Namun pada kenyataannya, pelaksanaan SBI ini masih mengundang banyak kritikan. Aspek yang biasa menjadi sorotan masyarakat adalah aspek pengelolaan operasionalnya, terutama biaya penyelenggaraan pendidikan yang mahal. Hal ini wajar karena jika kita melihat SBI adalah sekolah yang harus mampu menyiapkan fasilitas yang baik. Beberapa SBI menyediakan proyektor lengkap dengan perangkat audio visual untuk menunjang proses belajar mengajar. Tidak jarang juga kita menemukan ruangan kelas yang mempunyai penyejuk ruangan (air conditioner). Juga ada SBI yang mempunyai ruang computer yang canggih, menyediakan wireless connection, dan sebagainya.
Mahalnya biaya pendidikan ini mau tidak mau turut mempersempit segmentasi pendidikan. Teorinya, pendidikan seharusnya bisa diakses oleh siapa saja. Namun dengan biaya yang malah, SBI berpotensi besar untuk tidak dapat diakses oleh kalangan menengah ke bawah. Sehingga pada akhirnya status sebuah sekolah menjadi gengsi tersendiri bagi masyarakat, apalagi bertaraf internasional. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat karakter masyarkat Indonesia yang masih lebih memandang simbol dan status luar. Dengan adanya gengsi ini, masyarakat dari kalangan menengah ke bawah sudah mengalami penekanan mental dari awal, sehingga pesimisme semakin sering muncul. Belum lagi kultur pergaulan setelah masuk di SBI tersebut, yang harus bergaul dengan masyarakat menengah ke atas, yang mungkin pola hidupnya akan berbeda jauh.