Tindak kekerasan dalam berbagai bentuknya masih saja terjadi terhadap rakyat Indonesia. Hari senin (25/7), di Desa Sukamanah, Pangalengan, Jawa Barat, sebanyak 80 kepala keluarga (KK) atau kurang lebih 200 orang petani (sebagian besar adalah anggota AGRA) korban gempa Jawa Barat 2009, terpaksa mengalami tindakan kekerasan dan pengusiran dari tempat tinggal mereka. Tindakan brutal tanpa rasa kemanusiaan ini dilakukan oleh “preman” bayaran yang dimobilisasi oleh pihak PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
Sejak gempa yang melanda Jawa Barat dan sekitarnya pada akhir Agustus 2009, sekitar 200 orang korban gempa ini memang terpaksa harus mengungsi karena tempat tinggal mereka yang berada pada kemiringan 600sangat membahayakan keselamatan jika harus dijadikan tempat tinggal. Atas dasar itulah kemudian pemerintah melalui Surat Rekomendasi DPRD Jawa Barat pada 16 November 2009 menyatakan warga boleh menempati sebagian lahan (2 hektar) milik PTPN VIII yang berada di desa Sukamanah dengan batas waktu sampai pemerintah mendapatkan tempat bagi relokasi warga korban gempa tersebut.
Dalam kejadian kemarin, sedikitnya 5 (lima) orang luka-luka akibat serangan tersebut, tidak kurang 7 (tujuh) buah rumah rusak parah, juga terjadi penjarahan yang menghilangkan harta benda berupa DVD, uang sejumlah 300 ribu, rokok dan minuman milik salah seorang warga. Para pelaku melakukan penyerangan dengan menggunakan senjata tajam serta balok kayu yang diberi paku serta diduga sengaja meminum minuman keras sebelum melakukan aksinya.
Hal lain yang sangat disayangkan adalah, pembiaran oleh pihak Kepolisian sektor Pangalengan dan Koramil yang pada saat kejadian penyerangan berlangsung berada dilapangan. Aparat keamanan yang seharusnya bekerja untuk melayani dan melindungi kepentingan rakyat, malah tidak melakukan tindakan pencegahan apapun untuk menghindarkan tindakan kekerasan ini terjadi. Pun demikian dengan Camat Pangalengan yang datang setelah peristiwa penyerangan berlangsung (sekitar pukul 18.00 WIB), yang meminta agar warga tidak mengambil jalur hukum dalam penyelesaian masalah yang terjadi serta menyatakan tidak akan lagi turut campur karena merasa tidak sanggup lagi membantu warga menyelesaikan masalah ini.
Tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh pihak PTPN VIII senin kemarin adalah yang keempat kalinya, terhitung sejak November 2009 atau setelah dikeluarkannya Surat Rekomendasi DPRD yang memberikan ijin tinggal kepada warga korban gempa hingga pemerintah memperoleh lahan yang tepat sebagai relokasi. Intimidasi pertama dilakukan oleh massa dari perkebunan sebanyak 3 truk yang menyuruh warga meninggalkan lahan tersebut. Warga melakukan perlawanan atas tindakan intimidasi tersebut yang kemudian berujung pada kesepakatan antara petani korban gempa dengan pihak PTPN VIII pada 16 Desember 2009. Isi kesepakatan sesuai dengan surat rekomendasi DPRD.
Paska itu, pihak PTPN VIII masih tetap melakukan intimidasi dengan mengirim 40 orang untuk kembali memaksa warga keluar dari lahan tersebut. Upaya selanjutnya adalah pada bulan Mei 2011, dimana pihak PTPN VIII melakukan upaya penanaman pohon teh hingga melewati batas yang telah disepakati, karena proses penanaman ini mencapai areal perumahan tempat tinggal warga.
Kasus-kasus kekerasan yang menimpa rakyat, khususnya kaum tani semakin tinggi intensitasnya. Meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap rakyat dan secara khusus terhadap kaum tani tidak dapat dipisahkan dari semakin masifnya ekspansi lahan dalam skala besar baik untuk pertanian maupun perkebunan skala besar, baik oleh pihak swasta maupun pemerintah seperti PTPN. Kepentingan monopoli atas tanah dalam skala besar dengan orientasi komoditi inilah yang berhadap-hadapan langsung dengan kepentingan rakyat atas tanah sebagai sumber penghidupan mereka. Akibatnya, rakyat (kaum tani) selalu menjadi pihak yang paling dirugikan, karena mereka selalu menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan, baik yang dilakukan oleh negara melalui aparat kemanannya, ataupun yang dilakukan oleh pihak perusahaan seperti yang terjadi di Sukamanah, Pangalengan kemarin
Disisi lain, selalu saja negara absen ketika kasus-kasus kekerasan terhadap rakyat terjadi. Aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian yang diharapkan bisa menjadi pengayom masyarakat seolah menjadi “macan ompong” dan tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah agar kekerasan tidak terjadi dan memakan korban. Seluruh hak-hak rakyat harus dijamin, dilindungi tanpa ada perkecualian, dan tanggung jawab itu sudah seharusnya menjadi bagian dari kewajiban negara.
Oleh karena itu, atas peristiwa penyerangan yang dialami oleh kaum tani di Pangalengan, kami Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyatakan sikap :
1.Mengecam tindak penyerangan dan pengusiran dengan menggunakan kekerasan terhadap petani korban gempa oleh pihak PTPN VIII di Desa Sukamanah, Pangalengan Jawa Barat.
2.Menuntut kepada pihak PTPN VIII untuk bertanggung jawab atas tindak penyerangan dan pengusiran dengan menggunakan kekerasan tersebut, serta memberikan ganti rugi kepada warga atas segala kerusakan yang ditimbulkan dalam peristiwa penyerangan tersebut.
3.Mengecam kelambanan aparat kepolisian yang melakukan pembiaran dan tidak berusaha mencegah terjadinya peristiwa penyerangan dan pengusiran dengan menggunakan kekerasan tersebut
4.Menuntut kepada pihak kepolisian untuk memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada seluruh warga korban penyerangan dan pengusiran tersebut.
5.Meminta pihak kepolisian untuk segera menangkap seluruh pelaku penyerangan dan pengrusakan, mengajukannya kedalam proses hukum hingga tuntas.
6.Menuntut dihentikannya berbagai tindak kekerasan terhadap rakyat. Lebih lanjut, dalamdalam upaya-upaya penyelesaian atas sengketa tanah yang terjadi, haruslah meninggalkan cara-cara kekerasan maupun intimidasi terhadap rakyat dan lebih mengedepankan cara-cara yang mencerminkan prinsip dan nilai demokrasi.