Rencana pemerintah menyetujui kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) belakangan ini menuai banyak reaksi. Seperti halnya kebijakan yang lain, reaksi yang ada terbagi dua: mendukung dan menolak. Pihak yang medukung beralasan bahwa kenaikan ini memang perlu dilakukan mengingat beban operasional pembangkit harus bisa ditutupi agar listrik yang mengalir bisa dipertahankan stabil (tidak sering padam).
Sementara, penolakan terjadi lebih disebabkan karena kekhawatiran multiplier effect yang bisa terjadi, antara lain kenaikan harga barang-barang lainnya karena naiknya ongkos produksi, atau berkurangnya pemasukan perusahaan atau lebih spesifiknya adalah berkurangnya penghasilan tenaga kerja jika perusahaan takut akan berkurangnya keberterimaan pasar jika menaikkan harga jual. Inilah mengapa penolakan banyak terjadi mengingat banyaknya warga Indonesia yang menjadi tenaga kerja.
Namun, jika kita telaah lebih dalam, keputusan ini sebenarnya seperti memakan buah simalakama, yang setiap langkah yang diambil akan memaksa kita untuk menerima trade off yang terjadi. Pertama, apabila kenaikan ini dibatalkan dampak yang akan terlihat jika kita memakai alasan pihak yang mendukung kebijakan ini, yaitu tidak stabilnya pasokan listrik. Ini tandanya listrik akan sering padam, baik padam yang telah dijadwalkan (pemadaman bergilir) ataupun pemadaman yang sifatnya mendadak.
Pemadaman, terjadwal ataupun tidak, akan membawa dampak kerugian terutama pada industri-industri besar. Karena banyak hal yang harus dilakukan jika terjadi pemadaman, antara lain perubahan rencana produksi, set up kembali mesin-mesin besar, dan penyesuaian-penyesuaian lainnya, yang mau tidak mau akan berdampak pada pengeluaran ekstra. Itu jika kita tinjau dari kerugian materi, belum lagi kerugian non-materi lainnya, seperti terbuangnya waktu, tenaga untuk penyesuian, dan dampak lainnya.
Kedua, jika kenaikan ini diterapkan, tetap akan menyebabkan naiknya ongkos produksi baik pada industri-industri besar maupun industri kecil dan menengah. Bagi industri besar, kenaikan tarif ini merupakan pilihan yang lebih baik ketimbang pasokan listrik yang sering padam dan tidak stabil, karena meskipun ongkos produksi akan bertambah, kerugian yang terjadi akan lebih kecil. Namun jika kita melihat pada industri kecil, kenaikan ini akan berdampak telak pada kenaikan ongkos produksinya. Beban yang akan ditanggung oleh industri kecil (termasuk home industri) akan semakin berat.
Kebijakan kenaikan ini, agaknya akan kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah sendiri terkait pengembangan sektor industri dalam lima tahun ke depan. Pasalnya, dalam Laporan Pengembangan Sektor Industri Tahun 2004 – 2009 oleh Departemen Perindustrian RI yang dipublikasikan tahun 2009 lalu, dijabarkan bahwa harapan pemerintah pada kurun waktu tahun 2010 – 2014 salah satunya adalah meningkatnya peran industri kecil dan menengah dengan tulang-punggung industri rakyat sehingga ketertinggalan kontribusi terhadap perekonomian dibandingkan dengan industri berskala besar dapat diperkecil.
Dalam konteks ini kita melihat ketidaksesuaian sikap pemerintah antara lebih mengutamakan perkembangan industri-industri besar yang padat modal dan banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan industri-industri kecil kerakyatan yang meskipun tidak banyak menyerap tenaga kerja, namun jika semakin berkembang dampaknya akan lebih dapat menggerakkan ekonomi rakyat berbasis jiwa kewirausahaan.
Idealnya, jumlah wirausahawan dalam suatu negara minimal 2% dari jumlah penduduknya, untuk menunjang kecukupan lapangan pekerjaan. Dari banyak survei, wirausahawan di Indonesia baru mencapai 0,18%. Perkembangan industri kecil akan berdampak pada peningkatan wirausahawan di Indonesia, sementara perkembangan industri besar akan lebih berdampak pada meningkatnya karyawan atau pekerja. Oleh karenanya, kebutuhan negeri ini akan wirausahawan juga bisa dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah itu sendiri, salah satunya kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik
Mau tidak mau, kebijakan apapun yang diambil mempunyai dampak negatif, dan sebagai orang yang cerdas sudah seharusnya kita ambil langkah yang dampak negatifnya paling kecil, dan harus menyiapkan langkah antisipatif untuk meminimalisasi dampaknya. Semoga perindustrian di Indonesia bisa lebih maju dan mandiri untuk menyejahterakan rakyat Indonesia sendiri.
Ramadhani Pratama Guna
Mahasiswa Teknik Industri ITB Angkatan 2007
dhani_aja_lah@yahoo.com
http://iniblogdhani.blogspot.com