengah masyarakat kita. Pesan singkat yang disampaikan Jacob Oetama adalah, audiens tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah atau mengatur jenis dan keberpihakan informasi yang disajikan oleh media (cetak maupun elektronik).
Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh bagi masyarakat pembaca, pendengar, dan pemirsa, adalah memperketat seleksi atas informasi yang diterima. Luapan informasi, beragamnya kanal konfirmasi, harus digunakan oleh audiens untuk menyeleksi jenis informasi, serta melakkan konfirmasi, cross-check akan akurasi dari informasi tersebut.
Dalam bahasa sehari-hari barangkali, Jacob ingin mengatakan, "Jangan begitu saja menelan broadcast atau posting-an informasi apa pun... apalagi kemudian, tanpa menyeleksi dan mengonfirmasi, langsung menyebarkannya ke audiens yang lebih luas. Sejatinya, yang demikian adalah perbuatan tidak cerdas."
Dirgahayu Pers Indonesia. ***