Beberapa waktu terakhir, masyarakat Surabaya dikejutkan oleh sebuah insiden yang menghebohkan. Seorang pengusaha tertangkap kamera melakukan tindakan intimidasi terhadap sejumlah siswa SMA di depan sekolah mereka. Dalam video yang tersebar luas di media sosial, pria tersebut dengan nada tinggi memarahi siswa, meminta mereka bersujud, bahkan memerintahkan mereka untuk menggonggong. Insiden ini memancing gelombang kritik dari berbagai kalangan dan memunculkan pertanyaan besar tentang kekerasan verbal di lingkungan pendidikan.
Kejadian ini berawal dari tuduhan bahwa siswa-siswa tersebut memarkir kendaraan di tempat yang diduga milik pengusaha itu. Merasa terganggu, pria tersebut turun tangan dan meluapkan amarahnya secara berlebihan. Ia tidak hanya menegur dengan kata-kata kasar, tetapi juga meminta siswa melakukan tindakan yang merendahkan martabat manusia. Apa yang seharusnya menjadi teguran biasa berubah menjadi bentuk kekerasan verbal dan psikologis yang serius. Video tersebut menyebar dengan cepat, memicu reaksi publik yang mengecam keras tindakan tersebut.
Kasus ini menyoroti isu penting yang selama ini mungkin terabaikan: kekerasan verbal terhadap siswa dan bagaimana hal itu mencerminkan pola pikir sebagian masyarakat. Lingkungan pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar, sering kali menjadi arena di mana kekerasan verbal dan intimidasi terjadi, baik oleh pihak internal maupun eksternal. Dalam kasus ini, siswa SMA yang masih berada dalam tahap perkembangan emosional menjadi korban tindakan yang tidak seharusnya mereka alami.
Kekerasan verbal sering kali dianggap lebih ringan daripada kekerasan fisik. Namun, dampaknya tidak kalah serius. Dalam banyak kasus, kekerasan verbal dapat menyebabkan trauma psikologis yang mendalam. Siswa yang menjadi korban dapat kehilangan rasa percaya diri, merasa tidak dihargai, dan bahkan mengalami gangguan kesehatan mental jangka panjang. Mereka mungkin merasa malu dan tidak berdaya, terutama jika dipermalukan di depan umum, seperti yang terlihat dalam insiden ini.
Dari perspektif hukum, tindakan pria tersebut bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang yang melindungi anak-anak dari kekerasan psikis. Pasal 76C Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara jelas melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan verbal. Selain itu, Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur larangan terhadap tindakan tidak menyenangkan yang dapat menyebabkan tekanan psikologis. Jika kasus ini dibawa ke ranah hukum, pria tersebut berpotensi menghadapi sanksi yang sesuai untuk memberikan efek jera.
Namun, kasus ini bukan hanya soal pelanggaran hukum. Ini juga mencerminkan budaya kekerasan verbal yang masih tumbuh subur di masyarakat kita. Banyak orang yang merasa memiliki kekuasaan, entah karena status sosial, jabatan, atau kekayaan, sering kali menyalahgunakan posisi mereka untuk menekan pihak yang dianggap lebih lemah. Dalam hal ini, pengusaha tersebut menggunakan posisinya sebagai pemilik lahan untuk mempermalukan siswa, yang secara sosial lebih rentan.
Budaya semacam ini tidak muncul begitu saja. Dalam banyak kasus, sikap otoriter dan penyalahgunaan kekuasaan berakar dari pola pendidikan di rumah atau lingkungan sosial yang mendukung kekerasan sebagai cara untuk menegakkan disiplin. Pola pikir ini sering kali terbawa ke ruang publik, di mana individu yang merasa memiliki kekuasaan tidak ragu untuk menindas orang lain. Kekerasan verbal kemudian menjadi alat untuk menunjukkan superioritas, tanpa memedulikan dampaknya pada korban.
Lingkungan pendidikan menjadi salah satu tempat yang paling rawan terkena dampak budaya ini. Siswa, sebagai pihak yang lebih muda dan kurang berdaya, sering kali menjadi korban dari pihak-pihak yang merasa lebih kuat, baik itu guru, orang tua, atau pihak luar seperti yang terjadi dalam kasus ini. Ketika kekerasan verbal dibiarkan tanpa tindakan tegas, hal ini dapat menciptakan pola berulang yang sulit diputus.
Dampak psikologis yang dialami siswa dalam kasus ini tidak bisa dianggap remeh. Perasaan malu yang ditimbulkan oleh intimidasi di depan umum bisa memengaruhi kepercayaan diri mereka di masa depan. Trauma psikologis yang muncul juga berisiko menyebabkan gangguan emosional yang sulit pulih dalam waktu singkat. Dalam jangka panjang, siswa mungkin mengembangkan rasa takut terhadap figur otoritas, yang dapat memengaruhi hubungan mereka dengan orang-orang yang memiliki peran penting dalam hidup mereka, seperti guru atau atasan di tempat kerja.
Peristiwa ini menggarisbawahi pentingnya peran sekolah dan masyarakat dalam melindungi siswa dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Sekolah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan lingkungan yang aman dan mendukung bagi siswa. Tidak hanya dengan memberikan perlindungan fisik, tetapi juga dengan menciptakan budaya yang menghargai martabat setiap individu. Sekolah perlu mengedukasi siswa, guru, dan orang tua tentang bahaya kekerasan verbal serta cara mengatasinya.
Di sisi lain, masyarakat juga memiliki peran dalam menciptakan lingkungan yang aman di sekitar sekolah. Ketika komunitas di sekitar sekolah peduli terhadap kesejahteraan siswa, insiden seperti ini bisa dicegah. Pemerintah dan aparat penegak hukum juga harus memainkan peran penting dalam memastikan bahwa setiap tindakan kekerasan verbal mendapatkan penanganan yang tepat. Penegakan hukum yang tegas tidak hanya memberikan rasa keadilan bagi korban, tetapi juga menjadi pesan kuat bahwa perilaku seperti ini tidak akan ditoleransi.
Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk membangun budaya hormat dan empati. Kita harus menyadari bahwa kata-kata memiliki kekuatan yang besar, baik untuk membangun maupun menghancurkan. Setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki dampak pada orang lain, terutama pada anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap pembentukan identitas.
Peristiwa di Surabaya ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga martabat manusia, terlepas dari usia atau status sosial mereka. Dalam masyarakat yang ideal, tidak ada ruang untuk kekerasan, baik verbal maupun fisik. Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi setiap siswa untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang percaya diri dan berdaya.
Oleh karena itu, kita perlu bersama-sama menciptakan ruang yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan, di mana setiap individu diperlakukan dengan hormat dan empati. Dengan komitmen kolektif ini, kita bisa mencegah insiden serupa terjadi di masa depan dan menciptakan generasi muda yang lebih kuat, baik secara emosional maupun intelektual.