Salah satu manifestasi dari budaya ini adalah ketergantungan pada media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter memberi ruang bagi individu untuk memamerkan pencapaian, gaya hidup, hingga opini mereka dengan tujuan mendapatkan likes, komentar, dan pengikut. Pola ini menciptakan ilusi bahwa popularitas atau pengakuan publik adalah sumber kebahagiaan dan kesuksesan. Namun, apa yang jarang disadari adalah bahwa validasi yang diperoleh melalui angka-angka di layar sering kali bersifat dangkal dan sementara. Di balik layar, banyak individu yang merasa cemas dan kurang percaya diri jika respons yang diharapkan tidak terpenuhi.
Sosiolog seperti Erving Goffman (1959) dalam teori "Presentasi Diri" menunjukkan bahwa manusia seringkali memperlakukan interaksi sosial sebagai panggung di mana mereka tampil sesuai dengan ekspektasi masyarakat. Dalam konteks digital, panggung ini diperluas dengan potensi jangkauan global, memperkuat tekanan untuk "menjadi sempurna" di mata orang lain. Bahkan, hal ini dapat memperburuk kondisi mental individu yang terus-menerus membandingkan diri dengan standar-standar yang tidak realistis.
Lebih parah lagi, budaya validasi ini sering kali memaksa orang untuk mengabaikan etika dan moral demi mencapai pengakuan. Ada individu yang rela menyebarkan konten kontroversial, melakukan tindakan ekstrem, atau bahkan terlibat dalam kebohongan demi perhatian. Fenomena ini sering disebut sebagai clout chasing, di mana validasi menjadi tujuan utama, mengesampingkan kebenaran dan tanggung jawab sosial.
Dari sudut pandang psikologi, ketergantungan pada validasi eksternal dapat menyebabkan efek jangka panjang yang merusak. Riset dari Twenge et al. (2018) mengungkapkan bahwa meningkatnya penggunaan media sosial berhubungan dengan peningkatan depresi dan kecemasan di kalangan remaja dan dewasa muda. Ketika nilai diri hanya diukur berdasarkan respon orang lain, individu cenderung kehilangan otonomi dan kebebasan dalam menentukan identitas diri mereka. Hal ini menghambat perkembangan pribadi dan memicu ketidakpuasan yang konstan.
Budaya ingin mendapatkan validasi yang tidak terkendali tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga menciptakan pola interaksi sosial yang tidak sehat. Orang lebih cenderung fokus pada penampilan daripada substansi, pada citra daripada makna. Ini mempromosikan budaya superficialitas yang mengedepankan tampilan luar dan mengabaikan nilai-nilai keaslian dan integritas.
Kritik terhadap fenomena ini penting karena pada dasarnya manusia perlu diingatkan bahwa nilai diri bukanlah sesuatu yang bergantung pada jumlah pengikut atau popularitas di media sosial. Kebahagiaan dan kepuasan hidup seharusnya lebih banyak bersumber dari pencapaian intrinsik, relasi yang bermakna, serta pengembangan diri yang otentik.
Oleh karena itu, budaya validasi harus dikritisi dan diimbangi dengan edukasi tentang pentingnya self-worth yang tidak terikat pada pengakuan eksternal. Masyarakat perlu didorong untuk mengevaluasi ulang arti kesuksesan dan kebahagiaan, serta menghargai proses pengembangan diri yang otentik tanpa tergantung pada persetujuan orang lain.
Budaya ingin mendapatkan validasi adalah tantangan sosial yang nyata. Meski manusia pada dasarnya membutuhkan pengakuan, kita harus memastikan bahwa hal tersebut tidak merusak integritas diri atau hubungan kita dengan orang lain. Validasi yang sehat adalah yang datang dari pencapaian sejati dan hubungan yang tulus, bukan dari angka di media sosial atau perhatian sesaat. (RAS)