Pra Agama memang sangat kelam. Manusia seakan hidup tanpa aturan, tanpa mengenal siapa dan untuk apa mereka hidup. Manusia hanya berjibaku dengan alam. Lagi-lagi, soal perut yang tidak bisa dikompromi. Apa bedanya dengan binatang? Bedanya hanyalah pada cara berpikir. Tapi, paling tidak cara berpikir manusia Pra Agama lebih manusiawi dibandingkan saat agama hadir.
Eksistensi Agama tidak lepas dari pengaruh budaya dan adat istiadat suatu wilayah dimana agama itu lahir dan disebarkan. Ajaran (dogma), tata aturan, hingga cara hidup terpaku pada satu sentral, yaitu "Sang Pencerah."
Bagi sebagian besar penganut agama tertentu  menganggap, eksistensi agama bisa dipertahankan dengan melakukan norma-etika yang dipandang mendahulukan keyakinan syariat daripada kedewasaan akal sehat. Hal ini sering menemukan konfrontasi antar sesama pemeluk, bahkan gesekan dengan pemeluk agama lainnya. Akibatnya perdebatan pun lahir dari komunikasi yang tidak matang.
Sikap ekstrem sering dijumpai pada kelompok tertentu yang menginginkan perubahan secara luar biasa, tanpa memikirkan dampak negatif dari sebuah ekspresi. Benar, bahwasanya agama tanpa ilmu pengetahuan adalah sebuah kekosongan dalam berpikir. Tetapi, ilmu pengetahuan bisa berjalan pada umumnya tanpa adanya agama.
Resistensi akan hadir di tengah kekecewaan atas apa yang tidak bisa dipastikan oleh ilmu pengetahuan manusia. Begitu pun sebaliknya, Â baik sikap dan sifat dapat membentuk pribadi yang lebih offensive bagi dirinya maupun orang disekelilingnya.