Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa

Tresna lan Nagara: Kulina, Bandha, apa Rupa?

20 Maret 2011   17:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:36 319 1
"Witing tresna jalaran saka kulina, apa saka bandha, apa malah rupa?"

Sebuah peribahasa Jawa yang cukup populer di masyarakat Indonesia. Namun, bagaimana dengan beberapa tambahan di atas?

Tresna, dalam bahasa Indonesia berarti cinta, sayang atau suka. Sebuah kata yang cukup estetik dalam menggambarkan bentuk perseteruan indah antara insan-insan ciptaan Sang Maha Besar. Menggambarkan kenangan indah pesona Indonesia, dalam angan seseorang yang tertidur lelap dalam mimpinya akan harapannya atas Indonesia. Sungguh ironi bukan ketika tresna sudah hilang dari tiap insan manusia, dan menjadi perceraian hingga berakhir pada pertumpahan darah. Adalah hal yang menakjubkan ketika tresna itu saling ada timbal balik, simbiosis mutualisme antara "dia" dengan "dia" atau "aku" dengan "kamu" atau bisa juga antara "kita" dengan "mereka". Muncul efek dari katresnan yang membuat ada sesosok insan mengucap kasih dan insan kedua menerima kasih, hingga seolah surga tidak jauh dari dunia yang fana ini. Damai dalam naungan rasa sayang.

Merujuk kembali kepada kutipan peribahasa di atas, tresna hadir karena kulina, yaitu kebiasaan. Kebiasaan seperti apa yang harus membuat satu sama lain menjadi mencintai dan merasa dicintai dengan harapan mewujudkan kesenangan bersama? Itu adalah sebuah pertanyaan yang sebenarnya perlu menjadi kajian terutama melihat kondisi Indonesia yang saat ini ternyata masih terjadi peperangan antar suku, kekerasan masalah agama bahkan berujung pada terorisme. Kebiasaan atau custom apakah yang sebenarnya bisa menghasilkan paduan hati dalam rasa cinta? Dan benarkah kebiasaan itu nantinya akan menjadi penyebab cinta?

Masyarakat di berbagai daerah di Indonesia mempunyai custom yang berbeda mulai dari berpakaian, makan dan minum, berkomunikasi dalam bahasa dan masing-masing kebiasaan yang sudah mendarah daging dalam adat daerah tersebut. Sebagai contoh kebiasaan orang Jawa yang berbahasa dengan bahasa Jawa, dan dengan intonasi serta pengucapan yang halus tuturnya akan berbeda dengan mereka yang berdarah Batak yang tegas, lugas dan keras. Bukan tidak mungkin akibat perbedaan bahasa dan penuturannya mengakibatkan timbulnya friksi dan bahkan akan menimbulkan luka dalam nasional Indonesia. Namun, tidak urung juga karena kebiasaan yang berbeda dari masing-masing daerah menimbulkan tresna, misalnya angklung yang merupakan alat musik khas Jawa Barat dilirik oleh daerah lain untuk dipelajari karena kesederhanaan cara memainkannya, maka dapat diadakan pertukaran kebudayaan yang merupakan ragam indahnya budaya nusantara pula.

Dari beberapa contoh di atas, coba ditilik kembali, akankah selalu rasa cinta dan damai akan timbul dari kebiasaan, baik kebiasaan untuk memelihara dan bekerjasama atau pun menghargai satu sama lain atas hal yang dilakukan oleh yang lain?

Mari kita lihat lagi dengan keadaan yang sekarang sudah menjadi hal yang "biasa" di negara kita tercinta ini. Berlanjut dengan peribahasa yang saya tambahi sendiri tadi yaitu, "apa saka bandha?" akan berkaitan dengan sebab laintimbulnya katresnan.

Bandha, yaitu mempunyai arti harta atau kekayaan. Bukankah sebuah rahasia umum dalam tempo kini yang menimbulkan tresna karena adanya pemberian suatu materi. Tidak usah jauh-jauh dengan menyebutkan problematika kenegaraan, ambil saja permisalan seorang lelaki yang mennyukai seorang wanita, namun wanita tersebut tidak menyukai lelaki tersebut. Ketika wanita tersebut menilik keadaan material lelaki tadi, 180 derajat pikirannya berubah, dan menyatakan "aku ya tresna karo kowe..." Dia tidak menyukai sang lelaki tadi karena kecuali karena hartanya yang dalam pikiran wanita tadi akan membuatnya merasa bahagia ketika hidup bergelimangan kesenangan dari kekayaan lelaki tadi. Apakah ini karena kebiasaan?

Lalu, bagaimana korelasi dengan kondisi kenegaraan kita? Banyak sekali dan mungkin tidak dapat disebut satu persatu, comot saja dengan hal sederhana dari "calon orang no.1 Indonesia" yang sedang berkampanye, menyuarakan janji atau lebih pantas lagi kalau disebut dengan menyuapi angin ke mulut anak. Asumsi rakyat ketika tidak ada janji yang menarik terutama bab kesejahteraan mengingat angka kemiskinan yang bukan cukup tinggi tetapi memang sangat tinggi, maka buat apa mereka memilih orang itu. Tak ada guna, anggapannya. Akhirnya, bukan karena hanya modal ijazah SD atau hanya karena menjadi wong ndesa utun, tetapi karena idealisme mereka yang tidak disertai dengan pondasi yang kuat, maka hanya dengan gocap atau mie instan per orang rasanya sudah cukup menjejali mereka agar timbul salah satu bentuk tresna, yaitu simpatik. Akhirnya, pilihan mereka jatuh karena bandha, bukan karena kulina. Bukankah demikian?

Semakin lebih membuat bingung lagi ketika tambahan peribahasa tadi berlanjut ke "apa malah rupa?". Fenomena ini hampir sama dengan harta hanya saja dengan rupa yang merupakan kodrat dari Sang Kuasa atau karena apa yang melekat secara non-material pada diri seseorang yang merupakan penyebab timbulnya tresna. Apa inti dari rupa ini? Tidak lain adalah pencitraan.

Pasti pernah kita menemui suatu urusan, sekali lagi contoh yang sederhana saja, ada orang membuang sampah sembarangan, lalu misalkan seorang pemulung menegur orang tadi, bukan tidak mungkin orang tadi malah memaki-maki pemulung tersebut. Dan akan beda halnya ketika yang menegur tadi adalah camat setempat. Pasti dengan sigap akan segera memungut sampah tersebut lalu membuangnya ke tempat sampah dan segera meminta maaf kepada camat tersebut. Pandangan tetang cinta akan lingkungan, bukan karena terbiasa menjalani hidup bersih tetapi karena citra seorang pejabat yang disegani atau ditakuti menjadi sebabnya.

Ini semua terjadi di bangsa kita, Indonesia...

Negara kita, Indonesia...
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun