Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Jika Tak di Dunia Ini, Pasti di Nirwana Nanti

5 Juni 2012   05:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:23 43 0
Angin kencang menyelimuti malam. Pohon pohon berisik diganggu sang bayu. Kilat menampakkan sinarnya, disusul bunyi gemuruh. Air tercurah dari langit. Sebagian memaksa masuk melalui celah-celah sebuah kamar, memadamkan api kecil satu-satunya penerang di ruangan itu.  Menambah getir hati Sang penghuni kamar.

"Hiks... "

"Hiks... "

"Hiks... Ka.. Hiks..kaang..."

Tangis sesenggukan Putri Harum Hutan tak juga berhenti.

Kabar ditemukannya beberapa jasad prajurit Majapahit tanpa kepala di pinggir Kali Brantas seminggu yang lalu sampai juga  ke telinga Putri Harum Hutan.

Adalah hal biasa, peperangan selalu memakan korban, baik pihak yang menang, maupun pihak yang menanggung kekalahan. Namun yang menyakitkan, salah satu dari jasad tanpa nyawa itu adalah Sumitro, kekasihnya yang tak pernah direstui.

Kebersamaan dengan sang kekasih di taman pinggir kota satu purnama yang lalu tak henti-hentinya melintas di benak Sang Putri.

***

"Kakang....", sapa manja terucap dari mulut Putri Harum Hutan untuk lelaki pujaannya.

"Kakang mundur saja dari prajurit Majapahit", sambil merebahkan diri di dada bidang Sumitro.

"Putri, lalu dari manakah Kakang dapat menghidupi keluarga Kakang, adik masih kecil, sementara Ibu sudah renta, ayah telah tiada sejak lima tahun lalu".

"Ah Kakang, panggil saja saya Harum, Kakang", Putri Harum Hutan memerah pipinya.

"Eh iya, Ha.. Harum", baru kali ini ia memanggil kekasihnya dengan namanya sendiri. Meskipun ia sangat mencintainya, tapi ia sadar betul, ayah Putri Harum Hutan adalah petinggi kerajaan.

"Kakang bisa diangkat menggantikan di Kadipaten Munjungan tempat ayah memerintah dulu".

"Tapi Harum, aku tak punya kecakapan memerintah, Kakang lebih suka menjadi prajurit. Mati sebagai pahlawan yang membela Majapahit adalah impianku Harum",

Sambil menghela nafas, Sumitro memeluk erat tubuh wanita yang menyandar di pundaknya. Mentari di ufuk barat tampak malu mengintip dua insan yang kasmaran.

"Duhai Harum, jika Dewata sudah menakdikan kita hidup bersama, tak ada yang mampu menghalanginya, meski kita berbeda kasta", Sumitro berucap sambil memejamkan mata.

"Lusa akan ada pertempuran melawan pemberontak...."

"Kakang ditugaskan menjadi salah satu prajurit yang berangkat kesana, Harum".

"Jangan tinggalkan Harum, Kakang", sambil memeluk tubuh kekar sang kekasih.

"Tidak, Harum. Kakang pergi hanya sementara. Setelah pertempuran nanti Kakang akan berguru kepada Ki Ilat Putih".

Ki Ilat Putih dulunya pendekar hebat hampir tak tertandingi di Jawadwipa. Jurus andalannya adalah Lara Tanpa Tenaga, ia akan terlihat sakit dengan wajahnya pucat seperti tak punya tenaga, dan lidahnya putih namun bisa memanjang dan sangat kuat, mampu melilit lawan hingga terkulai lemah, terkapar di tanah.

Di masa tua, ia memilih bertapa di goa Kiskendha, menunggu seorang pemuda menyambanginya untuk menurunkan kesaktian.

Namun bukan sembarang pemuda yang mampu masuk ke tempat Ki Ilat Putih bertapa. Haruslah pemuda yang bersih hatinya dan mau bersahabat dengan kera-kera yang menghuni goa tersebut. Sekali saja membunuh seekor kera, maka tamatlah riwayatnya diserang ribuan kera lainnya.

"Kakang diutus pergi ke goa itu, Harum. Mahapatih Gajah Mada menjanjikan jabatan Senopati Utama bagi yang berhasil berguru pada Ki Ilat Putih".

"Tapi Kakang, Harum punya firasat buruk...."

"...Belum ada yang berhasil memasuki goa itu dan berguru padanya, Kakang. Aku khawatir jika......."

"Kematian adalah takdir wahai kekasihku. Yakinlah kita akan hidup bahagia bersama. Jika tidak di dunia ini, pasti di nirwana nanti..."

"Kakang......."

Harum........."

Keduanya berpelukan sebelum kembali ke pusat kota Trowulan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun